Asahi (Matahari Pagi) #5

28 5 1
                                    

Hari Ahad Kak Shun mengajakku keluar. Dia ingin menraktirku makan ramen di kedai yang menjadi langganan kami sejak dulu.

Dalam perjalanan berangkat, waktu aku dan Kak Shun sedang menyeberangi sebuah perempatan, tiba-tiba mataku tertumbuk pada seseorang yang juga sedang menyeberang dari arah berlawanan.

Eh? Bukankah itu Satoshi? Dia sedang menuntun seorang nenek menyeberang jalan. Mataku lekat mengikuti setiap langkahnya, tapi Satoshi tampaknya tidak melihatku karena sedang memperhatikan langkah-langkah nenek yang dituntunnya.

"Hei, Mayuhime!" Kak Shun berseru sambil menarik tanganku karena tanpa sadar aku menghentikan langkah di tengah jalan.

"I, iya, maaf ...." Aku segera mengikuti langkah-langkah cepat Kak Shun.

Sempat kutolehkan kepala ke belakang, tapi bayangan Satoshi sudah lenyap di balik sekelompok orang yang sedang menyeberang.

"Kau melamun lagi!" tegur Kak Shun waktu kami melanjutkan perjalanan.

"Eh?" aku tersentak.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Nandemo nai (bukan apa-apa) ...." aku menggeleng-geleng.

Kak Shun menatapku penuh selidik. Aku pura-pura tidak tahu.

Tak lama kemudian, kami tiba di kedai ramen langganan kami. Kami memesan masing-masing satu mangkuk.

"Itadakimasu!" Aku membuka sumpit dan mulai makan.

"Itadakimasu!" Kak Shun menyusul kemudian.

Sambil makan ramen, kami pun berbincang mengenai berbagai hal. Kak Shun menanyakan apa saja yang sudah terjadi selama dia pergi, sementara aku memintanya bercerita tentang pengalamannya sewaktu di Inggris.

"Ngomong-ngomong, apa kau tahu kenapa kau diberi nama Mayumi?" tanya Kak Shun tak terduga.

Dahiku mengernyit. "Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Jawab saja."

"Ehm ..." aku berpikir sejenak. "Karena adik Kak Shun bernama Dan, kan?"

Kak Shun mengembuskan napas. "Benar, tapi aku menemukan alasan lain."

"Alasan lain?" ulangku.

Aku memang bukan anggota kandung keluarga Nakano. Tujuh belas tahun yang lalu, ibu kandungku meninggal saat melahirkanku. Ayah yang saat itu menggendongku, bertemu Nakano Shinobu dan istrinya, Tatsumi. Mereka pun mulai berbincang-bincang. Dari situ diketahui bahwa ternyata putra kedua keluarga Nakano yang baru berusia seminggu meninggal dunia. Setelah mengetahui keadaanku, Nyonya Tatsumi pun meminta izin kepada ayah untuk mengasuhku karena putranya baru saja meninggal dan dia bisa memberikan ASI yang kubutuhkan. Ayah menerima tawaran itu. Maka, aku pun diasuh oleh keluarga Nakano. Ayah mengunjungiku setiap pulang kerja.

Keluarga Nakano memperlakukan aku dengan baik seperti anak kandung mereka sendiri. Bahkan, aku diberi nama Mayumi karena putra kedua keluarga Nakano yang meninggal itu bernama Dan. Cara penulisan nama kami menggunakan huruf kanji yang sama. Artinya juga sama, yaitu kayu cendana. Ayah sendiri menyetujui nama yang diusulkan oleh keluarga Nakano karena waktu itu ayah belum menemukan nama yang baik untukku.

Ketika aku berumur tujuh bulan, ayah melakukan perjalanan ke luar negeri. Dalam perjalanannya kembali ke Jepang, pesawat yang ditumpangi ayah terjatuh. Sejak itu, aku resmi menjadi yatim piatu. Aku pun kemudian diangkat sebagai bagian dari keluarga Nakano.

Waktu kecil aku memang belum tahu mengenai keadaanku yang sebenarnya. Namun, begitu aku cukup mengerti, keluarga Nakano menjelaskan tentang keluarga asalku. Aku justru lega. Sebab, aku yakin suatu hari nanti pasti akan mengetahui hal tersebut walaupun mereka berusaha menutupinya. Dengan mengetahuinya lebih awal, itu membuatku merasa lebih baik.

"Kau tahu, kan, kayu cendana itu berbau harum?" tanya Kak Shun, membuatku tersadar dari lamunan tentang masa laluku.

Aku mengangguk.

"Waktu kami pertama kali melihatmu, kau berbau harum," ujar Kak Shun melanjutkan.

Benarkah?

"Lalu, pipimu juga merah merona. Pernah dengar Pterocarpus santalina?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

"Itu jenis cendana yang kayunya berwarna merah," jelasnya.

Jadi, itu semua alasan kenapa namaku Mayumi?

"Kau masih harus banyak belajar, Mayuhime!" Kak Shun mengayun-ayunkan sumpitnya di dekat wajahku. "Sudah, habiskan makananmu!"

Aku sedikit tergeragap. "I, iya ...."

Aku pun mulai makan lagi. Rupanya aku terlalu lama melamun sampai lupa untuk memakan ramen yang terhidang di hadapanku.

***

AkatsukiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang