Orang waras yang berpikir jernih dan visioner tentu akan langsung-tanpa perlu berpikir dua kali-mengenyahkan pikiran romansa yang abadi jika itu berhubungan dengan mesin penghancur hati nomor satu di abad ini, Uchiha Sasuke. Karena, ayolah gadis-gadis, jangan membuang waktu menjadi delusional dengan berharap tinggi pada pria dengan starter pack lengkap seorang brengsek sejati. Hanya orang gila yang menyedihkan dengan sukarela mengabdikan seluruh perasaan pada lelaki yang menebar harapan-dan kita semua tahu bagaimana akhir ceritanya. Tidak ada. Tidak ada akhir karena dari awal dia memang tidak berniat memulai apa-apa.
Namun yah, mungkin takdir percintaannya memang digariskan menjadi yang terburuk dari yang terburuk. Sejelas apapun realita itu ada di depan mata dan disodorkan dengan gamblang untuk dia lihat, Haruno Sakura terlalu abai untuk peduli.
Yup. Dialah orang gila yang tidak berpikir kedepan itu. Yang hatinya seimpulsif otaknya. Kalau cinta itu buta-ih, picisan, Haruno Sakura sudah di tahap disfungsional akut jika berhubungan dengan Uchiha Sasuke. Maka ketika di suatu malam yang tidak berbintang dan berawan tebal ini ponselnya berdering menunjukkan nama Sasuke sebagai pemanggil, dia yakin tubuhnya menderita stroke ringan sepersekian sekon hingga membiarkan ponsel itu berdering beberapa kali tanpa tersentuh.
"Ha-halo?" Sakura berusaha menjaga suaranya agar terdengar seperti kombinasi antara santai dan bingung. Seolah-olah dia tidak tahu siapa yang menelepon padahal tentu saja dia sudah menyimpan nomor Sasuke jauh-jauh hari tanpa berani menghubungi duluan.
"Hm, aku mengganggu?"
"Tidak. Eh.. ini siapa?" Sakura punya bakat akting yang buruk. Beruntung percakapan ini lewat suara karena jika tidak, kau pasti akan langsung tahu dia berbohong jika melihat otot wajahnya berkedut aneh.
"Sasuke," suaranya dalam, bahkan terdengar seksi ketika dia hanya melafalkan namanya sendiri. Walaupun di tempat Sasuke terdengar ramai dan berisik, Sakura bisa mendengar jelas nama itu terucap.
"A-ah! Senior!" Sakura menggigit bibir, berharap tidak terdengar terlalu bersemangat. "Ada perlu apa?"
"Aku mencari Karin, dia ada di rumah?"
"Dia belum pulang dari pesta Konan."
"Aaa.. benarkah? Kalau begitu Sasori?"
"Dia juga belum pulang."
"Oh..." terdengar helaan napas, "ya sudahlah, maaf mengganggu."
Sakura membuka mulutnya ingin berbasa-basi, tetapi panggilan itu segera terputus tepat ketika si pria selesai berbicara. Dia mengerjap, menatap layar yang mati. Apa Sasuke tidak pernah belajar konversasi dua arah sebelumnya? Gadis itu mendengus.
Yah, mungkin dia cukup kecewa ketika tahu Sasuke tidak menghubunginya untuk benar-benar bicara padanya, tetapi mencari kedua kakak kembarnya. Sasuke cukup akrab dengan kedua kakaknya, bahkan mereka sangat akrab, berteman dekat sejak kecil dan hubungan itu berlanjut ke perkuliahan. Dia tidak tahu harus menganggap ini suatu celah kesempatan atau malapetaka karena mau tidak mau harus bertemu Sasuke di kondisi tertentu.
"Aissh! Bodoh, bodoh, bodoh!" Dia berteriak di bantalnya. Kadang Sakura sendiri mengasihani dirinya karena kasmaran tidak tahu orang dan tempat. Dia berada di posisi menungging dengan wajah tertimbun di bantal selama beberapa saat sebelum berbalik dan kini terbaring menghadap langit-langit.
Malam yang kesekian dan dia masih sama, entah sudah berapa tahun dia masih saja dalam kondisi di seperti ini.
-0-
"Rambut lebat berantakan, check. Tinggi lebih dari 170, check. Tampan rupawan? Oh, check besar. Kaya? Pintar? Tahu memperlakukan wanita? Check, check, check. Oh, tapi apa ini? Brengsek dan sudah sangat jelas dia brengsek? Eliminasi semua check."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things
FanfictionSakura menyukai Sasuke, mungkin ia rasa terlalu jelas seolah tertulis dengan huruf kapital di dahinya. Dari mulai hal remeh sampai poin paling spesifik dari figurnya, Sakura sudah memperhatikan pria itu diam-diam dan tidak berhenti menyukainya bahka...