(vii)

70 18 3
                                    


Masih Osaka yang menjadi saksi, 2005.

Yuta kecil menemukan seisi rumahnya yang kosong, begitu pula keadaan pintu yang terkunci. Padahal bocah itu berada dalam kondisi yang amat kedinginan.

Akhirnya ia memilih untuk berlari ke rumah Sana yang ada di samping. Dan ia terkejut karena sosok yang dicarinya tengah duduk di lantai, memeluk lutut dan menangis.

Yuta jadi bingung, Sana kecil kenapa hobi menangis sih? Meskipun bukan menangis karenanya, tetap saja Yuta tidak suka melihat temannya itu menangis. Rasanya ingin menonjok siapapun yang membuat gadis kecil ini menangis.

"Hei, Minatozaki! Kamu kenapa menangis lagi?" Tanyanya sambil menepuk pelan bahunya yang basah karena air hujan.

Sana mendongak, mata berairnya bertemu dengan pandangan penuh kecemasan dari Yuta. Tangisnya malah makin kencang.

"Mama, papa, sama Haruto tidak ada... HUAAAA Yuta..! Mereka meninggalkan aku!"

Yuta memeluk Sana. Ia menaruh dagunya di puncak kepala gadis kecil itu.

"Hei, sudah-sudah! Ibuku juga tidak ada. Mungkin mereka mencari kita?" Yuta ingat sudah membawa main Sana terlalu lama. Jelas kalau rumah kosong karena anggota keluarga panik mencari mereka. Ini salahnya.

Akhirnya tangisan Sana sedikit mereda. Membuat Yuta sedikit lega.

"Yuta! Sana!" Lantas keduanya menoleh.

"Ibuuuu!" Yuta berlari untuk memeluk ibunya, namun keningnya ditahan oleh sang ibu agar tidak mendekat. Lihat? Sekujur tubuhnya sungguh basah seperti seekor anak kucing yang tercebur di parit.

Ibu Yuta menoleh dan mendapati seragam Sana yang juga basah karena hujan.

Wanita berusia tiga puluh dua itu pun menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.

"Ya Tuhan, pantas saja saat Ibu ke sekolah untuk menjemput kalian tidak ada siapapun. Rupanya kalian mandi hujan dulu. Ini pasti ulahmu, Nakamoto!" Ia menjewer telinga anak semata wayangnya.

"Aduh, duh! Iyaaa buuu, ampun... kan tidak mungkin kalau aku meninggalkan Minatozaki sendirian di sekolah? Kalau ada orang jahat bagaimana?"

Jeweran itu justru semakin keras. "Kamu kan bisa menunggu ibu menjemput sambil menemaninya?!"

"Eh? Iya, itu karena aku ada janji main sepak bola sama teman, bu! Jadi buru-buru pulang."

"MAIN TERUS!" Wanita itu lantas beralih pada Sana yang masih terdiam di teras rumahnya. "Sana, ayo masuk ke rumah kami dulu. Nanti ibu ceritakan kenapa keluargamu tidak ada."

Sana kecil akhirnya menangguk lemad dan mengekori wanita itu dan anaknya.

.

.

Besoknya—seperti yang sudah diperkirakan—Sana kena demam.

Lumayan parah.

Untungnya tanggal merah.

Tapi yang begitu membuat sedih keluarga Minatozaki adalah kedua anak mereka sedang sakit. Si bungsu Haruto justru terbaring di rumah sakit karena demam berdarah.

Jadi, mama dan papa Sana bagi tugas. Papa menjaga Haruto dan mama menjaga Sana. Harusnya sih memang Haruto yang lebih butuh mama. Tetapi mama bilang kalau Sana bisa sembuh besok, maka mama langsung ke rumah sakit.

Dan yang kemarin itu, kenapa kedua orang tuanya tidak menjemput, terjawab sudah.

Karena adiknya menggegerkan seluruh anggota rumah, dia mimisan, wajahnya pucat dan terdapat bintik-bintik merah tua di pergelangan kaki.

"Mama, mau Yuta..." Sana berkata dengan mata masih menutup. Mamanya mengacuhkan, karena berpikir putrinya mengigau.

"Mamaaaaa, mau Yutaaaa.." akhirnya matanya terbuka sedikit, melihat sang ibu tengah memotong-motong wortel dan buncis sambil menemaninya di kamar.

Wanita itu menoleh. "Kan ada mama? Yuta mungkin lagi main atau belajar, masa di ganggu? Kemarin ibu Yuta sudah menolong kamu, lho."

Sana menggeleng keras, kemudian ia mencebik juga menggeliat di kasur. "Mau Yuta, mama... Kemarin dia sudah janji mau jaga Sana kalau Sana kena demam. Dia harus menepati janjinya! Mama jaga Haruto saja, dia butuh mama."

Wanita itu menghela nafas. "Ya sudah mama telepon ibu Yuta dulu."

Sana mengangguk.

Beberapa menit kemudian, mama kembali ke kamar Sana setelah menghubungi rumah Yuta. Raut wajah wanita itu penuh dengan penyesalan.

"Yuta juga demam. Kamu sama mama saja."

Wajah Sana menjadi sangat murung. Yuta memang tidak bisa menepati janjinya, tetapi gadis kecil itu justru menjadi sangat khawatir dengan kondisi temannya itu.

Melupakan kondisinya sendiri.

"Tidak apa-apa, besok kalian berdua sembuh dan bisa main-main lagi." Mama mengusap-ngusap puncak kepala Sana penuh sayang.

Karena kalimat mama, Sana sedikit menghapus wajah murungnya.

Tidak disangka-sangka, terdengar suara amat ribut di lantai bawah. Atau lebih tepatnya ada seseorang yang menggedor-gedor pintu rumah keluarga Minatozaki.

"Tunggu di sini. Biar mama cek." Mama turun ke bawah membawa sapu ijuk.

Sana menunggu di kamarnya dengan takut. Kalau itu penjahat? Duh, bagaimana ini? Apa Sana harus telepon Papa? Atau telepon polisi? Siapa yang akan datang lebih cepat?

Belum sempat ia bangun dari tempat tidur, terdengar suara ribut di bawah. Sepertinya lebih dari dua orang.

Kriiieeet...

Pintu kamarnya terbuka perlahan.

Achoo!

Astaga itu Nakamoto Yuta. Wajahnya pucat, mata merah berair, dan hidung yang sepertinya tersumbat.

Bocah lelaki itu menghampiri Sana di ranjang, dan dengan seenaknya ikut tiduran di situ.

"Kenapa kita berdua jadi sakit, sih? Jadi tidak bisa menepati janji kan?" Tanya Sana. Sekarang mereka tidur berhadapan, jarak keduanya mungkin setengah meter.

"Ugh, tidak apa-apa. Perjanjiannya diperbarui. Besok harus sembuh, kalau tidak menepati janjinya, harus mentraktir takoyaki." Cetus Yuta.

Sana memanyunkan bibinya yang kering dan pucat. "Kenapa terdengar seperti taruhan?"

"Sudah-sudah. Kamu tidur saja sekarang, kemudian makan siang. Biar besok sembuh!" Yuta mengusap pelan kening Sana agar gadis kecil itu tertidur.

Sana tersenyum lebar. "Baiklah, kamu juga harus tidur, Yuta."

"Iya."

Tanpa mereka sadari, kedua ibu masing-masing menonton keduanya dari balik pintu dan merasa gemas.

"Mau jadi besanku, tidak?" Celetuk mama Sana.

Ibu Yuta menghela nafasnya. "Ini masalah waktu, Minatozaki. Hanya masalah waktu."

.

.





Long time no see wkwkwk😂

Skynefall.

it's nice to have a friend. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang