One

6 2 2
                                    

Hari ini adalah pertama kalinya Irisviel datang ke pusat kota Indonesia. Walaupun tidak tepat berada disana, setidaknya Bekasi sudah cukup menjadi kota yang ramai dan berdekatan dengan Jakarta.

Irisviel atau yang kerap dipanggil Iris akan menemui kakaknya. Ia akan mulai melanjutkan sekolah dan tinggal bersamanya.

Kemarin sebelum Iris melakukan ujian kelulusan, kakaknya menawari untuk kuliah diluar kota. Jadi setelah Iris lulus dan mendapatkan nilai yang lumayan bisa di acungi jempol, ia bergegas pergi ke tempat kakaknya yang merantau selama hampir 15 tahun.

"Hallo mas, ini Iris udah sampai."

Irisviel yang baru keluar dari kereta di stasiun Bekasi menatap bingung sekitar sambil menelepon kakaknya. Ia menemukan dua jalan keluar karena tadi sempat mengikuti rombongan yang berjalan tergesa mencari pintu keluar.

Karena tak tau harus mengambil langkah ke kiri atau kanan. Irisviel memutuskan untuk belok ke arah kiri, disebabkan juga pintu keluar di sebelah kanan terlihat lebih ramai. Iris tidak suka keramaian.

"Iris nunggu di pintu keluar. Yang diluar gerbang deket jalan raya."

"Lah Iris gatau Mas." Setelah keluar, Iris melihat banyak orang berlalu-lalang dengan tergesa-gesa. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Pasti mereka orang-orang yang terlambat atau takut terlambat kemanapun tujuannya.

"Iris tadi keluar lewat mana?"

"Yang belok ke kiri. Iris fotoin bentar."

Iris membuka aplikasi WhatsApp-nya dan mengambil gambar gedung dengan tulisan mencolok yang lumayan besar sebagai petunjuk dimana ia berdiri.

"Yaudah sekarang Iris keluar dari stasiun ke jalan raya. Pahamkan?"

Iris menatap sekitarnya, melihat banyak orang berdatangan dari arah sebelah kanannya ia berdiri. Dan seketika ia yakin pasti ada jalan keluar disebelah sana.

"Iyaa-"

Belum sempat Iris menyelesaikan ucapannya. Masnya sudah terlebih dahulu mematikan telepon secara sepihak.

Di pagi hari hujan gerimis sudah menerjang bumi. Membuat penghuninya yang tidak membawa payung harus berlarian membawa diri dari basah kuyup dan dingin. Sementara bagi yang membawa payung hanya perlu bersantai.

Irisviel sendiri yang menyukai payung lipat namun sama sekali tidak punya benda itu satupun. Hanya berjalan cepat tanpa berlari. Karena koper dan beberapa barang yang ia bawa sungguh merepotkan.

Melewati pintu gerbang. Iris rasa itu adalah pintu gerbang keluar bagian belakang stasiun. Bukan hanya terdapat tempat palkir kendaraan, tapi disini cukup sedikit orang yang menunggu saudara keluar dari dalam stasiun.

Iris bergabung bersama penjual masker dan koran dibawah terpal biru sebagai perlindungan. Tersenyum sambil meminta izin untuk meneduh, Irisviel menatap jalanan yang sangat ramai dan padat.

Pandangannya selalu kedepan. Seakan kagum dengan kemacetan jalan yang dibuat oleh para pengendara motor dan mobil. Juga kepada satu pria yang menggunakan rompi berwarna hijau. Tapi ia tak membawa payung atau perlindungan sebuah mantel. Membuat Iris merasa kasihan.

Bukankah itu dingin? Gerimis di pagi hari. Jika dirumahnya sendiri, Iris akan tetap dibawah selimut, melindungi badannya dari dinginnya hujan. Lalu kembali terlelap sampai suara nyaring milik kakak perempuannya akan menggelar sambil mengancam banjir dadakan.

"Dek."

"Eh?" Iris menoleh lalu tersenyum canggung. "Iya Pak kenapa?"

Ternyata penjual masker dan koran pemilik tenda yang memanggil Iris. Mungkin untuk berbasa-basi supaya tidak membuat Iris menjadi bosan karena menunggu jemputannya terlalu lama. Padahal Iris tidak memerlukan hal itu.

"Baru pernah kesini ya?"

Keliatan banget apa gimana? Batinnya.

"Iya Pak." Hanya itu kalimat yang bisa Iris keluarkan. Apa ia akan dinilai tidak bisa lebih ramah terhadap orang lain? Tapi Iris sendiri jarang mau membuka pembicaraan terlebih dahulu dengan orang yang baru ditemui. Terlebih saat ini ia sedang sangat lelah.

"Kalo mau tinggal disini itu harus hati-hati dek. Nggak boleh ngomong sama orang lain yang belum dikenal." Kata si bapak yang mengenakan jaket coklat tebal bersama celana bahan panjang sebagai pakaian untuk berjualannya. Tapi jika kembali dikoreksi, bukannya bapak ini juga orang asing?

"Iya Pak." Iris tersenyum, sekali lagi mencoba untuk terlihat ramah.

"Jalanan juga macet itu setiap hari. Jadi harus pandai berkendara." Lanjutnya.

Lalu Iris mengangguk sambil kembali menatap jalanan sebagai respon. Karena bukankah bapak tadi sedang membicarakan jalanan?

Selang beberapa menit bapak tadi kembali berucap. Namun fokus Iris hanya ke jalanan ramai, memandang dengan tatapan kagum. Konyol memang. Tapi Iris selalu menyukai jalanan yang ramai.

"Dek."

Ughh apalagi si bapak ini?

"Kenapa pak?"

"Itu sepertinya ada yang manggil." Bapak tadi menunjuk ke arah orang yang sedang memanggil namanya dengan gerakan mulut sambil melambaikan tangan.

Itu kakaknya. Mas Setya.

"Saya pamit dulu ya Pak. Terimakasih." Iris kembali menghadap bapak tadi. Sempat merasa tidak enak karena mengabaikan ucapan bapak itu beberapa waktu lalu. Akhirnya Iris mengangguk sambil tersenyum lalu menarik kopernya menuju Mas Setya yang berdiri di sisi jalan lain dengan mobil disampingnya.

"Mas Setya. Tadi nyeberang bantuin bawa koper Iris kek. Berat tau."

Iris berdiri di hadapan Mas Setya yang sedang tersenyum hangat padanya sekarang. Walaupun lelah, Iris selalu bersemangat dengan salah satu kakaknya itu.

"Lagian di panggil nggak nengok. Asik banget ngobrol sama bapak-bapak atau mas yang disampingnya?" Kata Mas Setya menggoda sambil menepuk pelan rambutnya, membuat Iris bingung.

Mas Setya mengambil alih koper milik Iris dan memasukannya kedalam bagasi mobil, "Iris masuk mobil sekarang. Gerimisnya bakalan ganti jadi hujan kayaknya."

Iris mengangguk, keluar dari lamunannya, fokus kembali ke bumi padahal tadi sempat berfikir apa memang ada orang lain di bawah terpal itu selain dirinya dan bapak penjual koran? Iris mendongakkan kepalanya, merasakan mulai banyak air menetes di wajahnya. Ia melirik ke kanan dimana Mas Setya selesai menutup bagasi mobil. "Siap bos!"

872W

Better Than MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang