1, Awal rasa sakit / sebuah perubahan

12 0 0
                                    

-Rinai menyapa dikala senja memeluk baskara yang akan membenamkan tubuhnya pada Sandikala namun petrikor membumbung tinggi menutup tawa menjadi duka yang merubah canda menjadi nestapa

-Dan bahagia menjadi sebuah legenda, sehingga tubuh tak lagi dapat menahan sembilu yang memeluk tubuh dan pada akhirnya terjatuh memeluk bumi yang kering kerontang karena kemauan yang panjang.

🥀Ⱥʍą ȺմӀìą 🥀





"Buna, Buna selalu meyakinkan Rain akan suatu hal yang belum Rain coba, padahal Rain sendiri tidak yakin akan hal itu. Meskipun pada akhirnya Buna ninggalin Rain dan kenangan-kenangan Buna."

"Yang bahkan Rain pun tidak tahu bagai mana Rain mampu tanpa Buna." Isak seorang gadis dengan tubuh bergetar.

Kepalanya menunduk, tangannya mengepal erat menggenggam tanah pemakaman.

"Rain nggak mampu Buna." Isaknya lebih jelas.

"Rain nggak mampu tanpa Buna. Rain harus gimana? Rain nggak punya tempat pengaduan lain selain Buna."

Terhitung sudah satu jam lamanya gadis itu di sebuah pekarangan itu, menangis sejadi jadinya di temani rintik hujan, akan menemani iya yang sedang gundah gulana.

Rambut yang basah, dengan muka yang luyu, tatapan mata yang kosong serta senyuman yang kian menghilang.

Gadis itu seakan kehilangan rasa gairah di hidupnya.

🥂🥂🥂

Terlihat seorang gadis sedang menatap ke luar lewat sebuah jendela di kamarnya. tidak ada senyuman, bahkan tatapan mata yang luyu.

Senyumannya telah hilang di ambil Dunianya, dia bingung harus bagai mana.

Cuitan burung memenuhi pekarangan rumah minimalis yang sedang di rundung duka itu.

Sekelebat kilasan-kilasan bahagia bersama sang Ibunda melintas memenuhi kepalanya.

Membuat ia terus terusan menangis di rundung sedih, tubuhnya bergetar hebat, tidak ada suara isak tangis yang keluar dari bibirnya yang semerah pualam.

Hanya getaran kian kencang yang mengguncang bahu penuh beban itu dengan hebat.

Sesak sekali rasanya, rasa sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan apapun.

Tangan yang semula melingkar di kepala menjadi terkepal kuat dan memukul dada dengan kencang.

Berusaha untuk mengurangi rasa sesak di dada, dan beban yang hinggap di bahunya.

"InsyaAllah Rain kuat Buna," ucapnya kecil.

Terdengar suara Adzan berkumandang di telinganya, seakan menangis dan melamun tidak ada gunanya.

Gadis itu segera berjalan ke kamar mandi, sempat menatap pantulan dirinya yang berantakan di dalam cermin.

Ia segera merapihkan dirinya, mengambil air untuk mencuci mukanya yang luyu, setelah itu mengambil air wudhu dan bergegas untuk sholat magrib.

"InsyaAllah Rain kuat ya Allah, bimbing Rain dengan segala jalanmu, tunjukan kepada Rain yang baik menurutmu ya Allah, Rain tidak mempunyai siapa-siapa selain dirimu yang kuasa."

Seusai mnunaikan kewajibannya, Rain memberesken dengan sediakala, Rain menatap foto sang Ibunda lalu ia menyempatkan untuk menciumnya, sebelum berbaring di atas tempat tidur dan mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah.

Hari sudah pagi gadis itu terbangun dan melihat jam yang menunjukan pukul setengah lima pagi.

Ia segera membersihkan diri dan menjalankan kewajibannya sebelum memulai aktifitasnya di hari ini.

Ia membereskan rumah yang menurut ia terlalu besar untuk di huni seorang diri, tetapi ia juga enggan untuk meninggalkannya karna itu adalah peninggalan sang Ibunda satu satunya.

Kalian pasti bertanya dimana sosok Ayahnya bukan?

Ghracellina Ghasanni, atau kita panggil saja Rain. sorang gadis cantik berkulit putih, manis dan ceria. Terlahir dari rahim seorang Ibunda yang bernama Abigail Hyfa seorang wanita belasteran Arab-Indonesia wanita lemah lembut serta murah senyum.

Tetapi naas sebuah insiden yang membuat Ibunda Rain mengandung Rain.

Pria biadab yang tidak tau siapa, yang dengan tega melakukan hal itu.

Tetapi nasib baik Ibunda Rain tetap memilih untuk membesarkan Rain dengan hati meski ada setitik tida terima.

Disaat rain berumur 4 tahun ia selalu bertanya di mana sang Ayah dan Ibundanya menjawab kalau ia sedang bekerja, sampai suatu saat di saat Rain tumbuh remaja, ia mengetahui semuanya.

Wanita hebat itu selalu mengajarkan untuk tidak membenci sang Ayah bila suatu saat nanti bertemu.

Dan Rain selalu berdoa untuk tidak bertemu meski ia membutuhkan sosok itu.

Waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi ia segera bersiap berangkat untuk bekerja. Di sebuah toko bunga yang tidak jauh dari rumahnya.

memulai aktifitas dan berusaha untuk tersenyum. meski senyumannya ada yang berbeda rain tetap menjadikan itu penguatnya agar yang Ibunda bangga melihat dirinya.

"Selamat pagi Mbak," sapa Rain kepada anak pertama sang pemilik toko, ya Mbak Nia terkadang suka membantu Rain di toko karna menurutnya untuk menghilangkan rasa suntuk kalau di rumah terus.

Dia juga sudah menikah dan memiliki satu putra.

"Pagi Rin." Mbak Nia menjawab dengan senyuman mengembang ia segera berdiri langsung menghampiri Rain.

Nggak lama dari itu Mbak Nia memeluk Rain sambil berbisik, "yang sabar ya Rin, Mbak tau kamu kuat, Mbak turut berbela sungkawa."

Rain tersenyum ia mengira tidak ada lagi orang yang perduli ternyata salah.

"Makasih mbak," ucap Rain tersenyum.

Mbak Nia menepuk pundak Rain dengan pelan lalu tersenyum, "kalau ada apa apa bilang sama Mbak atau sama Nenek ya Mbak bakal bantu sebisa Mbak hmm."

Rain mengangguk sambil tersenyum, "makasih Mbak sekali lagi."

Setelah itu mereka kembali beraktifitas, terkadang mengobrol dan sesekali tertawa, setidaknya sedikit terobati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Blue RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang