Cinta pernah mengajarkanmu tentang keikhlasan, seperti hujan yang jatuh ke bumi. Kamu juga memahami tentang cinta sesungguhnya, dari rintik-rintik yang menghiasi langit. Setiap kali mendung menghampiri membawa hujan. Kamu selalu duduk di bangku teras rumahmu, menatap langit yang gerimis.
Kamu menerawang jauh tentang banyak hal di masa lalu, akan hari-hari yang kamu jalani berdua dengannya. Kamu selalu menunggu kedatangannya, minggu-minggu pertama ia selalu menepati janji. Namun, di minggu kedua, minggu ketiga, minggu keempat, sampai satu tahun berlalu dia yang kamu sebut cinta, mengajarkanmu tentang sabar akan penantian panjang itu telah berubah. Ia tak lagi datang menemuimu atau bahkan, memberi kabar kepadamu. Tetapi kamu tetap menunggu, tanpa lelah sedikit pun.
Saat hujan turun dengan deras, kamu masih setia di meja dan bangku yang sama. Seperti tahun-tahun yang lalu, saat kamu menunggunya datang.“April, kenapa kamu duduk di luar?” ucap lelaki tampan menghampirimu. Kamu hanya tersenyum, lalu kembali menatap rintik hujan yang jatuh perlahan.
“Kamu masih menunggunya, Pril?” tanya lelaki itu lagi. Kamu hanya mengangguk, sembari menatap lekat lelaki yang sedang berada di hadapanmu.
Kamu tetap membisu dengan ribuan pertanyaan yang terukir di matamu. Banyak hal yang ingin kamu dapatkan jawabannya, dari lelaki yang ada di hadapanmu saat ini. Kamu memalingkan wajah ke langit, menyangga air mata yang ingin tumpah.
“Apakah menunggu itu sesakit ini? Apakah mengharapkan dia kembali, harus melelahkan seperti ini? Janji-janji yang pernah dia ucapkan, semuanya omong kosong! Aku benci! Aku muak!” Kamu berontak dengan pertanyaan yang telah lama terpendam dalam dada.
“Pril, untuk apa kamu masih menunggunya? Apa kamu tidak ingin merasakan kebahagiaan seperti orang-orang di luar sana?” ucap lelaki itu.
Kamu terdiam, air matam perlahan mengalir membasahi pipimu. Pertama kalinya, setelah bertahun-tahun kamu tidak pernah menangis. Hari ini air mata itu tumpah dengan derasnya.
“Juni?” ucap perempuan dari dalam rumah.“Apa? Juni, di mana dia?” ucapmu mencari keberadaan Juni.
“Dia di depanmu, April,” jelas perempuan itu.“Kenapa kamu datang, Juni? Ke mana saja kamu selama ini? Bertahun-tahun aku menunggu kamu di sini, tetapi kamu tidak pernah lagi menemuiku? Kenapa, Juni, kenapa?” Kamu kembali berontak seraya meraih apa saja yang ada di dekatmu dan melemparnya.
“Pril, hentikan, Pril. Maafkan aku, Pril, aku tidak pernah meninggalkanmu. Hanya saja, aku yang tak pernah lagi terlihat olehmu. Kamu lupa segalanya, Pril, lupa aroma parfumku, lupa dengan suaraku. Kamu lupa, lupa segalanya. Aku selalu ada di dekatmu, Pril, bahkan setiap detik jam, aku ada di sampingmu.” Juni menjelaskan semuanya.
“Juli, apa itu benar, Dek?” tanyamu“Iya, Pril, benar yang di katakan, Juni,” jelas perempuan itu.
“Maafkan aku, Juni, karena semenjak kecelakaan hari itu. Aku tak lagi mampu melihatmu, tak lagi ingat aroma tubuhmu, hanya ada bayangmu yang melekat dalam ingatanku.” Kamu memeluk erat tubuhnya.Penaakara.id | 10/07/2020