04 - Ibu Hamil

602 137 35
                                    

UNTUK yang kesekian kali, Sagita dengan cepat–terlalu cepat–menemukan figur Sakha yang juga baru masuk gerbong melewati pintu yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

UNTUK yang kesekian kali, Sagita dengan cepat–terlalu cepat–menemukan figur Sakha yang juga baru masuk gerbong melewati pintu yang berbeda.

Tangan Sakha mengawai untuk menyapa. Kontan, Sagita membalasnya dengan awaian singkat seraya senyum simpul.

Tiba-tiba, tubuh Sagita ditabrak dari kanan dan kiri oleh kerumunan. Kemudian, ia jadi kehilangan sosok Sakha. Gadis itu refleks linglung karena terbawa ke mana-mana.

Sudah dibilang, Sagita tidak andal di tengah-tengah keramaian seperti ini.

Bisa dipastikan, kalau ada apokalips zombi kejadian, Sagita gak akan tahan lebih dari 2 hari—dia terlalu lengah.

Hampir saja gadis itu jatuh terjerembab—tapi, tangan Sakha buru-buru menarik lengannya.

Sagita mengucapkan "terima kasih" sebanyak-banyaknya. Karena, kalau tadi Sakha gak menariknya, sudah pasti dia akan jatuh dalam keadaan konyol dan jadi tontonan satu gerbong.

Sakha cuma ketawa, seperti biasa. Dia setelah itu mengedarkan pandangan untuk mencari kursi.

Tentu, jika punya mata sejeli milik Sakha, hal-hal detil tak akan kelewat sia-sia.

Sayangnya, dia hanya menemukan satu kursi yang tersisa.

"Duduk, sini, Sagita," suruh Sakha sambil menggeret Sagita pada tempat duduk yang ditemukannya.

"Lo yang duduk, Sak. Gue berdiri aja." Bukannya menerima dengan hati lega, Sagita malah menimpal menyuruh balik.

"Gak, Git. Lo yang duduk di sini. Gue yang berdiri."

"Lo aja, Sakha. 'Kan, elo yang nemu kursinya."

"Iya, nemuinnya buat elo, Git."

Sagita menahan senyum mendengar tuturan kata yang baru diberi oleh Sakha.

Ia kini tahu sesuatu yang baru lagi: Sakha itu orangnya baik banget. Gentle!

Gara-gara sibuk lempar-melempar kursi, seorang ibu hamil keburu duduk di tempat yang sedari tadi ditunjuk-tunjuk oleh Sakha dan Sagita.

"Ya udah, jangan berantem. Ibu aja yang duduk di sini, ya?" kekeh wanita itu, lalu menempati kursi tersebut seraya mengelus perutnya yang tampak besar.

Sagita tertawa renyah dan menunduk sekilas karena tidak enak. "Iya, Bu. Silakan duduk."

Kaki-kaki gadis itu perlahan pergi melangkah ke tengah gerbong, sambil ia mengulum bibirnya. Menahan gelak.

Ternyata, Sakha mengikuti langkahnya di belakang. Menahan gelak juga.

Setelah tangannya menggenggam tiang besi di dekat pintu, ia berbalik dan memukul bahu Sakha pelan. "Elo, sih!" sergah Sagita.

"Kok, nyalahin gue?" Di dalam kalimat Sakha, ada nada ketawa terselip-selip. "Itu, 'kan, karena elo gak mau terima kursinya. Padahal, udah bagus gue kasih."

"Tapi, ya udah, tetep adil, kok, kalau ibu hamil yang dapetin kursinya. 'Kan, prioritas," balas Sagita.

"Iya," sahut Sakha sekenanya. Sejurus kemudian, ia bertanya, "Eh, lo mau duduk gak, Git?"

Kening Sagita berkerut karena heran. "Mau aja, tapi, 'kan, udah gak ada kursi," jawabnya ragu. "Gimana caranya?"

"Jadi ibu hamil dulu."

Sagita merundukkan kepala sampai wajahnya gak kelihatan karena ketutupan rambut. Dia gak tahan buat gak tergelak gara-gara ucapan Sakha yang makin ngaco.

Dasar, ada-ada aja!

Beberapa detik, suara cekikikan mereka kedengaran sampai ujung gerbong. Ada orang yang nyaris ikutan ketawa juga saking herannya melihat tingkah laku dua orang itu yang terlalu receh.

Gak bisa dipungkiri, Sakha merasa bangga bukan main, waktu dia berhasil membuat Sagita tertawa hampir lepas—walau gak bisa terlalu lepas, soalnya di tempat umum.

Sepanjang jalan, mereka selalu curi sempat untuk membicarakan hal-hal kecil. Kalau sudah kehabisan akal, mau tak mau, diam saja di tempat, sambil menatap kaki-kaki yang menapak sempurna di lantai gerbong kereta.

Sewaktu Sakha akhirnya turun di stasiun tujuan, seperti hari-hari sebelumnya, Sagita tak akan lupa untuk melambai dan tersenyum.

Kemudian, Sakha juga mengulas senyum manis di bibir dan membalas lambaiannya sebelum pintu gerbong tertutup.

Sakha akan terus berdiri di sana, lalu baru pergi setelah sosok Sagita dan tubuh-tubuh kereta itu hilang dari pandangannya.

Pelan-pelan, hal seperti ini mulai melebur menjadi bagian dari rutinitas mereka tiap sore.

Pelan-pelan, hal seperti ini mulai melebur menjadi bagian dari rutinitas mereka tiap sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

<ʷnͬoͥtͭeͤʳˢ>

Ini adalah kalian dan aku, setelah membaca momen uwu Sakha-Sagita:

Ini adalah kalian dan aku, setelah membaca momen uwu Sakha-Sagita:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two Stations BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang