Skeleton flower

56 10 14
                                    

Untuk mengenang mendiang Kim Jonghyun Shinee, kupersembahkan pesan perdamaian ini dari sekuntum: Skeleton flower.

Untuk mengenang mendiang Kim Jonghyun Shinee, kupersembahkan pesan perdamaian ini dari sekuntum: Skeleton flower

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-----------------------*****----------------------------

  Aku tidak mengerti dirimu dan aku sendiri. Hujan ini sudah berhenti namun hujan dihatiku belum pergi. Apa alasan yang menjadikan kita sepasang ikatan yang terputus meski tidak ingin? Ini adalah tentang kau dan aku agar terus bersama untuk waktu yang lama. Itu saja. Sesederhana itu namun sikapmu mempersulit itu semua.

  Lagi-lagi aku sendiri. Terjebak dalam emosi tak terkendali. Rasa terlalu mencintai ternyata begitu menyakitkan. Lama kau tak terlihat kukira kau terluka, tapi kedua matamu tidak bisa berbohong. Saat kita berpapasan di pinggir jalan Apgujeong, rintik hujan membasahi jalan dan payungmu terangkat, mempertemukan manik matamu denganku, aku melihat: fisik yang sehat bugar, namun tatapan yang begitu sakit. Hatimu dan hatiku, kita sama-sama terluka.

"Jeon..."

Untuk hari itu, kuingin menggenggammu erat.

"Aku... "

  Tapi jangan katakan perpisahan kalau tidak ingin melihatku mati detik ini.

"Maafkan aku."

~Ah, mencintaiku hanya main-main rupanya.

~Ah, Keputusanmu sudah yang terbaik rupanya.

  Saat rintik hujan membasahi bunga skeleton di belakang halamanku, aku merasa seolah sepertinya. Begitu putih dan rapuh. Hujan ini adalah luka, dan luka adalah kau. Kau membasahiku lalu membuatku transparan. Air hujan berubah menjadi air mata. Dan aku basah karena air mata.

"Tapi, Jina," menahanmu itu sudah termasuk keharusan.

"Aku sakit karena ini. Seluruh tubuhku rasanya sakit setiap hari. Aku sudah tidak tahan lagi."

"Jeon--"

"Jika tidak ingin menyesal keesokan harinya, katakanlah sekarang. Perasaan apa yang masih kau punya untukku?" Aku akhirnya menangis. "Kumohon. Sembuhkan aku."

  Sedari dulu aku ingin selalu mencintai Jina dengan tulus, tapi kenapa yang ada hanya seperti berpura-pura? Menjadi baik itu sulit, namun untuk menjadi jahat aku tidak terbiasa.

Langkah kakinya mendekat. Gadis itu mulai mengikis jarak hingga tubuhnya masuk ke dalam payungku. Kedua bola matanya bergetar saat ia mengatakan, " mau bersama atau tidak. Aku, Park Jina, akan selalu mencintaimu, Jeon jungkook."

"Kau bohong. Jangan berkata tidak masuk akal begitu kalau nyatanya kau akan menikah dengan orang lain."

"Aku tidak bohong, Jung. Semua yang kukatakan benar. Sama sepertimu. Kamu tidak bisa berhenti mencintaiku meski tidak tahu alasannya kenapa, bukan?"

"Aku tidak habis pikir kenapa kita harus berpisah begini. Kita saling mencintai, jadi hiduplah denganku, jangan dengan orang lain."

  Jina menggeleng, ia menyentuh pundakku.

"Rasa cinta itu tidak bisa dijelaskan bagaimana rasanya, Jeon. Selama ini kau dan aku hanya bertengkar karena masalah salah paham. Jika kau menganggapnya cinta, aku tanpa sadar telah banyak membuatmu terluka. Ini bukan salahmu atau aku. Hanya saja itu hanya rasa yang salah. Cinta seharusnya membuatmu bahagia."

"Tapi aku bahagia denganmu."

"Tidak. Kamu hanya selalu khawatir jika didekatku. Takut aku begini, begitu. Kamu tidak pernah bisa percaya denganku, Jeon. Cinta tidak seharusnya begitu."

Aku mengusap air mata. "Baik, aku yang salah, maafkan aku. Aku hanya pria bodoh yang ingin mencintaimu sampai nyaris gila. Tolong beritahu aku, sekarang, harus bagaimana? Semua sudah berakhir bukan?"

  Ia menyentuh jemariku dan menggenggamnya. "Tidak. Kita berakhir karena kebahagiaan untukmu akan segera dimulai." Hujan mulai mereda menjadi gerimis. Aku diam membisu dan suara Jina terdengar lembut. "Terima kasih karena sudah mencintaiku sepenuh hatimu dan maafkan aku karena harus mengakhirinya."

  Hatiku mencelos. Diserang realita itu memang selalu pahit.

  Ia melepas kalung hati yang dulu pernah kuberikan padanya. Dan dengan senyum yang masih sama seperti dulu, ia memasangkan kalung itu kembali padaku. Aku terenyuh.

"Jeon Jungkook," panggilnya dengan paras musim seminya. "Aku sekarang
mulai sadar bahwa kamu sering mencintaiku sepenuh hatimu, sehingga kamu tidak punya cukup cinta untuk mencintai dirimu sendiri." Aku mengeratkan genggamanku padanya. Tidak ingin melepasnya meski ia terlihat tidak seperti dulu lagi.

"Aku kini sudah mendapatkan banyak cinta darimu dan dari calon suamiku. Itu sudah cukup. Dan itu sudah banyak." Ia merapikan mantelku, seolah-olah tengah membersihkan debu sebelum melanjutkan, "jadi sekarang giliranmu. Berbahagialah dengan penuh rasa cinta kepada dirimu sendiri agar kau tidak perlu merasa kecewa. Depresi hanya bisa sembuh oleh dirimu sendiri. Lukamu dan semua kesedihan akan berhenti mulai saat ini. Saat hujan ini pergi."

Aku mulai tersadar bahwa hujan ini mulai berhenti. Yang dikatakannya benar.

"Bahkan jika hujan ini datang lagi, kau sudah tidak harus merasakan sakit yang sama. Kesepian itu memang rasa yang menyakitkan. Tapi tidak harus dibunuh dengan menghabisi nyawa sendiri. Aku mungkin tidak pernah tahu rasa sakit apa yang sedang kau alami, namun aku hanya bisa bersyukur karena berkat depresimu, telah menjadikanmu sosok yang penuh kasih."

  Aku tidak mengerti kenapa ia harus berkata seperti ini. Tapi saat aku melihat jauh ke dalam matanya, ia sudah bahagia. Dan entah kenapa, itu juga membuatku bahagia. Rasa sakit yang menggerayangi tubuh mulai naik ke permukaan. Jina menjinjit demi mencium keningku lantas membuat rasa sakit itu memudar. Kupu-kupu di alam bawah sadar berterbangan. Ia melihatku dengan sejuta kebahagiaan.

"Aku mencintaimu, Jeon Jungkook. Sangat sangat mencintaimu."

  Ia tersadar karenaku, dan aku tersadar karenanya. Ternyata cinta itu bukan perkara memberi dan mendapatkan. Cinta itu ternyata dariku mencintainya, untuk mencintai diriku sendiri.

—Fin

BTS FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang