- Infinite 🌙 °

20 7 3
                                    

“With shortness of breath, you explained the infinite. How rare and beautiful it is, to even exsist.”

•°•°•°•

Wajah pucatnya menonjolkan bibir manyun yang sengaja ia majukan beberapa senti. Kedua tangannya menyilang di depan dada erat, berusaha menghangatkan diri dengan sweter krem basahnya. Insting menyuruhnya untuk berhati-hati akibat genangan air di depannya. Namun, sadar tak sadar, ia malah menenggelamkan hampir seluruh bagian sepatunya. Bagai jatuh tertimpa tangga.

“Kenapa harus hujan sekarang?!” teriaknya sambil menghadap langit kelabu, berhias guntur dan peluru air yang siap menghantam tubuhnya tanpa ampun. Cassini meraung di tengah ketidakberdayaannya menghadapi musibah ini. Seharusnya ia melihat papan pengumuman hologram yang dipasang pada pagar rumahnya. Cassini sungguh bodoh dan ceroboh.

Bibirnya bergemetar karena kedinginan. Apa yang ada dalam benaknya kini, hanyalah rentetan alfabet isi naskahnya. Dalam hati, ia mencibir sambil menghafalkan beberapa monolog.

“Dianggapnya kelopak mawar itu sebuah bencana, padahal hanya bermula dari kata ‘tidak’ yang dianggapnya remeh.”

Cassini merapalkan sebaris monolog favoritnya. Sambil menerjang hantaman hujan, ia berlari kecil tanpa berhenti membisikkan monolog-monolog naskahnya itu. Demi dosen yang telah membekalinya ilmu, Cassini harus berhasil!

Kriet!

Gadis itu berusaha mengatur ritme napasnya yang tidak keruan, seperti orang asma saja. Ia peras sedikit pakaiannya yang basah, lantas apa yang terjadi? Air perasan itu bahkan hampir melebar ke mana-mana dan menciptakan genangan baru dalam ruangan. Gawat, bagaimana kalau Nyonya Gabriella tahu ini ulahnya?

Terkutuklah buku yang membuatnya tersandung pagi-pagi, sehingga ia tak sempat melihat papan hologram cuaca.

“Nyonya Ella sudah menunggumu.”

Tanpa menoleh ke arah pria berseragam casual itu, Cassini mengangguk. “Baiklah, beri aku waktu 3 menit. Tunggu sebentar.”

Setelahnya, pria itu berbalik, menciptakan deru langkah kaki yang berasal dari pantofel mengkilap itu. Cassini melirik sedikit sosok berbadan gembul itu. Tak disangkanya, pria dengan suara serendah itu memiliki ukuran badan yang ....

Plak!

Cassini menampar pipinya sendiri karena telah memikirkan hal itu. Sungguh tidak etis.

“Kalah bergelut dengan hujan?”

Suara Ella membuatnya tercengang sejenak. Kala netranya menatap sepasang iris cokelat milik Ella, ia teringat dengan lukisan itu. Benar, lukisan yang digantung tepat di atas Ella saat ini.

“Ah, i-iya.”

Selepas Ella mempersilakan Cassini untuk naik ke atas panggung, wanita itu tak langsung mencari tempat terbaik untuk didudukinya. Ella malah berbalik arah, meninggalkan Cassini sendiri dalam ruangan raksasa itu.

Tunggu, lantas apa?

Cassini bergumam dalam hati. Pikirnya mungkin Ella akan memerhatikannya di balik layar. Oleh karena itu, ia mulai saja bermonolog secara totalitas. Sama seperti saat latihan.

Eyes On Pain(t) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang