[ALI] 4. Manis Nan Miris

153 22 2
                                    

VOTE DULU!

Ali terbaring lemas setelah beberapa saat lalu ia menyelesaikan tangisnya. Tubuh kurusnya berbalik memunggungi Freya. Ali malu. Ia malu Freya melihat semuanya.

"Ali, kamu harus ke rumah sakit. Itu harus diobati. Kalau enggak bakal infeksi dan berakibat fatal.

Butuh waktu cukup lama untuk Ali bisa menerima kematian neneknya. Pikirnya penyelamat manapun tidak akan berhasil menghilangkan rasa bersalah itu. Ia justru akan ikut terseret dalam kutukan Ali. Kutukan hidup sengsara.

"Ali kalau kamu gak kuat kamu bisa cerita ke aku. Jangan pendam semuanya. Kamu hanya butuh seseorang sebagai tempat cerita."

Selimut lepek itu Ali tarik hingga menutupi lehernya. Ia mengabaikan Freya dan justru menerima eksistensi dingin yang merambat ke kulitnya. Ali menggumamkan beberapa kata, terdengar tidak jelas. Freya tidak dapat mendengarnya. Perempuan itu berdiri dan berlari ke sisi lain ranjang Ali. Hingga ia kembali bisa melihat wajah pucat Ali. Ia mendekatkan telinganya pada bibir Ali, mencoba mendengar apa yang pria itu ucapkan.

"Di..dingin. malu."

Freya menggigit bibir bawahnya.

"Ali ayo ikut aku. Kita ke rumahku yang lebih hangat. Kamu bisa makan dan aku bakal obatin luka itu kalau kamu gak mau ke rumah sakit. Setidaknya mama aku lebih tahu cara menangani ini Li."

"Gue bukan anak kecil."

"Ali, kalau kamu masih sekolah, masih berada dibawah pengawasan orang tua kamu, kamu masih anak kecil. Kamu butuh kasih sayang. Atau aku bantu telepon orang tua kamu?"

Ali menggeleng pelan. Ia tersenyum untuk menghilangkan raut cemberutnya. Dan senyum itu terlihat sangat terpaksa.

"Oke, kalau gitu ke rumah aku—"

"Lo pulang aja. I am okay. This is not your bussines. Go home."

Freya memejam matanya.

"Gini aja. Aku tinggalin nomor ponsel aku. Kalau kamu merasa terancam atau apapun itu, kamu telepon aku. Jangan lukai diri kamu Li. Dan selalu ingat, kamu kuat."

Ali tak menjawab hingga Freya keluar dari kamarnya. Beberapa menit kemudian, hening di kamar Ali semakin menjadi. Pria itu tak sadar hingga ia terlelap dengan sendirinya. Dan itu hanya beberapa jam. Jika Tuhan tidak mengizinkan Ali bahagia atau hidup tenang sebentar saja, mengapa Ia masih membiarkan Ali hidup? Mengapa Tuhan membiarkan Ali hidup jika ia harus bangun tengah malam dengan keadaan sesak di penuhi rasa bersalah. Air matanya menutupi pandangannya.

Isakan Ali bagai melodi. Ia mengingat ucapan Freya. Tapi Ali tidak sanggup. Ia menuntun tangannya untuk mengambil ponsel. Mengubungi Freya dan di angkat di dering terakhirnya.

"Ali kamu gak apa-apa? Ali jawab aku!"

Jika saja Tuhan membiarkan Ali hidup tenang. Ia janji akan menebusnya. Ali janji akan menjadi anak yang baik. Dan jika Tuhan tidak berkenan, Ali ingin bertemu neneknya saja.

.

.

.

.

"Kapan kamu tahu Ali kayak gitu?"

"Tadi ma. Aku udah ajak dia ke rumah sakit dan dia gak mau. Aku juga coba bawa dia ke rumah kita, dia juga nggak mau. Karena itu aku tinggalin nomor Hp aku buat jaga-jaga."

Mama Freya menghela nafas.

"Mama gak habis pikir dengan keluarganya. Kamu udah telepon orang tuanya Ali?"

Healing: Help MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang