Makan malam kali ini, kami menikmati sukiyaki untuk menyambut kedatangan Kak Shun. Di meja sudah tersedia wajan yang akan digunakan untuk memasak daging sapi dan sayuran yang sudah dipotong-potong. Ada bayam, bawang daun, jamur shimeji, jamur shiitake, juga tofu. Lalu, ada minyak sayur untuk memanggang serta saus untuk memasak.
Ibu memanaskan minyak sayur. Setelah itu, kami memanggang daging dan sayuran yang sudah disiapkan. Ibu menyiramkan saus secukupnya ke daging serta sayur yang sedang dipanggang itu. Begitu matang, ayah, ibu, Kak Shun, dan aku pun menyantapnya.
"Itadakimasu (selamat makan)!"
Selama acara makan malam, Kak Shun banyak bercerita tentang pengalamannya sewaktu tinggal di Inggris. Sebagian memang sudah pernah kudengar ketika dia menghubungi ke rumah, tapi aku tetap menyimaknya karena mendengarkan langsung terasa lebih istimewa daripada saat berhubungan jarak jauh.
"Ya, begitulah ...." Kak Shun mengakhiri ceritanya.
"Tetapi, Kakak keterlaluan! Kenapa Kakak tidak memberi tahu dulu kalau mau pulang?" kataku merajuk.
Anehnya, ayah dan ibu tidak ikut protes. Mereka malah saling melempar senyum.
"Eh, kenapa? Ayah, Ibu ...." Aku memohon kejelasan.
Ayah berdehem sebelum berujar, "Sebenarnya, Shun memberi tahu ayah kalau dia akan kembali ke Jepang hari ini."
"Lalu, ayah memberi tahu ibu." Ibu menimpali.
Aku mengernyitkan dahi. "Kalau begitu, kenapa tidak ada yang memberitahuku?"
"Karena aku melarangnya," jawab Kak Shun santai.
Aku mendelik ke arah Kak Shun, tapi dia hanya tertawa-tawa.
"Shun, kau sudah berhasil menyelesaikan sekolah bisnismu di Inggris. Ayah bangga kepadamu," ucap ayah.
"Terima kasih, Ayah." Kak Shun tersenyum.
"Mayumi, ayah tidak akan menuntutmu untuk bisa sama seperti kakakmu. Tetapi, ayah berharap kau juga berusaha keras supaya tidak mempermalukan keluarga Nakano," lanjut ayah.
Aku menelan ludah. "Hai," sahutku lirih.
Mendadak, suasana menjadi tidak enak.
"Ibu yakin, Mayumi tidak akan mengecewakan kita. Selama ini Mayumi selalu membuat ibu bangga."
Aku tersenyum mendengarnya. "Terima kasih, Bu."
"Hahaha ... benarkah? Wah, adikku ini sudah dewasa, ya?" Kak Shun meledekku lagi sambil mengacak-acak rambutku.
Ternyata Kak Shun tidak berubah. Dia masih sama seperti dulu, masih suka mengerjaiku. Kalaupun ada yang berubah, mungkin perubahan fisiknya. Ketika kami sama-sama berdiri tadi, aku sudah setinggi pundaknya. Waktu Kak Shun hendak berangkat ke Inggris dulu, aku baru setinggi pinggangnya. Lalu, Kak Shun juga tampak lebih dewasa. Garis wajahnya terlihat lebih keras dan tegas daripada terakhir kali aku melihatnya. Kulitnya semakin putih, bahkan agak pucat, tampak kontras dengan rambut hitamnya yang lurus. Helai-helai rambutnya ada yang menutupi dahi, menaungi sepasang mata hitam yang memiliki pandangan tajam, tetapi juga mampu memberikan tatapan lembut yang meneduhkan.
"Hei, Mayuhime ...." Kak Shun menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku.
"Eh?" aku tergeragap.
"Aku tahu kau rindu kepadaku, tapi kenapa menatapku sampai seperti itu? Apa aku terlalu memesona bagimu?" Kak Shun bertanya usil.
"Hah?" Aku baru sadar bahwa sejak tadi terus-menerus menatap Kak Shun. Aku pun meninju bahunya main-main.
Kak Shun kembali tertawa, sementara ayah dan ibu tersenyum. Canda serta cerita masih terus mengalir selama acara makan malam berlangsung. Betapa bahagianya berkumpul bersama keluarga meskipun aku tahu ini bukan keluarga kandungku, meskipun aku tahu bahwa sampai sekarang masih ada seseorang yang sepertinya belum sepenuhnya menerimaku.
***
Note:
Sukiyaki adalah masakan Jepang berupa daging sapi dan aneka sayuran serta bahan-bahan lain yang dipanggang di wajan yang diletakkan di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akatsuki
EspiritualSejak kecil Mayumi sudah yatim piatu. Dia diasuh oleh keluarga Nakano yang memiliki seorang putra bernama Shun. Setiap pagi Mayumi suka melihat langit fajar yang mengingatkannya pada Kagawa Satoshi, teman sekelasnya yang dingin, cerdas, dan menarik...