Three

10 2 1
                                    

Pagi harinya Iris menggantung semua Energen yang ia punya menggunakan hanger pakaian segitiga. Jika di total semuanya terdapat 6 renteng Energen, termasuk yang ia beli kemarin.

"Harus bilang ke Liara!"

Iris keluar kamar, mengambil satu lembar roti tawar di meja makan, menggigitnya di dalam mulut lalu bersalaman dengan kakak dan kakak iparnya. Tak lupa mengucapkan salam saat keluar rumah. Walaupun tadi sempat terdengar suara teriakan Mba Gita supaya Iris mengambil setidaknya 3 lembar roti tawar. Namun Iris tak menghiraukannya.

Iris tidak akan terlambat, ia yakin akan hal itu.

Setiap hari, Iris akan menggunakan transjakarta untuk sampai ke kampusnya. Ia sudah merasa cukup merepotkan kakaknya dengan tinggal disana, apalagi jika sampai meminta antar jemput? Tidak akan Iris lakukan.

Iris memang akan selalu terburu-buru berangkat, bukan karena takut terlambat menuju kelasnya di kampus, tetapi karena takut tertinggal oleh busway yang mengantarnya.

Pernah sekali ia ada kelas pagi, dan ia menunggu busway jam 7, justru ternyata tidak ada pemberhentian di halte tempatnya. Kalaupun ada, jurusannya sama sekali tidak mengarah ke kampusnya. Atau harus melewati jalan memutar yang jelas akan memakan waktu cukup lama.

Akhirnya sejak saat itu, setiap pukul setengah 7 pagi, Iris akan berlari menuju halte pemberhentian, walaupun tidak selalu tepat di jam yang sama busway akan datang, setidaknya tidak sampai jam 7 busway terlambat datang.

Terus mengunyah sampai akhirnya memasukan semua roti tawarnya kedalam mulut. Iris melihat busway jurusannya datang. Dengan mulut penuh yang membuat salah satu pipinya terlihat lebih besar, dan tentu saja lebih imut. Iris masuk, mengatakan pemberhentiannya, lalu duduk setelah mengeluarkan kartu busway, yang Iris sendiri lupa apa namanya.

Macet.

Namun seperti sebelumnya, Iris akan menikmati kemacetan dan keramaian jalanan. Ia akan terus memandang jalanan, tanpa perlu melihat kiri kanannya lagi. Fokusnya hanya kepada para pengendara motor dan mobil. Entah sejak kapan ia sangat menyukai kemacetan.

Akhirnya 45 menit kemudian ia sampai di halte dekat kampusnya, ia masih harus berjalan beberapa meter untuk sampai di fakultas tempat ia belajar.

"Woi!"

Iris menatap kearah belakang, dimana Liara, teman dekatnya selama tinggal di Bekasi, datang bersama satu temannya.

"Ga ada ramahnya ya, jiwa ceweknya juga nggak ada." Ucap Iris sambil melihat Liara. Lalu tersenyum kepada teman baru Liara —pikir Iris.

"Emang, gua aja heran. Kok betah sama cewe jadi-jadian ini?!" Teman Liara membalas ucapan Iris setelah memandang Liara sengit yang dibalas dengan pelototan mata, "gua Vio." Lalu mengulurkan tangan mencoba menjabat tangan Iris.

Dengan cepat Iris menyambut uluran tangan dari Vio, tersenyum lalu mengucapkan namanya dalam sekali tarikan.

"Kok gua baru liat lo?" Tanya Iris kepada Vio, mengabaikan Liara yang sudah pergi entah kemana. Kebiasaan memang suka menghilang tidak jelas.

"Kemaren sibuk sama Mapala," Katanya singkat.

Seketika Iris memperhatikan pantulan gadis yang sekarang duduk bersebelahan dengannya di kursi taman kampus. Wajahnya pucat dengan mata panda, terlihat tanpa polesan make up. Mungkin sedikit menggunakan bedak. Lalu pada kulitnya yang sedikit menghitam dan mungkin kusam, berakhir di rambut panjangnya yang di ikat asal. Sekilas Iris juga melihat sepatu milik Vio yang kotor karena lumpur.

"Gua satu semester di atas elu," Lanjutnya mengembalikan kesadaran Iris untuk tidak terus memperhatikan penampilannya. "Liara kaga bilang?"

"Nggak pernah bilang ke gua kalo dia punya temen satu tingkat di atas kita." Balasnya.

"Mau gua kasih tau gimana bisa gua temenan sama Liara?" Tawar Vio yang mendapatkan anggukan semangat dari Iris.

"Gausah!"

Tiba-tiba suara Liara menginterupsi pembicaraan Vio dan Iris.

"Jelangkung banget si lu." Kata Vio.

"Sorry abis malak," Jawab Liara yang membawa sebuah minuman dingin bersoda. "abisnya muka orang tadi, gimana ya? Minta banget di mintain. Gitu deh."

"Gila." Hanya itu respon Iris. Sementara Vio sudah mengambil alih minuman yang dibawa Liara untuk ia minum sendiri.

"Gua si owh aja Ris," Liara sudah bergabung dan duduk bersila kaki di sebelah kiri Iris, Vio sendiri berada di samping kanannya. "dan buat engkau kakak tercinta. Gausah buka kartu!"

"Pelit amat." Sindir Iris karena sebenarnya ia sangat penasaran dengan asal hubungan Liara dan Vio.

"Biarin, rahasia atuh belegug."

Liara memang berasal dari Bandung, dan memilih kampus impiannya yang berada di Jakarta. Padahal di Bandung sendiri banyak kampus ternama. Tapi selera orang jelas berbeda.

"Eh gua ada kelas. Pergi dulu. Bye."

Vio berjalan cepat menuju lift yang akan mengantarkannya keatas gedung utama fakultas.

"Kita kelas pertama jam berapa?" Tanya Liara kepada Iris.

Masih duduk bersebelahan, Liara bersandar pada bahu milik Iris. Padahal diantara keduanya, Liara lah yang patut dijadikan sandaran.

"Entar jam setengah sepuluh," Jawab Iris seadanya, lalu teringat akan hal yang ingin diceritakan kepada Liara. "Btw,"

"Ketebak, kenapa?"

Iris merasakan bahunya kembali ringan. Ia masih sama kagetnya akan kep kaan yang Liara punya. Ia selalu tahu kapan Iris akan berbicara serius dengannya. Dan dia akan selalu menjadi pendengar yang baik. Walaupun baru mengenal selama satu bulan, Iris selalu merasa beruntung bisa bertemu dengan Liara.

"Gua belum cerita ya? Soalan yang gua baru sampe ke Bekasi?" Tanya Iris. Mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Liara, juga ikut menyilangkan kedua kakinya.

"Belum." Singkat Liara.

Akhirnya Iris menceritakan semua kejadian di stasiun, sampai pada nomor telepon yang tertempel di Energen.

"Nih gua ada foto nomernya."

Iris menunjukan foto nomor HP yang sempat ia foto sebagai bukti kepada Liara.

"Wow." Balas Liara, "keren bener anjir. Secret admirer?"

"Wow." Iris mengikuti pengucapan Liara.

"Dan udah satu bulanan lebih, lu belum buka keresek itu. Pasti tuh orang nunggu elu buat hubungi dia. Kasian, mungkin dia udah patah semangat."

Liara memandang Irisviel. Gadis di hadapannya memang cukup menarik. Mungkin orang yang baru pertama melihatnya akan berfikir jika dia adalah seorang pendiam. Tapi jika sudah mengenalnya, jelas mereka akan merasa tertipu.

Wajah kalemnya, dengan sepasang mata cantik yang memiliki kantung mata, yang entah bagaimana justru menambah kecantikannya. Bibir tipis, alis lumayan tebal tanpa pensil alis, hidung kecil, juga muka merahnya saat dia malu atau kepanasan. Sangat lucu, bahkan untuk Liara yang notabene nya adalah perempuan.

"Gua bakalan hubungin nomor itu." Desis Iris membuat lamunan singkat Liara menghilang dan mengerutkan dahinya.

Apa Iris tidak berfikir akan kemungkinan terburuk dari tindakan gegabahnya itu?


To be continue..


-986w-

Kamu nggak sadar? Dialog disini sedikit banget. Soalnya author punya kelemahan. Paling susah buat bikin dialog panjang. Masih di usahain. Oho

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Better Than MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang