You think you know me? Think again.
*******
Bima menghembuskan nafasnya perlahan sewaktu dia melihat Latisha dengan seenaknya saja melempar kaos sobek yang ia kenakan sebelumnya dan berdiri dengan bra hitam yang menutupi bagian dadanya lalu berganti baju seolah- olah diruangan itu hanya ada dirinya.
Bima tidak terlihat, atau memang Latisha tidak pernah menganggap Bima ada? Entahlah...
Empat tahun lalu, di saat pertama kali mereka bertemu dan Latisha meminta uang kepadanya, hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya.
Latisha gila.
Tidak ada nada canda dalam kata- katanya, lagipula mereka tidak sedekat itu untuk Latisha bisa bercanda dengannya mengenai uang.
Apakah dia tidak berpikir kalau kata- katanya bisa diartikan berbeda? Maksud dari jawaban asal Latisha dapat dikonotasikan dengan buruk bagi beberapa orang dengan pemikiran dangkal.
Bima saat itu hanya menaggapinya dengan tawa dan balas menjawab asal. "Kalau gw kasih loe uang, trus loe bisa kasih gw apa?"
Latisha tidak langsung menjawabnya, dia hanya menatap Bima tajam.
Pada saat itu Bima pikir Latisha akan marah dan menamparnya, atau paling tidak dia akan memakinya, karena berdasarkan apa yang ia dengar mengenai kepribadian perempuan di hadapannya ini, bahwa Latisha memiliki pemikiran yang sempit dan emosi yang pendek.
Tapi, siapa yang menyangka justru Latisha menanggapinya dengan serius.
"Loe mau apa? Loe bisa ambil apapun dari gw selama uang yang loe kasih ke gw sesuai." Latisha menjawabnya dengan nada yang datar, tetapi matanya berkata lain.
Perempuan ini bersungguh- sungguh dengan ucapannya.
Pada saat itu juga Bima menyadari kalau Latisha jauh berbeda dari rumor yang beredar disekolah. Dia tidak memiliki teman bukan karena dia tidak ingin berteman, tetapi karena cara berpikirnya yang tidak sama dengan remaja yang sebaya dengannya.
Pada saat Latisha mengatakan hal tersebut, usianya baru menginjak lima belas tahun, kelas 1 SMA, tetapi, Bima merasa dia sedang berbicara dengan orang yang jauh lebih tua darinya.
"Loe butuh uang sampai segitunya?" Bima menaikkan alis matanya sambil menatap Latisha, tatapan mencemooh.
"Gw butuh uang sampai segitunya." Latisha menjawabnya tanpa ragu, dan sekali lagi tubuhnya menggigil kedinginan saat angin dingin berhembus membawa rintik hujan.
Bima tertawa mendengar jawaban Latisha. "Hati- hati kalau ngomong, orang bisa salah paham kalau mendengar cara loe ngomong yang seperti itu." Dia memperingatkan.
Tetapi, Latisha tidak menanggapinya, kali ini dia melengos dan memilih untuk mengeringkan rambutnya yang hitam dan panjang.
"Rumah loe dimana? Ayo sini gw anterin." Bima hanya kasihan padanya, biar bagaimanapun juga Latisha adalah anak perempuan dan dalam situasi seperti ini, dimana sekolah hampir ditutup karena sudah sore dan hujan lebat yang menyebabkan Latisha masih terjebak disekolah, dia hanya ingin membantu.
Lagipula Bima akan lulus sebentar lagi dan dia tidak akan bertemu dengan adik kelasnya ini.
Paling tidak begitulah yang Bima pikirkan saat itu, saat ia memberikan tumpangan pada Latisha.
Walaupun ada sedikit rasa penasaran dalam hatinya yang menyebabkan ia ingin membuat Latisha berbicara lebih banyak padanya.
"Gw uda bilang, kasih gw duit aja kalau loe memang mau bantu." Latisha bahkan tidak melirik Bima sama sekali saat ia mengatakan hal tersebut.
Entah apa yang merasuki Bima saat ia mengambil sesuatu dari dalam tas punggungnya dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dari dalam dompetnya.
"Lw mau duit?" Bima melambaikan uang dua ratus ribu ditangannya dengan gerakan mengejek. "Ambil nih."
Baginya yang hidup berkecukupan, uang dua ratus ribu tidak ada harganya di matanya. Bima bisa mendapatkan uang lebih dari itu dalam sekejap mata saja.
Bima pikir, kali ini Latisha akan marah atas sikapnya yang merendahkannya, tapi perkiraannya salah lagi.
Latisha berjalan menghampirinya dengan tenang dan mengambil uang dua ratus ribu dari tangannya sembari berkata pendek. "Thanks."
Entah kenapa Bima justru kesal karena dia tidak berhasil membuat Latisha marah. Bukankah rumor disekolah ini bilang kalau dia memiliki masalah dengan emosinya? Tapi, bagaimana bisa dia dengan tenang menanggapi sikan Bima padanya?
Justru sebaliknya, Bima mulai kesal karena reaksi Latisha jauh dari yang dia harapkan.
Mungkin ini karena pengaruh terlalu lama belajar dan agak sedikit stress, maka Bima ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda.
Latisha berbeda, tapi dalam konteks yang tidak sesuai dengan keinginan Bima saat ini.
Sejujurnya dia ingin melihat bagamaina buruknya perangai Latisha dan seberapa temperamennya dia, bukan sosok perempuan yang tenang dan menanggapi kata- katanya seolah mereka hanya membicarakan cuaca.
"Thanks? Loe bilang, loe bakal kasih sesuatu ke gw, kalau gw kasih lw duit?" Bima melipat tangannya di depan dadanya, wajahnya menunjukkan ekspresi idak senang.
"Terus? Mau loe apa?" Latisha memasukkan uang dua ratus ribu tersebut kedalam tas biru kumalnya.
Di telinga Bima, cara Latisha mengatakan hal tersebut terdengar seperti sebuah tantangan dan dia paling tidak suka ada orang yang menantangnya seperti itu.
Pada saat itu, Bima masih terlalu muda untuk disebut sebagai lelaki dewasa yang memiliki emosi yang matang.
Ia bahkan bersikap agak kekanak- kanakan dalam menanggapi Latisha. "Gw mau loe cuci ini."
Bima setengah sebal dan setengah penasaran dengan reaksi Latisha. Kali ini dia mengeluarkan baju seragam basketnya yang masih lembab karena keringat dan melemparkannya tepat ke kaki Latisha.
Untuk beberapa saat Latisha tidak menunjukkan reaksi apapun, matanya hanya menatap lurus ke arah seonggok baju yang tergeletak tepat dibawah kakinya.
"Kenapa? Tadi bukannya loe nanya, mau gw apa?" Bima mengangguk ke arah baju kotor di kakinya. "Gw mau loe cuci ini." Dia menendang pelan baju basketnya kearah Latisha.
Tetapi, bukannya mengambil baju tersebut, justru sebuah senyum yang dipenuhi dengan celaan tersungging di sudut bibir Latisha.
"Loe pikir gw pembantu loe?" Latisha bertanya dengan berani, seolah Bima bukan merupakan salah satu kakak kelas yang ditakuti di lingkungan sekolah. "Loe pikir dua ratus ribu cukup?"
Bukan hanya kaya dan merupakan calon penerus dari perusahaan besar di Negeri ini, tapi karena Bima sejak kecil sudah dididik mengenai bisnis dan kepimpinan, dia memiliki ego yang lebih besar dan dominan dibandingkan dengan remaja yang seusia dengannya.
Oleh karena itu, melihat sikap arogan Latisha dan cara dia berbicara, membuat Bima mengepalkan tangannya untuk menahan rasa kesal yang tercekat di tenggorokannya.
"Dua ratus ribu itu sudah lebih dari cukup." Bima berkata sambil menggertakkan giginya.
"Effort gw gak segitu murahnya Kak Bima..." Latisha menyebut namanya dengan nada mengejek, paling tidak dia tahu nama orang yang dia hadapi.
"Kalau loe memang gak bisa, mana sini duit gw!" Dia mengulurkan tangannya untuk meminta uangnya kembali.
Hanya saja Latisha memiliki pemikiran yang berbeda. "Loe gak malu ngambil duit yang sudah loe kasih ke gw?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THIS IS A STORY ABOUT HER
RomanceJANGAN DIBACA! Kalau kamu menginginkan tokoh utama yang polos, penuh kasih sayang dan memiliki perasaan yang halus, karena Latisha berbeda. ##### "Apa diagnosis untuk Latisha." Bima bertanya pada Dr. Sasi, psikolog yang menangani Latisha. "Bipol...