VOTE DULU!
Jika ada orang yang meninggal, biasanya akan selalu timbul rasa bersalah, rasa penyesalan dan jika mereka tidak bisa menerima itu dengan lapang dada, makan akan berdampak pada diri sendiri. Lagi, jika ada orang meninggal biasanya keluarga dari penjuru manapun akan datang dan berduka cita, tapi hari ini Ali hanya sendiri.
Bibi Ema bilang orang tua Ali sibuk. Bodoh bukan? Orang mana yang masih sibuk ketika orang tuanya pulang untuk selamanya? Bibi Ema juga bilang, orang tua Ali akan datang dalam waktu dekat. Papa dan mamanya sedang di luar negri. Sedangkan Ali, ia tak punya paman atau bibi. Papa dan Mamanya keduanya anak tunggal. Itulah mengapa ia sendiri di sini.
Jika ada yang menanyakan bibi Ema, jawabannya Ali sendiri pun tak tahu. Bibi Ema bilang dia akan kembali dengan segera. Ali pikir bibi Ema hanya pulang ke rumah mengambil sesuatu lalu kembali lagi ke pemakaman menemani Ali. Nyatanya hingga malam menjelang, Bibi Ema tak kunjung datang.
Ali mau tak mau, pulang sendiri menggunakan angkutan umum. Ia punya uang lima ribu rupiah di sakunya. Jika uang itu tidak ada, mungkin Ali akan pulang jalan kaki sendirian. Di rumah Ali tak tahu harus melakukan apa. Bayang-bayang ia dan neneknya bercerita di ruang tengah, duduk bersila bersamanya menjadi bayang-bayang Ali masuk ke kamarnya.
Ali tak punya ekspresi untuk bisa menunjukkan keterkejutannya. Kamarnya berantakan. Semuanya berserakan, isi lemarinya keluar dompetnya kosong dan celengannya pecah. Uang yang ada di sana juga hilang. Ali tak ingin menebak. Ia hanya mengambil bantalnya, dan berjalan melewati semua kekacauan itu menuju kamar neneknya.
Sayangnya kamar neneknya pun bernasib sama dengan miliknya. Berantakan, semuanya tak lagi berada di tempatnya. Ali juga melihat kotak perhiasan neneknya yang terbuka dan kosong. Ini bukan maling lagi, pikir Ali. Orang yang tahu di mana nenek menyembunyikan perhiasannya hanya Bibi Ema. Wanita tiga puluh tahun itu pun tak lagi terlihat di rumah ini. kemungkinan memang dia lah dalang dari semua kekacauan ini.
Ali marah? Tidak sama sekali. Disingkirkannya kekacauan yang ada di ranjang neneknya, berbaring di sana sembari membiarkan air matanya jatuh. Ali tak terisak, ia hanya menangis dalam diam. Tangannya meremat bantal, hatinya tak berhenti merapal ucapan maaf, segala penyesalannya pada neneknya dan juga Wawa. Ali tak mengunjungi pemakaman Wawa. Ia merasa tak pantas. Lebih lagi, Ali adalah penyebab wanita itu merenggang nyawa. Miris.
Berkali-kali ia mengubah posisi tidurnya. Memejamkan mata berusaha menggapai alam mimpinya. Tapi Ali tak sanggup. Ia hanya bisa menangis. Harusnya ia menemanin neneknya, harusnya ia tidak melawan dan menjadi anak yang penurut, neneknya stress karena memikirkannya, penyakit jantung neneknya juga kambuh karenanya. Bukankan itu artinya Ali juga membunuh neneknya, meski secara tidak langsung.
"Nek, maafkan Ali," lirih remaja itu.
Ali tak tahan, ia tak sanggup menahan suaranya. Tak lama setelahnya isakan keras memenuhi kamar 6 x 6 itu. Ali menangis sekeras mungkin. Meski ia tahu, jika tangisnya terdengar oleh semua orang sekalipun, neneknya tidak akan kembali.
.
.
.
.
Orang-orang, ya orang-orang. Ali rasa mereka sudah tidak pantas disebut teman-teman. Teman mana yang meninggalkan temannya di saat ia terpuruk? Dan teman mana yang ikut mengecoh keterpurukan temannya bukannya membantu menenangkan?
Esoknya Ali langsung ke sekolah. Jika ada keluarga yang meninggal, siswa mungkin akan libur dua hingga tiga hari. Tapi Ali memilih untuk sekolah esoknya, ia pikir tak ada yang perlu di tangisi. Ia hanya perlu menjalani hidupnya seperti biasa, meski dengan cara yang sedikit berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing: Help Me
Teen FictionWARNING 'Self Harm' Prekuel 'BAD' [ALI] Awalnya hidup Ali biasa saja. Ia bermain layak anak seumurannya. Menyukai wanita dan berpacaran. Ah, yang lebih penting keluarganya masih bahagia. Iya, di mata Ali. Tahu-tahunya, satu kata yang dikenalinya seb...