~
Mendengarnya seketika itu bulu kudukku kembali berdiri. "Apa?!!, aku harus naik lagi!?" gumamku. "Jangan khawatir, nanti sebisa saya, akan saya bantu" ucapnya lagi. "Lalu pak, apa maksud bapak kami adalah pendaki pertama dalam beberapa tahun terakhir?" tanyaku setelah aku ingat apa yang dikatakan bapak itu.
"Yah, itu benar. Sebenarnya kami ndak warga di kaki gunung ini, kampung kami agak jauh dari sini, kami dipanggil warga sini lantaran mereka melihat kelakuan aneh kalian. Berbicara sendiri, juga perkataan kalian yang kata mereka kurang nyaman" terang bapak itu. Aku sudah tak bisa apa-apa lagi. Kabar-kabar mengejutkan selalu membuatku terpaku. Kali ini apa?, jadi sejak awal kami cuma berdua?, lalu mereka kemarin yang sempat bermalam bersama kami disini itu siapa?, belum lagi ada yang sempat memutuskan naik bersama kami.
Tapi jika di ingat-ingat kembali memang aneh. Apalagi mereka yang ikut naik. Sekejap mereka hilang tanpa jejak.
"Sekarang ayo kamu ikut saya" ajak bapak itu kepadaku, ia lalu menggandeng tanganku keluar dari ruangan itu. Kami berjalan memutari sekitar warung kecil tempat pertama kami datang, sesaat kemudian tiba di sebuah pohon yang luar biasa besar dan luar biasa lebat. Merinding aku dibuatnya.
Dibawah pohon itu terdapat sebuah dua batu besar terbungkus kain hitam. Diatasnya, ada dua keranjang yang menyerupai sebuah dupa, tapi itu lebih besar. Bapak itu menggandeng tanganku mendekatinya.
Kembali aku dibuat terkejut setelah melihat isi dari dua keranjang besar itu. Sebelah kanan berisi gawan atau sesajen yang mungkin dimaksud bapak itu, sebelah kirinya terdapat banyak sekali emas-emas dan permata. "Ini adalah tempat harta beliau, temanmu mungkin sudah datang kesini lalu mengambil harta beliau" ucap bapak itu. "Ya Allah Ron.." aku tersungkur. "Sudah, ayo kembali. Jika kamu ingin menyelamatkan temanmu, kamu harus segera bersiap-siap." kekeh bapak itu sambil menepuk pundakku.
Kemudian kami kembali ke rumah kecil itu. Baru sampai disana tanganku langsung gemetaran, tak jarang juga keringat menetes dari wajahku. "Nanti habis sholat isya kamu langsung berangkat ya. Ndak usah takut, bismillah saja." ucap bapak itu kepadaku. Aku cuma bisa diam dan mengangguk.
Waktu malam pun tiba. Kami melaksanakan sholat Maghrib. Aku yang belum tentu setahun sekali melaksanakan sholat, Maghrib itu melaksanakannya dengan khusyuk. Setelahnya aku berdoa hingga menitikkan air mataku, meminta perlindungan dari Allah.
Akhirnya tiba juga saat-saat aku harus kembali merasakan getir ketakutan itu lagi. Ditambah saat itu petir-petir menyambar seakan menambah rasa horror disana. Di depan jalur pendakian, bapak dan ibu itu menemani disampingku. "Bismillah, ingat kamu punya Allah. Setan apapun ndak akan bisa nyelakain kalau kamu ingat sama Allah" ucap bapak itu.
Aku hanya bisa terus mengangguk menanggapinya. Aku kembali mengecek semua peralatan yang kubutuhkan, sepertinya semuanya sudah siap. Dua botol mineral air, senter, dan headlamp. Kukira sudah cukup.Lalu ibu itu memberi sebuah kendi berbungkus kain putih. Bau semerbak wangi melati seakan ikut membungkusnya. Senyum kecil di wajahnya kepadaku seakan sudah memberi restu. "Nanti, kalau kamu sampai di pos 1, siramkan air ini disekitarnya, kalau kamu beruntung maka akan ada yang membantumu" ucapnya. Aku menerimanya, ku masukkan ke dalam ranselku, tak ada rasa penasaran lagi. Dengan membaca bismillah, aku berangkat.
Baru masuk ke jalur, suara burung itu mengiringi langkahku. Satu satunya penerangan saat itu hanyalah senter yang sengaja kufokuskan ke langkah kakiku. Bayangan horror itu kian melekat. Tiap kali bayangan hitam mendekatiku, langsung kutepis walau sia-sia.
Tiba-tiba tercium bau busuk yang sangat menyengat. Bulu kudukku langsung berdiri, senter yang ada di tanganku bergetar hebat akibat gemetaran tanganku. Setiap kali aku mencoba berbalik, aku selalu teringat dengan Roni. Terpaksa aku harus selalu melangkah walau sangat pelan.
Bau busuk itu hilang, berganti dengan bau melati yang membuat hidung nyeri. Sangat dekat seakan hanya dibelakangku. Aku meremang memikirkan apa yang ada dibelakang ku. Seketika aku merasakan tangan dingin yang menyentuh tengkukku, disitulah aku berjalan cukup cepat. Dalam situasi ini juga spontan ku teringat legenda Nyai Kembang, sosok pengantin wanita yang mati, kemudian mayatnya dibangkitkan. Sontak aku langsung lari cepat, tak berpikir apa-apa lagi.
Entah berapa jauh aku berlari tanpa memperdulikan jalan yang mulai menanjak. Bayangan sosok Nyai Kembang sungguh menerorku hingga aku tersungkur jatuh karena akar pohon pinus yang melilit kakiku. Dalam keadaan itu aku melihat sebuah bangunan kecil. Aku mengenalnya, aku sampai di pos pertama.
Aku mencoba bangkit kemudian mendekatinya. Sekitar 10 meter aku berdiri didepannya, menyorot-nyoroti bangunan itu, memperhatikan apakah ada sesuatu disana. Namun tak ada apa-apa, aku sedikit lega. Aku kemudian melakukan apa yang dikatakan ibu itu, segera kuambil kendi itu dan kusiramkan disekitar pos pertama itu, tak lupa kendi yang kupegang beberapa kali hampir jatuh akibat getaran tanganku.
Tiba-tiba muncul seorang wajah putih mendekat kepadaku. Aku langsung jatuh dan berteriak histeris. Ketika aku memberanikan diri membuka mataku, kulihat ia berdiri tegap disana.
~