Prolog

93 6 5
                                    

CINTA TERHALANG DINDING PESANTREN

Prolog
Namaku Karima, tak jarang aku merasa di kucilkan. Sebab, kedua orangtua ku seperti tak menyayangi diriku. Sejak kecil perlakuan mereka kepadaku berbeda dengan perlakuan mereka pada kakakku.

Entahlah sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan,aku tahu jika diriku sangat nakal, itu semua aku lakukan karena sebuah pelampiasan karena semua orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku satu persatu, termasuk kedua orangtua ku.

Dua tahun yang lalu, setelah insiden yang menimpa pada kakak ku Ketika ia hampir di renggut kesuciannya oleh pacarnya sendiri, Ayah dan juga Ibu mengirimku ke sebuah pesantren yang ada di solo.

Aku tak merasa keberatan tentang hal itu,aku selalu berpikir positif terhadap mereka karena aku yakin mereka melakukan itu semua karena ingin aku menjadi anak yang shalihah dan berbakti kepada kedua orangtua.

“Hei, kamu kenapa di sini sendiri? Pake acara mewek lagi,” Ucap Karin dengan menepuk Pundak ku.

“Nggak apa-apa, Cuma kangen aja sama Ayah dan Ibu,” Sahutku dengan menghapus air mata yang sudah banyak tumpah mengenai hijabku.

“Alah! Lo nggak usah bohong sama gue,” sergahnya. “Ishh, ngapain Aku bohong sama kamu? Nggak ada gunanya tahu!” Bentak ku lalu melenggang pergi.

Malam ini adalah malam yang di nanti-nantikan oleh para santri. Karena, Akhirussanah sudah di lakukan berarti kemungkinan besar kami akan berlibur panjang. Namun, berbeda denganku.

Ayah dan Ibu tidak mengizinkanku untuk pulang ke rumah, jika aku ingin pulang aku di suruh tinggal di rumah Bude yang berada di kampung. Hatiku merasa teriris aku tak pernah menyangka bahwa kedua orangtua ku menolak kehadiran ku, apakah aku ini benalu dalam hidup mereka? Bahkan sekolah ku selama ini tak pernah mereka bayar, aku di sini bertahan karena prestasi ku sebagai siswa yang unggul di banding teman-teman yang lainnya.

“Bude, apakah aku ini bukan anak Ayah dan Ibu?” Ku beranikan untuk bicara kepada Pak Lek dan bude agar mereka juga tahu tentang perasaanku ini.

“Kamu ngomong apa si, Nak? Yuk,kita pulang sekarang sudah larut malam. Sepi nanti kalau kemalaman,”

Aku rasa Bude sedang menyembunyikan sesuatu dari ku, karena itu sangat terlihat sekali dari wajahnya. Ah, akan aku tanyakan lagi nanti Ketika sudah sampai di rumah Bude.

Setelah menempuh perjalan kurang lebih satu jam, kami telah sampai di kediaman Bude.

“Nak, kamu istirahat duluan ya. Bude mau bicara sama Pak Lek mu sebentar,” Izin Bude terhdapku.

“Njeh,Bude,” Jawabku lalu pergi menuju kamar.

“Pak, gimana ini? Kasihan Karima, dia sudah dewasa dan sudah sepantasnya tahu mengenai hal ini,” Ucap Bude.

“Iya sih, Bu. Dari dulu dia ‘kan tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtua nya,” Jawab Pak Lek dengan mengambil secangkir kopi dan segera di teguknya.

“Ya sudah,Pak. Besok kita beri tahu semuanya, Ibu ndak tega lihat Karima menderita seperti ini. Padahal dia anak yang baik,”

“Iya, Bu. Ya sudah ayo istirahat besok di lanjut lagi,”

“Iya,Pak.nanti pijitin Ibu ya,Pak. Badan Ibu sakit semua ini gara-gara habis panggul beras dari rumah Pak RT,” Pinta Bude dengan meregangkan kedua tangannya.

“Lah, ngapain juga Ibu panggul-panggul beras, kan nanti di anterin sendiri ke rumah,” Jawab Pak Lek.

“Ibu sudah tidak tahan,Pak. Pengen cobain beras baru hehe,”

Angin berhembus pelan menerpa khimar yang ku kenakan. Mataku mengerjap pelan. Menatap hamparan sawah yang berada tepat di hadapanku. Aku menatap jam tangan yang melingkar manis di lengan kananku. Pukul 10.23 pagi. Aku bergegas untuk segera pulang. Karena, Bude meminta aku segera pulang selepas mengantar makanan untuk para pekerja yang membajak sawah Bude.

Setelah menapaki beberapa tanjakan juga turunan. Kini, sampailah di halaman rumah dan  sudah di sambut hangat oleh Bude dan Pak Lek.

“Nduk,sini sebentar!” Panggil Bude dengan melambaikan tangannya.

“Njeh, Bude. Ima taro sepeda ini dulu,” Jawabku.

“Ada apa, Bude?” Tanyaku dengan duduk di sebelah Bude dan juga Pak Lek.

“Begini,Nduk. Kamu ‘kan semalam tanya tentang orangtua kamu,” Ucapnya dan terlihat sangat berhati-hati Ketika mengucapkannya.

“Iya,” Singkatku.

“Jadi, 20 tahun yang lalu. Ada perampok yang masuk ke rumah Ayah kamu. Nah, di rumah itu hanya ada Ibu dan kakak kamu, kakak kamu juga baru berumur dua tahun. Ketika itu dengan tidak sengaja Ibu kamu ingin menunaikan tugas sebagai istri, tanpa ia sadari yang Bersama dirinya saat itu bukanlah suaminya.

Setelah melakukan hal tersebut laki-laki itu pergi dari rumah Ayahmu dengan membawa berkas-berkas penting. Tak lama kemudian Ayah kamu datang dengan tertatih-tatih karena kakinya bengkak akibat berjalan terlalu jauh.

Setelah dua minggu Ibu kamu di nyatakan hamil, kedua orangtua kamu sangat senang sekali dan menanti kehadiran kamu, Ibu kamu panik karena dia tahu bahwa yang di kandungnya belum tentu anaknya dan juga suaminya, bisa jadi laki-laki asing yang sempat menidurinya waktu itu, setelah kamu lahir semua orang bersorak Bahagia menyambut kehadiran kamu, Sayang.

Namun, semuanya berakhir Ketika kamu sakit, dan membutuhkan banyak darah. Ternyata darahmu dan juga kedua orangtua kamu itu tidak cocok,Nak. Akhirnya Ibu kamu jujur dan menceritakan semua insiden yang telah menimpanya beberapa tahun yang lalu.

Sejak saat itu semua perlakuan istimewa perlahan hilang darimu,Nak. Semuanya tertoreh kepada kakakmu, hingga ia bertabiat kurang baik,” Panjang lebar Bude menceritakan itu semua tak terasa sedari tadi air mataku mengalir dengan derasnya, ku peluk Pak Lek dan juga Bude erat dengan penuh cinta dan sayang, karena mereka yang selama ini menguatkan aku, menyayangiku dengan tulus tanpa imbalan.

“Maa Syaa Allah, syukron, Pak Lek dan juga Bude, kalau jika kalian tidak menceritakan ini kepada Ima, Ima nggak akan tahu asal usul Ima,” Ucap ku dengan tangis tersedu-sedu.

“Iya,Sayang. Maka dari itu kamu harus giat lagi belajarnya ya, tunjukkan pada Ayah dan juga Ibumu bahwa kamu adalah anak yang hebat,” Sahut Pak Lek.

Suasana menjadi haru tak ada suara selain tangis dan hembusan nafas kami. Di sini aku mendapat pelajaran yang sangat penting, bahwa terkadang orang yang bukan siapa-siapa justru menyayangi kita dengan setulus hati di bandingkan orang terdekat namun menyesatkan.

“Ya sudah, mari kita makan! Perut Pak Lek sudah manggil dari tadi,” Sela Pak Lek. Kami pun tertawa terbahak-bahak.

Dua minggu telah berlalu kini tibalah saatnya untuk ku Kembali ke pesantren, sudah ku rindukan rumahku itu. Di sana selain mendapat banyak sahabat aku juga mendapat banyak sekali pelajaran hidup, dan menjadi lebih mandiri. Akan ku ingat kata-kata Bude dan juga Pak Lek, bahwa aku harus serius belajar agar kedepannya.

Cinta Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang