Tanah Merah

5 1 0
                                    

Mendung menggumpal terbawa angin bermuara di angkasa. Rinai hujan perlahan turun berjatuhan di tanah-tanah yang masih segar. Di tengah gerimis, aku menadahkan tangan kepada Tuhan. Aku mengikhlaskanmu dengan sepenuh hati.

“Nak, biarkanlah kepergian Ibumu menjadi pelajaran, agar kamu bisa lebih dewasa lagi,” ujar bapak di sela tangisanku. Bapak mengelus pundakku, menguatkan jiwaku yang sedang berkabung.

“Pak, apakah sebuah kepergian sesakit ini?” ucapku bergetar menahan pilu.

“Nak, setiap kehadiran akan selalu menemui perpisahan. Setiap yang ada di hidup kita, pasti akan berpisah. Hanya saja, ada yang menyakitkan dan ada yang hilang dengan lapang.” Aku kembali bungkam dengan ketabahan bapak yang begitu ikhlas melepas kepergian ibu.

Jantungku menyesak seiring hujan turun mengiringi hatiku yang sedang berkabung. Bunga-bunga bertaburan di pusaran Ibu, menyatu bunga di tanah merah yang masih basah. Aku melangitkan doa-doa kepada Tuhan.

_‘Tuhan, Engkau hadirkan cinta dari seorang Ibu di hidupku lalu Engkau ambil di saat aku masih belum mengerti sebuah kehilangan. Tuhan, beribu doa aku panjatkan kepada-Mu, senantiasa Engkau tempatkan ia di sisi-Mu.’_

Aku kembali terisak membatin melepaskan orang yang begitu berharga dalam hidupku.

“Nak, menangislah sepuasnya. Sebab air matamu akan menjadi butiran tasbih mengiringi berpulangnya Ibum, tetapi ingatlah, Nak, setelah hujan ini reda kau juga harus berhenti berduka,” ucap bapak merangkul bahuku.

“Pak, tak ada yang lebih mencintaiku dari cinta Ibu. Tak ada yang lebih kasih dari kasih sayang Ibu. Tak ada yang lebih berduka selain berpisah dari pelukan ibu. Tetapi, Pak, aku hanya belum siap untuk tidak merasakan itu semua sekarang.” Aku menangis sesedunya di pusaran ibu.

“Nak, Bapak lebih berduka darimu sebab, Bapak lebih lama hidup dengan Ibumu. Namun, Bapak lebih memilih ikhlas melepas kepergian Ibumu. Karena, semua telah digariskan Tuhan, sebelum Ibumu dilahirkan. Maka, biarkan Ibumu berpulang dengan lapang, setiap perpisahan pasti menemui tempat untuk pulang.” Aku memeluk raga yang telah renta lebih tabah dari segala isi dunia. Kini hanya tersisa satu-satunya jiwa yang masih aku punya.

“Pak, ajari aku setabah engkau. Meski perpisahan adalah hal yang terpahit di hidupmu, dirimu tetap ikhlas menerimanya,” ucapku bergetar memandang wajah bapak.

“Nak, mengertilah, bahwa semua akan membuatmu lebih kuat dari baja. Cukup doakan saja Ibumu, maka kau akan lebih ikhlas melepaskannya.” Aku tertegun dengan ucapan bapak.

Aku menghela napas panjang, lalu mengelus pelan nisan bernamakan ibu.

“Buk, aku pulang. Aku melepaskanmu dengan lapang, jagalah dirimu di sana. Aku akan terus mendoakanmu sampai aku kembali ke pangkuanmu.” Aku berdiri memandang makam ibu sekali lagi. Bapak merangkul ragaku yang lemah dari isak duka.

Hujan mengiringi pulangku meninggalkan duka di pusaran makam tanah merah, dengan taburan bunga-bunga yang indah. Aku kembalikan takdir kepada Tuhan, aku lepaskan tangis perpisahan. Sebab, perpisahan akan terjadi sekarang ataupun nantinya. Untuk itu, aku akan membawa pergi cinta ibu dan meninggalkan pilu di pusaranmu ibu. Selamat jalan ibu.

•••••

–Penaakara.id || 24 Juli 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang