(vi)

75 15 0
                                    


Osaka sebagai saksi, 2010.

Di luar hujan begitu deras menampar bumi. Seorang gadis kecil celingukan mencari-cari keberadaan orang tuanya yang biasa menjemput.

Tiba-tiba, bahu seseorang yang sepantaran dengannya menubruk bahu milik Sana.

Dengan amat sopannya, pemilik bahu itu berlari sekencang mungkin menerobos hujan deras. Sepatu putih itu bahkan rela menginjak-injak genangan dan tanah becek. Tas hitam compang-camping seperti gembel, seragam yang berantakan, dan model rambut urakan yang tidak jelas. Sana tahu persis siapa sosok ini.

"NAKAMOTO YUTA!"

Si gadis kecil berseru karena mengetahui nama sosok tersebut. Bocah itu pun menoleh.

"Oh, Minatozaki! Kamu menunggu siapa? Ayo pulang!" Yuta meletakkan telapaknya yang kecil di dahi, guna menangkis air yang datang agar tidak mengganggu kedua mata itu untuk melihat sosok yang berukuran lebih kecil sedikit berdiri enam meter di depannya.

"Tidak mau hujan-hujanan, kata Mama nanti demam. Yuta, kamu juga jangan hujan-hujanan, nanti demam!"

Bocah lelaki itu cengengesan. "Wah, kamu perhatian sekali padaku. Tapi aku sudah telat nih mau main bola! Lagipula kalau kamu kelamaan menunggu, nanti ada sosok lain bersamamu, loh!" Bocah itu berbalik dan meninggalkan Sana yang mendadak ketakutan seorang diri.

Si gadis kecil berpikir sebentar sambil gemetaran. Duh, ini kemana orang tuanya, sih?

Akhirnya ia memilih,

"Yuta, tunggu aku!"

Menari diderasnya hujan bersama sosok bocah urakan itu.

Nakamoto Yuta kecil memasang ekspresi terkejut ketika sahabat kecilnya itu memilih jalan yang sama dengannya. "Lho? Kamu ikut denganku? Nanti kalau kamu demam bagaimana? Nanti yang bisa kusalin prnya siapa?"

Sana mendorong bahu Yuta dengan pelan. "Ih, kamu mah! Ini kan gara-gara kamu menakutiku. Mana ada penunggu sekolah? Kata Nagahara-sensei hantu itu tidak ada!"

Dalam keadaan masih berlari, basah kuyup, sepatu kotor, dan menghirup oksigen yang terkontaminasi oleh petrichor, Yuta terkekeh mendengarnya.

"Hantu itu ada. Nagahara-sensei bilang begitu supaya anak-anak lain berani ke toilet sendirian tanpa memintanya mengantar."

"Bo-bohong kan?" Sana itu tipikal murid yang suka bolak-balik ke toilet karena terlalu banyak minum.

"Masa aku berbohong pada---MINATOZAKI, AWAS!"

"KYAAAA!"

Mobil silver itu melaju begitu cepat tanpa memperdulikan lubang berisi genangan dan lumpur yang lumayan besar di tengah jalan. Alhasil, kendaraan itu menerjang lubang begitu saja. Suara berisik tabrakan tentunya tidak dapat dihindari, namun mobil itu kembali merayap cepat seolah tidak ada yang terjadi.

Termasuk mengacuhkan kedua bocah kecil di pinggir jalan.

Yuta berada menghalangi tubuh Sana dengan tubuhnya yang sedikit lebih besar agar terhindar dari cipratan lumpur.

Si gadis diam beberapa saat sebelum menyadari jika ransel dan seragam belakang Yuta dipenuhi oleh cipratan lumpur. Ia pun berlinangan air mata.

"Ransel kamu kotor banget, nanti dimarahi mama.. huhuhu," sambil mengucek matanya.

Aduh, bagaimana? Yuta kebingungan. Kenapa Sana malah menangis?

"Hei, hei! Ke-kenapa menangis? Aku tidak apa-apa, kok! Ransel dan seragamnya kan bisa di cuci. Lagipula ranselku berwarna hitam dan ini tidak seberapa ketimbang kotor akibat bermain bola." Katanya sambil menggoncang-goncang bahu gadis kecil itu. Tidak lupa dengan mengusap pipi lembut Sana yang mendingin.

Akhirnya Sana lumayan tenang dan membersihkan tangisnya. "Sini, kutepuk-tepuk ranselmu supaya kotorannya sedikit menghilang."

"Oke." Yuta berbalik, kemudian Sana melakukan apa yang dikatakannya.

Mereka berdua pun mulai berlari bersebelahan. Yuta bahkan menurunkan temponya supaya Sana tidak tertinggal.

"Minatozaki, kita main ke taman dulu, yuk! Sudah lama nih tidak mandi hujan, masa mau langsung pulang?" Yuta menawarkan hal konyol untuk Sana yang pastinya mendapat pertidaksetujuan.

Benar saja, menanggapi kalimat itu, Sana langsung menggeleng keras. "Tidak mau! Nanti kena demam!"

"Haaaah! Kamu ini tidak asik, lagipula berlari seperti ini juga pasti kena deman! Ayooolah, hujan yang besar tanpa petir begini sangat jarang terjadi, ayooo main duluuu...." Yuta membujuk Sana sambil menggamit lengan gadis itu, mengayun-ayunkannya dengan manja.

"Tapi...."

"Kalau kamu sakit, aku akan merawatmu sampai sembuh. Begitupun sebaliknya! Tidak boleh meninggalkan yang sakit kalau mau dapat kado dari Santa!" Yuta sedikit mengancam, namun dengan cara yang menggemaskan.

"Terus kalau kita berdua yang sakit?"

"Itu dipikirkan nanti saja! Yang penting kita harus bersenang-senang dulu!"

Karena Minatozaki Sana kecil terlalu lambat berpikir, Yuta memilih untuk segera menggamit lengannya, mengajak berlari bocah itu ke taman kecil yang lokasinya tidak begitu jauh.

Mereka sungguh bahagia. Yuta dan Sana sungguh bahagia hari itu. Menari di derasnya hujan, tertawa di atas tangisan dunia, dan sempat-sempatnya bermain perosotan dan ayunan. Rasanya mereka hanya berdua di sebuah dunia penyendiri.

Kamu kalau sudah besar nanti mau jadi apa, Minatozaki?

Mau jadi ibu guru! Kalau kamu?

Ada tidak sebuah pekerjaan yang kerjanya hanya main denganmu? Ahahahah!

Ah, Yuta jadi mengingkari janji bermain bola dengan temannya.

.

.





Kalian kebayang gak sih ini se-cringe apa kalo semua yang ada di part ini terjadi pas yuta sama sana udah sma? Hmmmm, how cringe (bagi saya). Sooo, flashback dulu ke golden era punya mereka wkwkwk.

Skynefall.

it's nice to have a friend. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang