Cassini—gadis berkacamata dengan poni menutupi dahinya—tersenyum kecil. Lagi-lagi, di tangannya, sebuah kertas dengan note tinta merah bertuliskan, "DENIED." Kedua kakinya sudah melangkah hampir 10 Km, demi melacak keberadaan satu perak untuk dimasukkan dalam poket yang sedang dalam masa kritis ini.
Netranya tiba-tiba melirik tajam pada bangunan dengan pamflet bertuliskan, "Johanna's Teather Museum"—yang secara otomatis membuat semangat gadis lulusan sastra ini melangit patas. Cassini mendorong pelan pintu kaca dengan frame kayu cokelat keabu-abuan itu, lantas menghirup udara teather yang—menurutnya—sama persis seperti auditorium tempatnya kursus dahulu kala.
Jika dahulu, teater adalah deretan kursi memanjang yang disusun secara bertingkat, maka saat ini, segalanya berbeda. Segalanya disusun serba sama rata. Setiap kursi pasti memiliki sensor panas, yang bilamana diduduki oleh manusia, maka akan naik dengan sendirinya.
Kota ini benar-benar mengambil peran besar dalam transformasi era modern, yang diagung-agungkan oleh dunia. Padahal, mau kota ini semaju dan secanggih apa pun, tidak ada tanda-tanda moral yang tersisa di ibukota negara ini.
Baru saja kakinya menginjak pada sensor lampu, sorot cahaya itu menampakkan lukisan raksasa yang menggantung miring. Walau awalnya, Cassini berusaha berprasangka baik, tetap saja lukisan dua bola mata merah menyala itu menarik saraf sensoriknya.
"Lukisan terbodoh yang pernah kulihat," cibirnya pelan. Ia memicingkan kelopak matanya, demi memperjelas objek persegi itu. Untung saja tidak ada segelintir manusia di sini, jadi Cassini tidak akan dianggap aneh dengan menatap lamat lukisan suram itu.
"Mengapa harus kedua mata," ketusnya, "mengapa tidak sayap malaikat, atau sesuatu yang lebih menyenangkan untuk dilihat?"
Demi meredam kekesalannya itu, Cassini kembali melangkah. Kali ini, netranya tertuju pada pintu kaca dengan lambang bintang, yang diyakininya merupakan ruangan khusus orang-orang penting—harapnya, itu adalah ruangan CEO.
Ia menempelkan telapak tangannya pada pintu kaca non-transparan itu. Cassini mengangkat dagunya, tepat ketika sorotan lampu terfokus pada wanita bertopi bulu dan syal pernak-pernik melilit leher panjangnya. Kedua kakinya disilangkan, kemudian kursi putar itu ia arahkan untuk menghadap Cassini.
Senyum yang Cassini lukis pada wajahnya adalah palsu, sungguh. Lagipula, wanita bermotif gangster ini masih asyik mengisap lintingan tembakau itu. Lihat saja kedua matanya yang terpejam, sambil meniup kepulan asap dari bibir merahnya. Dalam hati, Cassini bergidik.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?"
Kalimat yang ditunggu-tunggu oleh Cassini akhirnya dilontarkan. Gadis itu kemudian menegakkan tubuhnya, mengambil ancang-ancang untuk mulai memperkenalkan diri.
"Cassini Saturnia, kelahiran 95, lulusan sastra dengan nilai—"
"Ingin melamar kerja?"
Wanita itu menyela, setelah kedua pupilnya tertuju pada selebaran kertas yang dicengkeram oleh Cassini. Gadis itu mengangguk, sambil tersenyum canggung. Lintingan tembakau itu ia sematkan pada daun telinganya, tetapi mengapa masih saja kepulan asap itu keluar dari bibirnya?
"Ingin menjadi anggota teater?"
Cassini mengangguk pelan, sedikit ragu dan menyesal atas keputusannya menginjakkan kaki di ruangan ini. "Iya, Nyo—"
"Gabriella," tegas wanita itu, "call me Gabriella."
Kemudian, terlintas sebuah pertanyaan dalam pikirannya, Lantas, siapa Johanna?
"Silakan datang kembali besok pukul 3 petang. Persiapkan sebuah adegan untuk kau perankan."
Belum sempat Cassini mengucapkan salam perpisahan, wanita itu sudah terlebih dahulu melenggang tanpa menoleh padanya. Gadis itu berdecih, lantas memutar kedua bola matanya malas. "Besar kepala sekali," cibirnya.
***
"Eeh, yang benar saja?"
Suara lantang itu berasal dari mulut primadona kota, Gishella namanya. Ia betulkan kembali syal yang melilit di lehernya, mencoba untuk tidak membuatnya kotor akibat lelehan es krim yang siap ia masukkan dalam perutnya. Kaki jenjangnya ditekuk membentuk 90° tepat, kemudian bahunya sedikit dinaikkan demi menjaga pamornya di depan umum.
"Sungguh, lukisan itu bahkan lebih menyeramkan daripada amukan managermu," ucap Cassini, yang direspons tawa oleh Gishella.
"Ck, Nyonya Sofi tidak sejahat itu, kok!" Gadis primadona itu lantas menjilat stik es krimnya dengan hati-hati—berusaha untuk tidak mengacaukan riasannya. Bisa gawat jika ada paparazzi yang mengambil fotonya, ketika ekspresi wajahnya begitu buruk.
"Sangat tidak sejahat itu, sampai skateboard-ku saja dipatahkan langsung oleh kaki gajahnya." Cassini mulai menghiperbola kaki raksasa Nyonya Sofia dan menyamakannya seperti kaki gajah. Gadis blak-blakan ini sudah biasa mencibir tanpa berpikir terlebih dahulu. Akan tetapi, Gishell justru senang mendapatkan teman seperti Cassini.
Mungkin kalau tidak karena kejadian memalukan setahun lalu, tepat sebelum Gishella menjadi primadona kota. Bermula ketika Cassini yang menyelamatkan dirinya dari tabrakan traktor yang hilang kendali. Kemudian, kedua mata Gishella yang hampir saja lenyap akibat benturan keras wajahnya pada ujung trotoar.
Untung saja Cassini adalah gadis yang cekatan, sehingga ketika kedua matanya hampir tertusuk oleh ujung objek keras itu, ia mendorong Gishella ke samping. Setidaknya untuk mengurangi benturan dan efek cedera yang parah.
"Hahaha," kekeh Gishella, "aku jadi teringat kau menaiki skateboard itu saat menyelamatkanku, iya, kan?"
Cassini memasang ekspresi berpikir, mungkin ia lupa terhadap insiden setahun lalu, yang masih terekam jelas dalam memori Gishella. Gadis primadona itu sedikit memudarkan senyumnya. Walau dalam benaknya, ia berharap bahwa ucapan terima kasih ini akan selalu tersalurkan untuk Cassini, tetapi gadis itu bahkan tak bisa mengingat kejadian lalu.
Bukan. Ia hanya gadis pelupa, itu saja.
"Apa saat aku menyelamatkanmu dari kejaran hologram anjing?"
Cassini benar-benar lupa. Mau sekeras apa pun ia mengingat, tak ada berkas yang tersisa dalam folder memorinya. Gadis itu sudah membuang hampir semua kenangan lama, yang ia sebut 'tahun-tahun kelam.'
Gishella tertawa. Untung saja Cassini tidak menyadari betapa palsu tawa yang dibuatnya. Deretan gigi putih Gishella seolah tampak seutuhnya. "Oh ayolah, siapa yang akan menyangka bahwa itu adalah anjing hologram?"
"Come on, people knew that it was a hologram," kelakar Cassini, "buktinya hanya kau saja yang lari ketika dikejar oleh anjing hologram itu."
Mereka berdua lantas larut dalam senandung tawa. Suasana kedai es krim yang sepi itu benar-benar membawa euforia, bersamaan dengan sepoi-sepoi dan terik sang surya.
"Tunggu, aku semakin tertarik dengan pembahasan mengenai lukisan mata itu," ujar Gishella, "kau sempat memfotonya?"
Cassini menggeleng. "Tapi ... detail lukisan itu benar-benar abstrak."
Alis Gishella menaik. "Oh ya?" Badannya ia condongkan ke depan, tanda bahwa ketertarikannya sudah hampir di ujung kepala. "Kalau begitu, bagaimana deskripsi lukisan itu?"
"Dua mata dengan susuan vertikal, salah satunya lebih besar. Keduanya memiliki kelopak dan alis yang sama, menurutku. Ada bercak merah di sekitarnya, kemudian dari kedua mata itu tampak seperti keluar cairan merah. Intuisiku mengatakan bahwa itu interpretasi dari darah."
Cassini mengambil napas sejenak. Ia sedikit ragu mengatakan ini.
"Dan kedua mata itu ... menonjol."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eyes On Pain(t) ✓
Mystery / ThrillerInterlokusi berorkestra bising dalam kepala kecilnya. Cassini bukan gadis biasa, eksplorasi rasa ingin tahunya terlampau tinggi hingga ujung semesta. Setelah ia menganalisis sebuah lukisan misterius pada teater kota, malapetaka akhirnya tak segan me...