Dugaan Cassini benar, sekelebat cahaya merah itu adalah hologram seorang anak kecil bernama Queenie. Ia sendiri tak ingat bagaimana bisa ia mengetahui nama gadis kecil itu. Saraf sensorik Cassini begitu saja mengirim sinyal spontan dan menyebutkan namanya lirih.
"Biasanya hologram dibuat untuk benda maupun makhluk yang ...."
Matanya memicing. Fokusnya yang semula terpaku pada sereal dan susu pagi harinya, menjadi melayang entah ke mana. Adegan dalam pikirannya benar-benar acak saat ini. Jika benar firasatnya begitu, apa sebenarnya yang berusaha disembunyikan Gabriella?
Cassini ingat betul bentuk lukisan mata yang menonjol itu. Sebuah mahakarya yang jelas tidak mungkin dikerjakan oleh seorang amatir. Interlokusinya semakin intens, sedangkan sereal susu paginya mendingin. Ah, kalau diingat-ingat ... Cassini pingsan setelah mendengar suara nyaring itu, kan?
Gadis itu kemudian beranjak dari meja makan menuju pintu depan. Olahraga pagi dengan skateboard mesinnya adalah rutinitas. Ia rekatkan tali sepatunya, kemudian mulai mengendarai papan seluncur itu dengan santai.
"Gaunnya semerah mawar," gumamnya.
Gadis itu tak henti-hentinya membayangkan sosok gadis hologram bernama Queenie. Sampai-sampai, ia tak sadar bahwa papan seluncur ini membawanya menuju area teater, yang tampak ramai orang berpakaian hitam. Di tangan mereka, terdapat sekuntum mawar merah—yang Cassini yakin merupakan hologram semata. Coba saja lihat betapa rusaknya hologram mawar yang digenggam oleh wanita tua pada baris belakang.
Dengan penuh nekat, ia mengganti warna jaket yang ia gunakan menjadi hitam. Mudah saja, teknologi semakin canggih, jadi tak mustahil bagi masyarakat milenial mampu membeli properti yang terjangkau ini. Gadis itu berniat menyamar, sembari berharap bahwa Gabriella dan pacar bodyguard-nya, Toire.
Oh, satu hal lagi. Cassini menaruh curiga pada dua orang itu. Bisa jadi mereka bekerja sama dalam insiden kemarin sore, di mana ia harus menghirup asap flare yang berkecamuk di atas panggung teater. Toh, gadis itu tidak mati, ia hanya pingsan.
"Maaf, di mana mawarmu?"
Hampir saja Cassini memekik terkejut, ketika ia beranggapan bahwa suara itu adalah milik Gabriella. Syukurlah, ia hanya wanita paruh baya biasa, tak familier sama sekali.
Dengan santainya, ia mengambil gambar mawar dari jamnya. Kemudian, tampilannya ia ubah menjadi hologram nyata. Wanita itu percaya saja bahwa Cassini memiliki akses, padahal sebenarnya tidak. Gadis itu penasaran apakah penyamarannya terlalu sempurna?
“Maaf, Nona, ini tempat dudukku.”
Cassini lantas menepi, memberi akses pada orang itu dan membiarkannya duduk pada 'tempatnya.' Puluhan bahkan ratusan orang berlalu-lalang dan mencari tempat duduknya masing-masing. Hal ini membuat Cassini takut, bilamana tidak ada tempat duduk yang tersisa untuknya. Tamat sudah riwayatnya nanti.
Hampir sepuluh menit berlalu, ia masih bersandar tegak pada sofa cokelat itu. Cassini sengaja mengambil posisi paling belakang—di mana kursi akan naik setinggi-tingginya, sehingga tak mungkin Gabriella dan Toire menciduk dirinya.
Suara tepuk tangan lantas membuat Cassini terfokus pada panggung. Padahal sebenarnya, ia lebih tertarik pada lukisan mata itu. Kali ini, Cassini mampu melihatnya secara gamblang dan objektif. Coba lihat tinta merah yang seolah mengalir dari kelopak matanya, semakin memperkuat intuisi Cassini bahwa ada sesuatu yang salah di sana.
