(viii)

83 19 3
                                    


Waktu berputar kembali dengan begitu cepat.

Minatozaki Sana membuka bekalnya. Ditemani oleh Myoui Mina dan Hirai Momo.

"Kamu kenapa? Sepertinya lemas sekali?" Mina membuka percakapan.

"Dia habis kelas olahraga. Tau sendiri kan, orang ini payah berolahraga?" Sindir Momo sambil menyuap nasinya.

Mau mengelak, tapi itu benar. Sana memang payah dalam olahraga.

Mau diam, tapi itu salah. Sana terdiam dan tiba-tiba tidak berenergi bukan karena itu. Ada hal lain yang tidak mungkin ia ceritakan. Mungkin bisa, tapi rasanya agak aneh.

Jadi gadis itu hanya pura-pura menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Huuuuh! Iya, habis olahraga melelahkan sekali!" Dan tertawa dengan imut seperti biasanya.

Mina dan Momo saling berpandangan, dari tatapan teduh dan agak sengit itu, tercipta sebuah pemikiran yang sama.

Dia sedang tidak baik-baik saja.

Tetapi baik Mina maupun Momo tidak berani untuk bertanya lebih, jadi mereka bertiga memilih untuk menghabiskan makanan masing-masing dalam diam.

Namun canggung seperti ini tidak enak juga. Dipertengahan, Momo kembali bersuara. Kali ini lebih to the point.

"Jujur saja deh pada kami berdua, apa yang mengganggumu sampai kamu lemas begini? Kami kan temanmu sejak smp,"

Benar, mereka bertiga adalah teman semasa smp. Lucunya lagi, selalu sekelas sejak kelas satu hingga kelas tiga. Dan di saat bertemu kembali di sma yang sama, sayang sekali trio ini tidak lagi sekelas.

Tapi yang Sana tahu, hanya dua orang ini (yang satu rambutnya hitam panjang dengan tatapan teduh dan ekspresi kalem, yang satu lagi rambutnya hanya sebahu, berponi dan memiliki mata besar yang berkilauan juga raut wajah agak sengit) yang bisa dipercaya olehnya.

Dan tentu saja Nakamoto Yuta.

Ah, jadi ingat lagi.

Beberapa menit atau jam yang lalu.

Sana tersenyum tipis. "Pulang sekolah nanti, kalian sibuk tidak? Kalau tidak, ke rumahku saja. Aku lebih nyaman cerita sama kalian di rumahku. Eheheh."

Setelah saling berpandangan, Mina dan Momo mengangguk setuju.

.

.

"Yuta sedang dekat dengan seorang gadis." Sana membuka percakapan ketika ketiga sahabat itu sudah berada di dalam kamar gadis itu.

"Itu membuatmu sedih?" Gadis itu mendongak, Mina menatapnya dengan lurus.

"Tertawakan saja aku, tidak apa-apa." Dia mengangguk pasrah. Sana bukan tipikal gadis yang suka berbohong.

Sementara Momo tampak berpikir. "Bagaimana, ya, Sana? Dibanding tertawa, aku malah merasa sedih. Sudah kubilang, harusnya kamu ungkapkan saja perasaanmu."

"Itu tidak benar." Mina menyanggah. "Kalau hasilnya bagus, Yuta menerima perasaan Sana; mereka sepasang kekasih. Tapi kalau tidak? Yuta bisa bergerak menjauh dari Sana." Yang dikatakannya itu benar. "Opsi pertama juga tidak selamanya berjalan mulus. Kalau Yuta dan Sana bertengkar, yang berada diujung tanduk bukan hanya hubungan sebagai sepasang kekasih, melainkan hubungan sebagai seorang sahabat dari kecil. Itu bukankah ikut hancur?"

Astaga. Itu tadi tepat sekali menggores hati Sana. Juga membungkam ketiga orang itu.

"Aku hanya tidak mau Sana menyesal. Keputusannya kali ini harus imbang antara perasaan dan logika." Momo berkata sambil menunduk.

Mina dan Momo itu bertolak belakang sebenarnya, tetapi mereka masih bisa akur. Dan, sosok yang membuat mereka akur adalah sosok yang sama yang tengah merana.

"Jadi aku harus apa?" Nada suara ini begitu putus asa.

"Ungkapkan."

"Pendam."

Sana melirik satu persatu temannya dengan wajah bingung. Mina dan Momo lagi-lagi bertukar pandang.

"Kalimat Momo ada benarnya sih, kalau dipendam itu justru membuat sakit hati ya? Apalagi kalian bertemu hampir setiap hari." Mina menjawab.

"Ta-tapi aku juga setuju denganmu, Mina. Kalau diungkapkan kemudian kecewa dan rasa sakitnya belakangan bagaimana?" Momo menimpali.

Sana menghela nafasnya. Ya, Tuhan posisinya benar-benar sulit untuk mengambil keputusan.

Ternyata seperti ini rasanya memiliki perasaan pada sahabat sendiri.

Menyiksa.

.

.

it's nice to have a friend. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang