-Part 8

19 0 0
                                    

~

Jantungku bergemuruh kencang saat menyadari bau pandan itu kian mendekat. Kakiku diam memaku bak tertancap di tanah, mataku bergerak liar mencari sosok ini hingga membuat orang itu juga merasa lebih baik menghindar.

Tak henti-hentinya aku menelan ludahku, getaran tubuhku tak lagi bisa kukendalikan.

Jantungku serasa dicabut, ternyata sosok itu berada tepat diatasku. Wajahnya tertutup, rambutnya yang acak-acakan. Tangannya yang dipenuhi koreng dan bernanah menjuntai kebawah.

Orang itu meletakkan jari telunjuknya ditengah-tengah bibirnya, mengisyaratkan agar aku diam. Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi, tubuhku seakan sudah mati.

Semakin kuat usahaku untuk diam, getaran tubuhku semakin tak bisa kukendalikan. Aku lalu menutup mata dan membayangkan hal-hal lain yang sekiranya bisa menghapus bayang-bayang kalong wewe dari benakku. Aku membayangkan kesibukan di kantor, macet saat pulang jam kerja.

Usahaku tak sia-sia, aku berhasil menenangkan getaran hebat di tubuhku, mengendalikan riuh detak jantungku.

"Bughh"

Usahaku sekejap sia-sia, tubuhku kembali bergetar, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Kali ini aku merasa seribu persen, kalong wewe itu berada tepat di belakangku. Punggungku terasa panas, beban yang kubawa dari ranselku sekarang kian bertambah berat.

Sebuah tangan muncul dari belakang. Berkoreng dan berbau busuk, kukunya panjang dan hitam mulai menyentuh pipiku. Di titik ini aku bahkan tak bisa memejamkan mata, aku hanya bisa melihat ngeri jari-jari busuk itu perlahan mulai membelai pipiku.

Dan hilang.

Jari-jari itu menghilang begitu saja. Namun aku tak berani bergerak. Firasat ku mengatakan makhluk menjijikkan itu masih ada di sekitarku. Aku hanya tak tau dia ada dimana dan seketika aku melihat hal yang paling mengerikan sepanjang hidupku.

Sebuah tangan mencengkeram erat pinggangku dari bawah. Tangan yang satunya bergerak perlahan menggores perut, naik ke dada hingga mencengkeram bahuku. Dan perlahan sebuah wajah mengerikan muncul di antara kedua tangan itu. Matanya menatap kosong ke mataku. Hanya mata kosong itulah yang tersisa di wajahnya. Semuanya hancur dan bernanah. Keningnya dipenuhi borok-borok besar yang siap meletuskan darah dan nanah kapan saja.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap kosong kearah ku. Seakan mencari tahu, ia mengendus-endus leherku, lalu kembali mata bulat besarnya itu menatap kepadaku.

Mataku menatap ngeri saat mulutnya terbuka lebar menampakkan belatung-belatung menggeliat di dalamnya. Mulut itu terbuka semakin lebar dan lebar hingga seluruh wajah itu sekarang adalah mulut yang menganga. Ia mencekik leherku dan mulut itu semakin dekat kearahku. Semakin mendekat dan mendekat!!

***

Yang pertama kulihat saat siuman adalah wajah orang itu. Tubuhku lemas, tak sanggup untuk digerakkan. Seluruh tulang serasa lepas dan kepalaku terasa nyeri. Ada rasa sakit disekitar leherku. Saat aku menyentuhnya, tampak noda merah dijariku. Tubuhku langsung mengejang, kakiku tersentak saat ingatanku kembali pulih menghadirkan kembali saat-saat kuku hitam kalong wewe itu menusuk leherku.

"Udah tenang! Jangan panik!, setan sialan itu sudah ga ada" kata orang itu sambil membuatkan ku teh hangat.

Mendengarnya aku kembali tenang. Tapi rasa sakit dileherku masih terasa, bekas hitam di leherku kelak mungkin membekas tidak akan hilang selama berminggu-minggu.

"Makasih bang" ucapku lirih. Tapi aku sungguh berterimakasih pada orang ini, tanpa kehadirannya entah bagaimana nasibku dan Roni.

"Bukan gue" jawabnya pelan, sambil membereskan kompor kecil bekas memasak air, suaranya terdengar lemah.

Aku masih memandanginya, menunggu jawaban. Merasa diperhatikan, ia menghentikan aktivitasnya dan menatap serius kepadaku.

"Berterimakasih lah kepada Ki Ageng Yogodewo" dia berucap.

Aku terpaku mendengarnya, aku ditolong oleh Ki Ageng Yogodewo itu yang bahkan ingin membunuh aku dan temanku?, gumamku dalam hati.

"Beliau mungkin pengen lu menghadap" sambungnya singkat.

***

Kami melanjutkan perjalanan. Semakin keatas, hutan semakin rapat. Pohon-pohon besar berdiri angker di segala penjuru. Sosok-sosok kuntilanak masih muncul disana-sini, walau tak sebanyak tadi.

Disini aku masih bertanya-tanya mengapa beliau menolongku. "Bang, bang" ucapku.

Berulangkali aku mencolek bahu orang itu, namun ia menghiraukannya. Sampai akhirnya ia terlihat sebal kemudian menepis tanganku.

"Bawel banget lu sumpah!, sini gua jelasin!" makinya.

"Mungkin beliau pengen lu minta maaf, beliau adalah penguasa disini. Kalong wewe tadi pun hanya bisa menurut. Dan ini mungkin aja dan semoga aja pertanda baik buat lu!" geramnya.

"Dan juga kalong wewe itu mungkin juga masih mengikuti kita sampe sekarang, tapi dia ga bisa mendekat karena kita dijaga oleh sesuatu" tambahnya.

"Sesuatu..apaan bang?"

Dia mengembuskan asap rokoknya dan berbicara pelan.

"Harimau"

~










GAWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang