Prolog

36 2 0
                                    

" Malam kian menantang membentang samudra awan bersama kumparan kilau bintang, sesekali purnama sabit bak alis seorang bidadari rembulan menunjukkan pancar cahaya nya menyelubung lewati sela-sela awan yang kian tebal menutupi langit malam ini. "


Pada lain sudutku pandang kumpulan orang saling tertawa lepas beralaskan tikar gerobak angkringan pinggir jalan, bercahayakan lampu-lampu jalan mereka asyik membaur satu sama lain menikmati sisa-sisa waktu luang setelah seharian mereka habiskan untuk membanting tulang.

Canda tawa serta gurau melengking menerobos mengadu pada bising kendaraan yang saling adu suara klakson. Dengan jamuan sepiring gorengan penuh serta bungkusan nasi kucing disana tercipta kebahagiaan yang seolah-olah tiada habis nya.


Kupercepat langkah kakiku bergegas untuk segera menuju pada kedai kopi gimpal, seperti biasa sehabis pulang kerja aku selalu mampir pada kedai kopi ini.

Tempat paling istimewa untuk melepas capek, tempat untuk bersantai ria, begitu pula tempat mesra bagi muda-mudi untuk menyisihkan hati yang layu setelah berjuang merebutkan sekuntum mawar ataupun hati yang kosong terbengkalai sebab lama tak pernah ada satupun yang singgah, entah untuk sekedar menyapa ataupun bertamu sebab itulah kedai kopi gimbal ini tak pernah sepi dari pengunjung.

Seperti nama nya " KEDAI KOPI GIMBAL ", entah dari mana awal mula nama itu di dapat lalu di sematkan pada kedai kopi ini.

Tapi, pernah sekali ku bertanya pada pemilik kedai kopi ini yang sekarang telah menjadi sahabat karibku. " Mengapa kedai kopi ini harus bernama gimbal? " , ia pun menjawab dengan enteng " Ya karena, kau lihat sendirikan rambut gimbal kesayangaknku ini, makanya kedaiku kuberi nama KEDAI KOPI GIMBAL ".

Memang benar yang ia katakan, sejak pertama kali aku bertemu dengan nya dalam kedai kopi ini, ia sudah mengenakan rambut gimbal nya itu. Orang-orang pun banyak yang menyebutnya dengan sebutan gimbal.




DIALOG AKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang