Tay Tawan berdiri dengan muram di sisi terujung dek observasi yang kini dilingkupi atmosfer tegang tak terkendali. Ia berkali-kali mengecek jam tangannya, yang kini seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Bertanya-tanya sudah berapa lama waktu berlalu, sudah berapa menit keterlambatan, sudah berapa keresahan yang menggigitinya.
Jantungnya berdentum kencang hingga iramanya memenuhi gendang telinganya.
Ayolah. Ayolah.
"Satu jam," Tay mendengar Neen, salah satu staff kontrol yang membantu memantau jalur komunikasi berbisik pada Arm yang kelihatan pucat pasi, "satu jam lagi."
Mungkin bagi Neen, satu jam hanyalah angka. Mungkin bagi Arm, satu jam hanyalah penantian. Hanya dua kemungkinan bagi semua orang yang kini menanti di dek observasi sambil mengamati angka hitung mundur di proyektor besar ruang kontrol. Berhasil, atau tidak berhasil.
Sesederhana itu. Jikalau gagal, mereka mungkin akan kehilangan teman, berduka dan sedih, satu lagi pesawat percobaan yang tak pernah berhasil ke Mars. Kalau berhasil, mereka senang. Harapan baru umat manusia akhirnya bertunas.
Lagipula bagi mereka, ini hanya pekerjaan. Ketika mereka melangkah ke rumah masing-masing nantinya, seseorang siap memberikan pelukan hangat dan sejenak tak ada lika-liku astronomi dalam benak mereka.
Bagi Tay Tawan, ini jauh lebih dari itu. Bagi Tay Tawan, ini bukan sekedar pekerjaan yang bisa ia lupakan nantinya.
Baginya, satu jam adalah takdir. Keputusan. Satu sirkuit yang bila korslet bisa mengubah seluruh hidupnya. Baginya, satu jam itu bagaikan ruang penuh probabilitas yang bisa atau tidak bisa menjatuhkannya ke jurang gelap.
Dia tidak sedang mempertaruhkan seorang teman, atau pekerjaan, atau keberhasilan pertama pendaratan Mars, atau harapan umat manusia.
Tay Tawan sedang mempertaruhkan hidupnya, dan tak akan mungkin dapat melupakannya bahkan saat ia pulang ke rumah.
Sebab di sana, di tempat itu, yang kini masih dipertanyakan keberadaannya, adalah eksistensi New Thitipoom, kekasihnya, calon pendamping hidupnya, satu-satunya yang mengerti Tay Tawan, rumahnya.
Hidupnya.
Dan bagi Tay Tawan, jika misi itu gagal,
Ia tak akan lagi bisa berjalan lurus.
Kali itu, Tay bahkan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. Ia menumpukan badannya pada dinding di belakangnya, berusaha mengatur nafasnya yang seolah menjauh seiring angka itu kian berkurang. Di bawah di lahan kontrol, orang-orang mulai berlalu-lalang, mempersiapkan segala hal apabila yang terburuk terjadi.
Satu jam, kata Neen.
Maka lebih dari itu, berakhir sudah.
Kumohon.
Pulang.
"Tuan Chansook!" Jerit salah seorang staf kontrol dari lantai satu, melambai-lambaikan tangannya ke dek observasi meminta perhatian Arm, "Tuan Chansook!"
"Ada apa?" Tubuh Arm menegang.
Pun demikian seluruh observasi yang kini, terasa jauh lebih hening dari sebelumnya ketika semua orang menahan nafas mereka masing-masing. Pun demikian bagi Tay Tawan yang merasa ingin meledak.
Sudah 8 bulan.
Bintang-bintang bilang kau akan pulang.
Kumohon.
"Ada- anu, ada sinyal! Kompeturku menangkap sinyal!"
Suara kesiap orang banyak memecah keheningan menegangkan itu. Berduyun-duyun, orang-orang mendekat ke komputer si staff kontrol, Phuwin Tangsakyuen, yang memunculkan tanda kelap-kelip merah pertanda sinyal.
KAMU SEDANG MEMBACA
[IDN] Let The Stars do The Rest ❦ taynew
Fanfiction[ taynew astronaut!au ] New Thitipoom, sang peneliti antariksa di NARIT, akhirnya mendapat kesempatan menggapai mimpi yang selalu ia impikan; terbang ke luar sana, menginjakkan kakinya di salah satu planet liar. Namun, satu fakta membuatnya tidak se...