VOTE DULU!
Ketika malam menjelang, Ali mati-matian menahan rasa ingin melukai dirinya. Ia ingat pisau dapur sudah dibuangnya pagi tadi. Sekarang ia tak tau benda tajam apa yang akan mampu melukainya agar ia tenang.
Dengan langkah terseok-seok, Ali membongkar dapur. Mencari pisau atau apapun yang bisa melukainya. Sayangnya ia tak menemukan apapun. Dengan air mata yang tidak dapat di tahan Ali masuk ke kamarnya. Nafasnya sesak dan ia butuh ketenangan.
Ali berteriak membongkar isi kamarnya. Membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan isinya. Ia butuh benda tajam. Ia butuh sesuatu untuk tenang. Mata Ali jatuh pada rokoknya yang masih bersisa satu di atas meja. Ia meraihnya rokok itu meski tangannya selalu terpeleset. Setelah mendapatkannya Ali membakar ujung rokok itu dan menancapkannya ke tangannya. Rasa lega serta perih menjalar di tubuh Ali. Setelah rokoknya habis, Ali mulai sedikit tenang. Tak lama dengan wajah dipenuhi bekas air mata, Ali menyambut alam mimpinya.
.
.
.
.
Malam berikutnya,
Haruskah aku mencintanya
Bila hanya berikan duka
Sepertinya aku bahagia
Satu sisi aku—
Ali mematikan televisi yang menampilkan sinetron remaja. Ia sebenarnya tidak tertarik, tapi dengan menonton Ali pikir ia bisa menghilangkan rasa kantuknya. Ia takut untuk tidur. Karena setelahnya Ali pasti akan kembali bangun dan melukai dirinya.
Mungkin pemikiran Ali soal ia yang sudah dewasa harus dipertimbangkan lagi. Ia tak bisa menahan sakitnya luka yang ia buat dipagi hari. Terlebih semalam adalah luka bakar. Ali bahkan tidak tahu cara mengobatinya. Tangannya kini sangat perih dan beberapa juga bernanah.
Ali masih anak-anak. Ia tidak bisa hidup sendiri, Ali masih butuh orang lain. Lagi-lagi Ali menangis. Ia sangat cengeng akhir-akhir ini. Tidak, Ali sebenarnya memang sangat cengeng. Ia bahkan menangis hanya karena menatap pintu kamar neneknya.
Di tengah isakannya Ali teringat ucapan Bibi Ema. Yang mengatakan orang tuanya akan datang dalam waktu dekat. Ali bodoh. Ia bodoh karena percaya ucapan wanita busuk itu. Tubuh kurusnya meringkuk di lantai dingin, menangis rindu. Ali rindu orang tuanya. Ia terlalu jauh dari mereka. Ali ingin bertemu mamanya. Malam itu Ali amat bersyukur pada Tuhan, setidaknya ia dibiarkan tidur tenang malam ini.
.
.
.
.
"Hai, aku mau jemput rantang yang kemarin. Dan ini untuk hari ini."
Ali mendengus. Ia membiarkan Freya masuk dan mengambil sendiri rantangnya di dapur. Perempuan itu seperti telah hapal seluk beluk rumah ini. Dan itupun karena Ali membiarkannya. Soal makanan yang selalu Freya antar, Ali memang memakannya. Ia tidak mungkin menolak rezeki. Lebih lagi ia memang lapar dan butuh makanan seperti itu daripada mie instan atau junk food.
"Ali, aku boleh masuk?"
Samar suara dari luar kamar Ali terdengar. Ali tahu itu Freya, dan ia tidak menjawab karena perempuan itu akan masuk bahkan jika tidak Ali izinkan.
"Li!" panggilnya.
"Hmn."
Mendapat respon deheman seperti itu, Freya berlari kecil dan duduk di tepi ranjang Ali. Perempuan itu sepertinya ingin memberitahu sesuatu, atau paling tidak bercerita tentang keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing: Help Me
Teen FictionWARNING 'Self Harm' Prekuel 'BAD' [ALI] Awalnya hidup Ali biasa saja. Ia bermain layak anak seumurannya. Menyukai wanita dan berpacaran. Ah, yang lebih penting keluarganya masih bahagia. Iya, di mata Ali. Tahu-tahunya, satu kata yang dikenalinya seb...