Zulfikar mendengus, ia tak rela katahuan getir di depan istri-istrinya apalagi para pengawalnya. Hanya karena mendengar ancaman, kalau utusan keluarga Dahlia akan datang.
"Utusan hanyalah utusan, tetap aku suami dan pemimpin di keluarga ni! Akulah yang buat peraturan dan hukuman. Aku selaku suami, sungguh tak mengampuni perlakuanmu terhadap dik Yusniar hingga jadi jelek begini! Sudah bawa saja mereka ke pondok Barat Daya! Kuharap jangan lagi kalian ulangi menyerang dik Yusniar saat aku tak di rumah!" Ujarnya, lantang kurang lantang, keras kurang keras demi menunjukkan wibawanya.
Ibu mertua kembali terduduk di kursi kamar, sambil berucap lirih ke arah Zulfikar.
"Kau dah jadi gila ... bisa hancur keluarga ni karena kau!"
Begitu para pengawal berjalan keluar membawa Dahlia dan Makwo, Zulfikar memanggil lagi pengawalnya yang lain.
Ia nampaknya masih belum puas.
Merasa tertantang, ia tak mau melihat Dahlia di atas angin. Bagaimanapun istrinya itu harus tahu, kedudukannya hanyalah sebagai istri di rumahnya ini.
Dengan suara sama lantang dan tegas ia memberi perintah,
"Pondok ni kurang aman, terlalu kecil untuk istriku Yusniar! Cepat kalian antar mereka dua, lalu pindahkan semua barang Nyonya muda ke rumah Godang. Biar Nyonya tuwo kalian tu tinggal di pondok ni saja, sebagai hukuman tambahan untuknya!" Teriaknya, disambut jawaban 'siap' para pengawalnya, dan tentu saja sorot mata marah Dahlia. Wanita itu gemetar, satu tangannya mengepal menekan dadanya.
"Nyonya ...." Makwo tercekat melihat Dahlia keras mematung, pipi kirinya berkedut tanda geligi gerahamnya saling beradu menahan emosi.
"Mari jalan, Nyonya Tuwo ..." Seru para pengawal lirih, mereka ikut kasihan melihat nasib istri pertama Zulfikar itu, tak ada yang berani menarik paksa tubuhnya yang kurus lagi ringkih.
Sementara di dalam pondok Yusniar, ibu mertua meneriak-neriaki kedua suami istri yang sudah masuk ke dalam kamar. Ia sungguh menganggap salah sikap Zulfikar dengan membuat Dahlia semakin menderita.
Namun keduanya tak ada yang mendengar apalagi menjawab ucapan ibu. Rengekan Yusniar yang mengeluhkan rambutnya telah habis, dan bujukan Zulfikar terhadap istri mudanya itulah yang terdengar dari dalam kamar.
"Sudahlah, adik pakai sajalah rambut palsu nanti ... "
"Abang jangan pergi dulu ... obati wajahku yang perih nii huhuuhuu,"
"Sini, Abang gantikan bajumu yang sobek tu,"
"Aaaaah! Abang jahaaat, cari kesempatan di saat gini ni? Aaah!"
"Huuhuu ah, ah hahaaha, aaahh!"
Suara tangis Yusniar berubah menjadi suara tawa lalu desahan, terdengar hingga keluar. Merah padam wajah ibu mertua. Ia merasa tak dipandang dan tak dihargai lagi. Percuma rasanya bicara pada dua pasangan yang menurutnya sudah dibutakan oleh nafsu syahwat itu.
Ia melangkah mundur, hendak berbalik. Namun kembali terhenti saat melihat dua pelayannya malah menganga dan melotot, sambil terus menyimak dan menduga-duga apa gerangan yang terjadi di dalam kamar Yusniar dan Zulfikar.
Menambah perasaan malu ibu mertua.
"Ayo, cepat keluar dari sini! Saya harap jangan kalian siarkan diluar perihal ni semua!" Cecarnya.
"Baik, Neknoo!" Jawab keduanya saling lirik dan tertawa miris.
Ibu mertua lalu berjalan cepat mengejar Dahlia dan Makwo yang hendak di kurung di rumah barat daya. Ia setidaknya harus terlihat membela menantu tuanya itu, atau keluarga mereka benar-benar dilumat habis oleh Cik Sri Sultan Kanthil akibat akal pendek Zulfikar.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/231192436-288-k422348.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
أدب تاريخيUdah keluar Novelnya, bisa pesan ke wa saya 081370968830 Best Seller FB