Asahi (Matahari Pagi) #6

25 4 0
                                    

Apa aku yakin? Tiba-tiba saja aku sadar sudah berdiri di depan pintu rumah Satoshi. Menekan bel atau tidak, ya? Apa aku pulang saja? Bukan saatnya untuk bingung ....

Tiba-tiba pintu di hadapanku terbuka. Sesaat aku terhenyak. Aku belum memencet bel, tapi wanita yang menjadi penghuni rumah ini sudah membuka pintu. Sudah begitu, wanita di depanku ini mengenakan pakaian yang sangat aneh. Hampir seluruh tubuhnya tertutup. Hanya wajah dan tangannya yang dibiarkan terbuka. Bahkan, kepalanya juga ditutupi kain berwarna merah muda yang sewarna dengan sakura. Meskipun aneh, dia terlihat cantik sekali.

Aku masih berdiri terpaku. Beberapa saat kemudian, barulah aku ingat untuk memperkenalkan diri. Aku membungkuk perlahan.

"Saya Nakano Mayumi, teman Satoshi. Salam kenal ...."

"Oh, teman Satoshi?" Wanita itu meletakkan pot berisi mawar putih di samping jalan menuju pintu masuk sebelum memperkenalkan dirinya. "Aku Kagawa Ayame, kakak Satoshi. Salam kenal. Silakan masuk."

Aku mengikuti wanita yang masih cukup muda itu.

"Silakan duduk," katanya mempersilakan.

Aku mengangguk, lalu duduk.

Kak Ayame sendiri kemudian masuk. Tak lama dia keluar lagi dengan membawa teh dan makanan ringan. Kak Ayame lalu duduk di depanku.

"Satoshi belum pulang." Kak Ayame menjelaskan.

Aku mengangguk-angguk. Bagaimana aku memulainya, ya?

"Ehm ... sebenarnya ... saya ingin bertemu dengan Kakak ...." ujarku memberanikan diri.

"Aku?" Kak Ayame menunjuk dirinya sendiri.

Aku mengangguk sedikit malu.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya perhatian.

"Kakak orang Islam, ya?" aku bertanya sambil melirik kain lebar yang menutupi kepalanya hingga sehelai rambut pun tak tampak.

"Iya."

"Sebelumnya saya minta maaf karena terlalu berterus terang ...."

"Tidak apa-apa." Kak Ayame tersenyum menenangkan.

"Sebenarnya ... saya sering heran dengan perbuatan Satoshi. Dia tidak makan daging, sering menghilang saat jam makan siang, dan banyak lagi yang lainnya. Suatu hari, saya tidak sengaja melihatnya baru saja selesai ... shalat ...." ucapku ragu.

"Shalat." Kak Ayame membenarkan.

"Ya, itu yang saya maksud. Lalu Satoshi bilang bahwa dia orang Islam. Waktu saya ingin bertanya lebih jauh, dia menyarankan saya untuk menemui Kakak."

Kak Ayame mengangguk-angguk. "Begitu, ya?"

Maka, aku mulai bertanya tentang alasan Satoshi tidak makan daging.

"Dulu saya pikir dia seorang vegetarian," komentarku jujur.

Kak Ayame tersenyum. "Allah telah mengaruniakan banyak hal di dunia ini. Banyak sekali yang boleh dimakan manusia, namun hanya sedikit yang dilarang. Di antara yang tidak diperbolehkan itu adalah alkohol, daging babi, darah, bangkai, serta hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Islam bukannya melarang mengonsumsi daging, tetapi demi keamanan, kami lebih memilih untuk tidak memakannya. Lagi pula, masih banyak jenis ikan."

"Tapi, kenapa dilarang memakannya?" tanyaku ingin tahu.

"Itu demi kebaikan manusia juga. Alkohol, kan, memabukkan. Orang yang mabuk bisa berbuat apa saja yang tidak masuk akal dan membahayakan dirinya maupun orang lain. Lalu, pada daging babi dikhawatirkan terdapat cacing pita yang menyebabkan penyakit."

Benar juga, ya? Bukankah dalam pelajaran biologi sudah pernah dijelaskan?

"Lalu, alasan Satoshi menghilang pada jam makan siang?"

"Oh." Kak Ayame tersenyum simpul. "Itu karena Satoshi harus shalat."

"Tapi, saya pernah melihat Satoshi shalat sepulang sekolah?" kataku heran.

Kak Ayame mengangguk. "Iya, shalat itu suatu ritual ibadah. Satu hari lima kali."

Aku hampir berteriak kaget. Memangnya tidak lelah?

"Lalu, kapan saja lima kali itu? Boleh saya catat?"

Kak Ayame mengangguk. Aku pun menyiapkan catatan.

"Pagi hari sebelum matahari terbit, namanya shalat Subuh, lalu siang hari setelah matahari melewati tempat tepat di atas kepala, itu namanya shalat Zuhur. Itu yang biasanya dikerjakan Satoshi waktu istirahat siang. Lalu sore hari namanya shalat Asar, biasa dilakukan Satoshi sepulang sekolah. Setelah matahari terbenam, ada shalat Magrib, dan pada waktu malam namanya shalat Isya'." Kak Ayame menyebutkan pelan-pelan karena aku masih mencatat.

"Oh, begitu ...." Aku mengangguk-angguk sambil memandangi catatan yang baru saja kubuat.

Aku hendak menanyakan esensi shalat itu sendiri, tetapi sebelum sempat, Kak Ayame sudah menerangkannya tanpa kuminta, seperti mengetahui yang kupikirkan saja.

"Selama ini bangsa kita dididik untuk berdisiplin, tapi terkadang jiwa kita terasa kering. Memang ada beberapa yang menenangkan diri dengan melakukan meditasi, tapi itu saja belum cukup. Dalam hal ini, shalat menjadi kebutuhan manusia yang sangat penting. Dengan melakukan shalat lima kali sehari pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, seorang Muslim akan terlatih untuk senantiasa berdisiplin sekaligus terpenuhi kebutuhan jiwanya karena dia selalu merasakan kehadiran Allah di dekatnya."

Aku terhanyut oleh penjelasan Kak Ayame. Apa benar Islam itu sebuah agama? Bagaimana mungkin agama mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan, kerukunan manusia, bahkan kesejahteraan masyarakat?

"Apa ada yang belum jelas, Mayumi? Aku bicara terlalu banyak, ya?" tanya Kak Ayame kemudian.

Segera aku tersadar dari renunganku.

"Tidak ... saya hanya ... masih banyak yang ingin saya tanyakan, tapi sudah sore. Apa saya boleh datang lagi?" ungkapku malu-malu.

"Mochiron (tentu)." ujar Kak Ayame seraya tersenyum, manis sekali.

***

AkatsukiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang