1

35 3 0
                                    

Haruno Sakura

     Sudah jalan berapa bulan setelah aku keluar dari tempat kerjaku yang lama? Hm,  sepertinya ada sekitar tiga bulan lebih dan sampai saat ini aku belum juga mendapatkan tempat kerja lain sebagai penggantinya. Di zaman sekarang, populasi penduduk semakin padat sementara lapangan kerja semakin menurun. Mereka yang berleha-leha dan hanya diam menunggu mukjizat dari Tuhan aku yakin mereka tidak bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Termasuk pekerjaan. Brengseknya, itu adalah aku.

Well, dimasa menganggur seperti sekarang aku tidak mencari pekerjaan baru untuk menyambung kehidupan. Setelah resign dari tempat asalku bekerja, aku hanya berdiam diri di apartemen Ayah dengan semua kemalasan yang tiba-tiba terasa seperti teman sejati. Haha. Bukan tidak mau mencari pekerjaan baru, aku hanya ingin menikmati waktu me-time ku saja. Namun, sepertinya ini jadi sedikit lebih lama.

Ayah bilang, sebenarnya aku tidak perlu bekerja keras seperti aku tulang punggung satu-satunya keluarga Haruno. Aku bisa menghabiskan seluruh aset keuangan Ayah yang tidak akan habis selama 7 turunan itu dengan jari jemariku.

Sungguh. Aku ingin percaya itu. Dan aku ingin merasakannya juga. Tapi, Ada seseorang yang berkata padaku ditempat kerja ku sekitar 2 Tahun yang lalau. Dia berkata,

"Kamu adalah Anak perempuan satu-satunya dari keluarga yang terjamin, mana mungkin paham begitu susahnya untuk daftar ke perusahaan ini tanpa sebuah nama dan latar belakang keluarga."

Sedikit menyebalkan. Dingin. Arogan. Sekali bicara mematahkan segala ranting pohon yang ada di kebun kakek. Tetapi, itu membuatku sedikit penasaran dengan arti dari apa yang dia katakan. Dan aku ingin mencobanya. Dan ya, mencari kerja tanpa latar belakang keluarga sangat susah untukku. Lalu pada akhirnya, aku terdampar kembali di Apartemen Ayah.

Tetapi, disamping itu. Aku ingin bertemu dengan bocah tengik itu lagi dan membawanya bekerja di perusahaan Ayah. Namun, sudah lebih dari 2 tahun tiga bulan, aku belum menemukannya juga. Aku tidak bisa mencarinya lewat inisial nama, tidak juga mencarinya lewat alamat suatu tempat. Kami tidak sempat berkenalan karena pada saat itu, aku membuat kesalahan fatal yang membuatnya ditolak mentah-mentah di perusahaan itu.

Laki-laki berkulit putih, tatapannya setajam mata Elang. Dan wajahnya yang datar seolah menggambarkan hatinya yang dingin sedingin gumpalan es di musim salju. Aku ingin bertemu denganmu lagi. Sekali seumur hidup pun tidak apa-apa. Haha

"Aku menunggu mu di basement, tapi kau malah malas-malasan disini, huh?" Aku mengalihkan atensi ku dari atap langit ke pintu kamar yang dibuka seseorang yang suaranya sudah aku hafal diluar kepala. And, just for your information sebenarnya Agak sedikit menyebalkan jika dia yang datang ke sini.

"Ada urusan apa?"

"Menjengukmu?"

"Memangnya aku kenapa?"

"Well, yeah.. siapa tau kamu bunuh diri karena stress tidak kunjung mendapatkan pekerjaan baru? Siapa yang tau,'kan." Begitu Sai menyelesaikan kalimatnya yang terkesan mengejek dibandingkan jawaban pertanyaan yang sopan aku hanya mendengus kasar dan beranjak dari kasur untuk mengambil camilan.

Sai adalah teman sekaligus mantan kekasih ku 1 tahun yang lalu. Orangnya manis namun mulutnya berduri. Biasanya apapun yang dikatakannya adalah fakta tanpa saringan. Jadi, jangan heran jika nanti ia mengatakan sesuatu diluar otak manusia pada umumnya.

"Tidak pergi ke Kantor?" Aku membuka topik diantara kami setelah menyimpan beberapa camilan dan minuman kemasan di depannya.

Sai mengambil satu botol kopi dingin yang aku bawa sebelumnya, membuka penutupnya lalu meneguknya sebelum menjawab. Begitu selesai meneguk seperempat dari minuman kopinya, Sai tersenyum manis lalu menjawab pertanyaanku beberapa saat sebelumnya.

"Tadinya aku sudah pergi ke Kantor dan bersiap menyalin beberapa dokumen ke dokumen yang baru untuk diserahkan ke Ayahmu. Tapi beliau memintaku untuk menemuimu di apart ini. Katanya, beliau takut kalau-kalau kamu frustasi dan loncat dari ketinggian untuk mengakhiri kefrutasianmu yang tidak mendasar." Oleh Sai. See? Otaknya diluar nalar. Sama seperti Ayah. Menyebalkan memang. Aku memukul kepalanya dengan botol minuman kopi yang lain dan membuatnya tertawa terbahak-terbahak. Tapi tetap terlihat manis untuk wajahnya yang putih.

"Mau pergi jalan-jalan?" Ujarnya tiba-tiba. Aku menoleh padanya sekilas lalu melihat jendela kaca yang menampilkan lautan gedung-gedung tinggi disana dengan langit cerah yang membentang luas. Jangan lupakan Matahari yang begitu terik hari ini juga. Lalu atensi ku kembali pada sosoknya.

"Kemana?" tanyaku. Sai menatapku intens lalu menyeringai seperti sudah menemukan jawaban yang tepat untuk membuatku kesal.

Sejurus kemudian, ia menyondongkan kepalanya padaku dan berbisik sensual disamping telingaku dengan seringainya.

"Ke.. Pela.. minan?" Ucapnya dengan memberi jeda disetiap kata yang keluar. Menjijikan memang.

Aku mengumpat kasar lalu berakhir dengan aku yang memukulinya dengan botol kopi yang sudah diteguk Sai sampai tandas sebelumnya. Otak pria Ini, benar-benar hanya memikirkan tentang seksualitas. Wanita mana yang tidak kesal dengan itu.

Well, yeah tentu saja wanita gila yang kemarin berada diranjangnya hanya karena Sai berkata hal-hal yang manis seperti ini.

Lanjut?

The JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang