Bab 2 Di Kantin

7 1 0
                                    


Anya menggandeng tangan Rinjani, menyusul Fara yang sudah melangkah lebih dulu ke kantin. Gadis berjilbab itu melambaikan tangan pada Anya serta Rinjani, menyuruh agar duduk di meja yang sedang ia tempati.

"Far, kok makan di sini, sih? Di sini kan tempatnya sempit, panas pula," sergah Anya membesarkan bola mata. Ekspresi muka gadis paling fashionable di antara tiga sekawan itu seakan jijik saat disuruh duduk di tempat ini.

"Sekali-kali makan di sini, lah. Kalo ke kantin anak Sastra, rada jauh, iya kan, Jan?"

Fara malah bertanya pada Rinjani seakan minta dukungan. Gadis berambut lurus itu tak mau ambil pusing. Perut yang sudah mulai berdendang, membuatnya menyetujui pilihan Fara. Tinggallah Anya duduk dengan muka terpaksa.

Fara kemudian berusaha membuka percakapan dengan Anya, yang terlihat masih manyun. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Deretan bangku panjang serta meja kusam, gerobak makanan tempat penjual, tak lupa aroma kurang sedap yang menguar dari selokan besar di belakang kantin, membuat Anya yang tidak terbiasa makan di pinggir jalan, ogah-ogahan diajak makan di sini.

Mata Anya melihat pada sosok seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak agak kumal dan kusut, mukanya pun terlihat berminyak. Ia bergidik dan bergumam, "Anak jurusan mana, tuh?"

Rinjani dan Fara menoleh, berusaha melihat ke arah mata Anya tertuju. Gadis bermata besar itu terperangah. Bukankah itu pria yang tadi pagi ia lihat di kelas?

"Ssst itu cowok yang telat masuk kelas tadi. Masa ngga ada yang inget?" bisik Rinjani. Seakan-akan takut ucapannya terdengar lelaki itu. Padahal, jarak meja mereka agak jauh.

"Inget? Ngapain inget sama cowok kumel kayak gitu? Cakep juga enggak," ejek Anya tersenyum sinis. Ia lanjutkan menyeruput minumannya kembali sembari mencuci mata ke arah lain. Membuat Rinjani terdiam dan mata Fara membulat.

"Cukup, Nya! Nggak usah menilai orang dari penampilannya aja. Siapa tahu cowok itu emang lagi nggak ada baju lain karena kena musibah, who knows? Dan siapa tahu, dia nolongin elo."

Fara menegur Anya cukup keras, membuat gadis modis itu terhenyak. Ia lupa, di antara mereka bertiga, status sosial Fara biasa saja. Kemungkinan kata-katanya menyinggung gadis berjilbab itu. Sementara Rinjani, menyikut siku Anya pelan sambil meneruskan makan.

"Elo, sih, Nya. Dia kan nggak ganggu elo, kenapa ngomongin orang sampe segitunya? Dah, mendingan lo buka IG nya lambe cucur aja buat cari gosip. Entar, ceritain ke gue."

Rinjani berusaha meredakan ketegangan yang sempat terjadi antara kedua sahabatnya. Sebenarnya, ia bukan tipe orang yang suka membuat geng. Dengan siapa saja di kampus, ia berusaha berteman baik. Namun, di antara semua teman-teman satu jurusan, gadis itu memang lebih sering terlihat bersama Fara dan Anya.

"Habis ini, pada mau ke mana? Mau ke kos gue dulu, apa gimana? Jam berikutnya masih jam dua, kan."

Di antara mereka bertiga, yang tinggal di indekos hanya Fara. Rumah Anya dan Rinjani tak jauh dari kampus. Sebenarnya Anya disewakan sebuah apartemen oleh orang tuanya, di dekat kampus, tetapi ia lebih senang pulang pergi ke rumah. Sementara Rinjani, tiap hari membawa mobil pribadi ke kampus. Atau terkadang menaiki angkutan online jika sedang malas menyetir.

"Kuy, lah. Bosen di kampus aja dua jam," sahut Anya kemudian berdiri dari tempat duduk. Rinjani masih terlihat bingung, pandangannya menerawang ke arah kanan. Sebenarnya, ia harus menyerahkan laporan hasil kegiatan BEM bulan lalu, tetapi, badannya lelah.

"Ya udah, yuk. Ke kos elo aja, Far."

Mereka bertiga berjalan pelan menuju keluar kampus. Suara tawa sesekali terdengar saat mereka sedang berjalan di selasar panjang sebelum keluar gedung rektorat. Anya-yang sudah tidak merajuk-melempar sebuah lelucon.

Saat melewati pintu kecil dari kampus menuju jalan tempat kos Fara, tiba-tiba terdengar teriakan dan siulan dari seorang laki-laki.

"Ceweek. Suiit suiitt! Mau ke mana, nih? Perlu Abang temenin, nggak?"




Renjana RinjaniWhere stories live. Discover now