Seperti biasa, pulang sekolah hari ini aku melewati Kiokubashi. Entah kenapa sore ini aku ingin jalan-jalan sebentar sebelum pulang ke rumah. Aku pun menuruni jembatan dan menuju ke sungai. Saat itulah aku melihat seseorang yang sepertinya kukenal sedang duduk di bawah salah satu pohon yang tumbuh di tepi sungai. Tanpa kukehendaki, kaki ini terayun mendekati orang itu.
Langkahku terhenti. Itu, kan ....
"Kagawa ...." Aku tidak tahu bagaimana nama itu terucap.
Aku menelan ludah. Pahit. Jangankan menyahuti panggilanku, dia bahkan tidak menoleh.
"Sedang apa kau di sini?" tanyaku memberanikan diri.
Satoshi tidak langsung menjawab. Aku memperhatikan wajahnya, mencoba membaca pikirannya, tapi tidak menemukan apa-apa. Seperti biasa ekspresinya datar. Satoshi lalu berdiri dan melipat kain yang dijadikannya sebagai alas duduk.
"Shalat," jawabnya pendek.
Dahiku berkerut. Bingung dan tak mengerti. Apa katanya tadi? Shalat?
Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, tiba-tiba Satoshi sudah berbalik dan hampir saja berlalu kalau aku tidak menahannya.
"Eh? Tunggu! Maksudku, jalan kita searah. Apa kita bisa pulang bersama? Masih ada yang ingin kutanyakan kepadamu."
Tanpa menjawabku, Satoshi mulai berjalan. Aku mengikutinya agak di belakang.
"Ehm, sebenarnya apa yang kau lakukan tadi?" aku mengulangi pertanyaanku, lalu menggeleng-geleng sendiri. "Ya, ya, kau sudah menjawabnya, tapi aku tidak memahaminya. Bisakah kau jelaskan lagi?"
"Shalat, itu salah satu cara beribadah kepada Allah."
Aduh, apalagi ini? Aku semakin bingung. Sepertinya kerutan di dahiku bertambah.
"Aku orang Islam," katanya lagi.
Mendengar pengakuan Satoshi, aku benar-benar kaget. Beberapa saat lamanya kami berjalan dalam diam. Hanya suara langkah kami yang terdengar.
"Bukankah itu agama orang Arab?" aku bertanya begitu berhasil menemukan suaraku kembali.
"Islam adalah agama universal. Agama untuk seluruh umat di segala zaman." Satoshi menjelaskan.
Aku tidak bisa berkomentar, tapi aku jadi ingin tahu lebih jauh.
"Kalau kau tertarik pada Islam, kau bisa bertanya kepada kakakku," ujarnya seperti dapat membaca pikiranku.
"Kenapa tidak bertanya kepadamu saja? Bukankah lebih mudah? Apakah kau terganggu?" aku memburunya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Pengetahuan kakakku lebih banyak."
Aku sempat tercengang mendengarnya. Kalimat itu benar-benar ringkas untuk menjawab rentetan pertanyaanku.
Setelah itu, tak ada yang berbicara lagi di antara kami. Satoshi hanya berpamitan singkat sebelum kami berpisah di belokan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Akatsuki
SpiritualSejak kecil Mayumi sudah yatim piatu. Dia diasuh oleh keluarga Nakano yang memiliki seorang putra bernama Shun. Setiap pagi Mayumi suka melihat langit fajar yang mengingatkannya pada Kagawa Satoshi, teman sekelasnya yang dingin, cerdas, dan menarik...