“Cassini?”
Yang benar saja, cova tebak siapa yang baru saja memanggil namanya?
“Seingatku aku mengatakan bahwa latihan dimulai besok.”
•°•°•°•
“Aku hanya ingin menonton teater, itu saja.” Cassini mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kemudian, ia menatap netra Gabriella. “Terlepas dari itu, aku tidak ada kegiatan yang menyibukkan diri hari ini.”
Wanita itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Bagaimana kau bisa tahu dresscode dan syarat masuk teater? Namamu bahkan tidak terdaftar dalam undangan.”
“Mudah saja. Aku melihat orang-orang memasuki teater dan membawa mawar hologram. Kemudian, kuganti warna jaketku menjadi hitam dan kuubah gambar mawar menjadi hologram.”
Gabriella menaikkan alisnya. “Aku tidak tahu apakah niatmu benar-benar begitu ataukah kau hanyalah mata-mata yang dikirim oleh keparat negara untuk menutup teater ini karena lukisan ilegal terpajang di langit-langit?”
Cassini membelalak lebar. Ilegal? Lukisan itu?
“Apa kau pikir aku gadis naif yang dengan mudah berjabat tangan demi uang?”
“Kau tampak begitu,” cetus Gabriella, “menurutku.”
Helaan napas keluar dari hidung Cassini. Entah dari perspektif mana Gabriella bisa menspekulasikannya demikian.
“Kuperhatikan kau tertarik dengan lukisan itu,” Gabriella melangkah, “ikut denganku.”
Terpaksa Cassini mengikuti wanita itu. Pakaian long-dress hitamnya mengepel lantai. Jika Cassini salah mengambil langkah, bisa tersungkur wanita dengan pamor tinggi itu. Lihat saja kuku-kuku panjang Gabriella yang asyik memainkan pakaiannya.
Tiba di sebuah pintu berlambang bintang—sama seperti pintu yang Cassini temui saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi, isinya berbeda. Ruangan kali ini lebih luas, gelap, dan berdebu. Cassini sempat berpikir bahwa ini adalah gudang, tetapi melihat tatanan barang yang rapi dan tersusun dalam rak, tidak mungkin demikian. Lagipula, barang-barang itu tampak lebih seperti properti teater.
“Queenie.”
Tepat setelah Gabriella merapalkan nama itu, Cassinu tersentak kaget. Netranya kiini terfokus pada sebuah manekin dengan lubang mata merah dan gaun berwarna mawar. Alangkah terkejutnya ia, bahwa wujud manekin ini sama seperti apa yang ia lihat kemarin. Hologram gadis itu!
“S-siapa dia?”
Bodohnya, Cassini menanyakan pertanyaan yang seolah-olah menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu. Seharusnya ia merutuki mulutnya sendiri, apabila setelah ini nyawanya melayang dan lenyap dari permukaan bumi. Bagaimana jika Gabriella semakin mencurgai Cassini? Bagaimana? Bagaimana? Dan bagaimana?
“My last child.”
Sial. Cassini benar-benar tidak menduga jawabannya akan seperti itu. Juga ... anak terakhir? Apakah maksudnya berarti manekin ini adalah manifestasi dari Queenie?
“She died since ... 2 years ago. Aku berusaha membuat hologramnya, tetapi ....”
Cassini rasa, wanita itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Padahal jelas kemarin, ia melihat hologram gadis kecil yang tampak nyata, walau hanya sekelebat saja. Cassini yakin betul, hologram yang Gabriella buat sebenarnya berhasil. Hanya saja ....
Hanya saja Cassini belum seberani itu untuk mengatakannya. Mungkin, tidak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eyes On Pain(t) ✓
Mystery / ThrillerInterlokusi berorkestra bising dalam kepala kecilnya. Cassini bukan gadis biasa, eksplorasi rasa ingin tahunya terlampau tinggi hingga ujung semesta. Setelah ia menganalisis sebuah lukisan misterius pada teater kota, malapetaka akhirnya tak segan me...