-Part 4

16 0 0
                                    

~

Aku bercerita panjang lebar tentang peristiwa semalam yang baru kualami sampai akhirnya aku pingsan. Bapak itu mendengarkan dengan tenang tanpa terkejut sama sekali. Sesekali kepulan asap keluar dari mulutnya. "Bagaimana kok bisa sampe begitu?" tanya bapak itu, "memang disini sering terjadi kejadian ghaib, tetapi saya ndak pernah dengar yang sampe parah begini" sambungnya.


Mendengarnya aku juga ikut kebingungan, aku berpikir apakah ini akibat perkataan Roni kemarin, ataukah kami melakukan kesalahan fatal yang sangat menggangu mereka. Sesaat seorang ibu tua menghampiri dan memotong pembicaraan kami. "pak coba lihat ini!" Ibu itu membawa sebuah ransel, dan setelah ku perhatikan, ransel itu sama persis dengan punya Roni aku pun langsung bertanya, "buk, mohon maaf, itu punya punya teman saya ya?" tanyaku. "Ya, ini punya temanmu, temanmu sudah melakukan kesalahan yang ndak bisa dimaafkan" aku langsung shock mendengarnya. "kesalahan apa buk yang dilakukan teman saya?" tanyaku mulai panik.


Ibu itu lalu membuka tas Roni dan mengeluarkan sebuah plastik hitam, lalu beliau meletakkannya diatas matras, kemudian membukanya. Alangkah terkejutnya setengah mati aku melihat bungkusan plastik hitam tersebut. Plastik hitam itu berisi batangan emas-emas murni yang cukup banyak, diantaranya ada juga kalung, gelang, anting-anting, yang semuanya terbuat dari emas. "Ron!, apa yang kau lakukan!?" aku bergumam dipikiranku.

"Dia sudah mengambil gawan milik Ki Ageng Yogodewo, dan emas-emas ini adalah harta kesayangannya. Benar-benar temanmu sudah mendapat balasan yang setimpal" ucap ibu itu. Air mataku menetes seiring perkataan ibu itu, sambil menutup mulut aku seperti berada diambang kebingungan dan ketakutan. Siapa Ki Ageng Yogodewo?, apa itu gawan?, pertanyaan-pertanyaan itu sekejap memenuhi pikiranku.


"Sudah bu, mereka hanyalah manusia biasa, tempatnya salah dan lupa. Mereka juga pengunjung pertama disini setelah beberapa tahun terakhir, wajar saja mereka ndak tahu" ujar bapak itu seakan membelaku. Kembali aku dibuat kebingungan, apa maksudnya pengunjung pertama?, bukankah sebelumnya banyak pendaki-pendaki lain bersama kami?


"Tapi pak, apa yang sudah mereka perbuat memang ndak bisa dimaafkan. Sekarang, apa kau tahu dimana temanmu?" geram ibu itu yang kemudian menunjuk padaku. "Hah?!!, Roni, dimana Roni?!" aku kembali bertanya. "Buk, pak, bukankah teman saya sudah turun duluan?, bukankah dia sudah disini?" tambahku. "Temanmu mungkin sudah menjadi gawan sebagai pengganti apa yang diambilnya" jawab ibu itu cepat. Aku melongo mendengar jawaban ibu itu. "Dia mendapatkan apa yang seharusnya, kamu beruntung sepertinya beliau hanya menginginkan temanmu. Segeralah pergi dari sini!" jelas ibu itu.

"Sudah buk, sudah. Dia baru sadar, kasihan" ujar bapak itu kepada ibu itu yang sepertinya mereka sepasang suami istri. Ibu itu menghela nafas lalu pergi meninggalkan kami. "Pak, apa yang terjadi pada teman saya pak?" rengek ku. Bapak itu menepuk pundak ku dan berkata "temanmu sekarang kondisinya cukup berbahaya, dia sekarang tidak bersama kita" ucapnya. "Jadi, dimana dia sekarang pak?" tanyaku kembali merengek. "Dia sekarang mungkin berada di singgasana Ki Ageng Yogodewo. Mungkin sebentar lagi dia akan di korbankan untuk dijadikan gawan" jelasnya.

Aku menundukkan kepalaku dan mulai menangis, mendengar apa yang terjadi pada temanku. Namun aku tak begitu paham dengan kata gawan dan Ki Ageng Yogodewo. "Jadi pak, siapa Ki Ageng Yogodewo, dan apa itu gawan?". Tanyaku sambil mencoba mengusapi air mataku.


Beberapa saat kemudian setelah mendengar jawaban dari bapak itu, aku kembali tersungkur lemas, air mataku kembali menetes, aku menutup mukaku dengan kedua tanganku.


Bapak itu menjelaskan bahwa Ki Ageng Yogodewo adalah seorang raja atau penguasa yang ada di gunung tersebut. Setiap satu bulan sekali, masyarakat sekitar kaki gunung selalu memberi gawan atau dalam bahasa Indonesia 'bawaan', semacam sesajen. Gawan itu berupa macam-macam, seperti sesajen-sesajen pada umumnya. Sedangkan emas-emas yang ada disana, konon adalah gawan beliau sendiri.


"Tujuan gawan itu ndak untuk aneh-aneh, apalagi sampai musyrik. Niat kami semua hanyalah menghormati para penunggu di gunung itu" jelas bapak itu. "Ta--tapi pak, bagaimana dengan teman saya, apa tidak ada cara untuk menyelamatkannya?" tanyaku terbata-bata. "Nanti tepat pada tengah malam mungkin kamu bisa menyelamatkannya" jawabnya. "Kamu harus naik lagi ke atas, ke singgasana beliau, minta maaf, benar-benar meminta maaflah, sesali perbuatanmu baik temanmu, insyaallah dia akan kembali" sambungnya.


Mendengarnya seketika itu bulu kudukku kembali berdiri. "Apa?!!, aku harus naik lagi!?"

~


GAWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang