Waktu yang Tepat?

3 1 0
                                    

Drett!! Drett!! Drett!!

Dering alarm dari ponsel Hilman berbunyi. Deringan ponselnya sangat keras hingga berhasil membuat Hilman terbangun. Hilman meraih ponsel yang tepat berada di ujung meja samping ranjang. Dia meraba meja itu untuk mencari keberadaan ponselnya, sebab matanya yang masih lengket untuk mau terbuka lebar.

"Jam tiga," batin Hilman sedari mematikan alarm di ponselnya.

Hilman sangatlah rajin dalam hal beribadah. Shalat wajib, shalat sunah, puasa senin kamis, dan kewajiban maupun hal-hal sunah lainnya tidak pernah dia tinggalkan. Apalagi ketika waktu tahajud, Hilman sangat khusyuk menjalankannya. Dalam doa tahajudnya, 'tak pernah dia lupakan perihal jodoh. Hilman berharap, Allah mengabulkan doa di sepertiga malam terakhirnya. Jodoh, itulah yang saat ini Hilman idam-idamkan. Masalah karir, Hilman sudah tidak menginginkan bagaimana-bagaimana lagi. Dia sudah merasa lebih dari cukup dengan apa yang saat ini Allah beri untuknya.

"Astaghfirullahaladzim," lirihnya sambil menutup mulut karena menguap.

Dengan langkah tertatih dan mata yang sayu, Hilman tetap memaksakan dirinya untuk bangun. Dia beranjak menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Percikan air membasahi tangan dan kaki Hilman. Dinginnya sepertiga malam, ditambah lagi dengan guyuran air membuat urat-urat Hilman semakin kaku. Namun, Hilman tetaplah seorang yang berpegang teguh dalam hal keyakinan terhadap sang Pencipta. 'Tak pernah sedikit pun dia mengeluh di saat beribadah.

Hilman menuju kamar lagi, lalu menunaikan sholat tahajud. Setelah itu, Hilman membaca Al-Qur'an juga berdzikir. Sungguh sangat khusyuk dan tulus segala ibadah yang Hilman kerjakan. Di dalam hati Hilman, dia selalu menanamkan sebuah prinsip. Jika Allah saja adil dan baik terhadap proses hidup kita, mengapa kita sebegitu hinanya sampai-sampai beribadah saja kita malas bahkan lalai. Bukankah itu tidak adil? Ya, sungguh yang kita lakukan itu tidak sebanding dengan apa yang telah Allah beri pada kita. Kita beribadah kepada Allah, lalu Allah memberi sebuah kelebihan yang luar biasa kepada kita. Jadi, kita pun harus adil kepada-Nya dengan cara rajin juga tulus beribadah. Itulah prinsip yang selama ini Hilman terapkan.

Setelah membaca Al-Qur'an juga dzikir selesai, Hilman menengadahkan tangan di depan dada kekarnya. Hilman berdoa dengan tulus dan bersungguh-sungguh kepada Allah. Doa yang 'tak pernah terlewat dan selalu dia ulang-ulang, 'tak lain dan 'tak lupa adalah tentang jodoh. Iya, jodoh. Hilman sangat ingin menikah, untuk menyempurnakan agama.

Adzan subuh berkumandang. 'Tak terasa waktu pagi datang begitu cepat. Hilman beranjak dari sujudnya, lalu bergegas untuk pergi ke masjid untuk menunaikan sholat subuh.

Sebelum berangkat, Hilman membangunkan ayahnya terlebih dahulu. Hilman 'tak pernah lupa untuk selalu mengajak orangtuanya menuju dan tetap teguh dalam syariat islam.

"Assalamu'alaikum, Yah, buk. Bangun dulu, yuk! Sudah azan subuh, nih." Salam Hilman dari luar dan mencoba mengetuk pintu lirih.

"Wa'alaikumusalam, nak. Iya, ayah akan bangun," jawab ayah dari dalam.

Sementara menunggu ayah berberes, Hilman duduk di ruang tamu. Dia duduk di sofa sedari melantunkan sholawat yang begitu merdu di telinga siapa pun yang mendengarkannya. Namun, mata Hilman langsung tertuju kepada gulungan kertas yang berada di meja. Gulungan kertas yang ternyata adalah surat undangan dari Sandi, temannya. Seketika, Hilman menghentikan lantunan sholawat yang dia nyanyikan, dan menatap gulungan kertas berwarna merah jambu itu dengan tatapan nanar.

"Menikah." lirih Hilman mengambil gulungan kertas itu sambil membaca bolak-balik isinya.

Hilman terlalu fokus dengan gulungan kertas itu, sampai-sampai dia 'tak sadar bahwa ayah sedang mengamatinya dari belakang.

"Kapan kamu mau nikah, nak. Ayah sama ibumu sudah pengen cepat menimang cucu," Seru ayah yang ternyata mengagetkan Hilman.

"Ayah, sejak kapan ayah di belakang Hilman?" tanya Hilman mengembalikan gukungan surat itu ke meja lagi.

"Nak, ayah sama ibumu ini kan sudah tua, apa kamu ndak ingin melihat kami bahagia menimang cucu? Kalau ayah sama ibumu pergi sebelum melihat anak tercinta ini menikah, bagaimana?" papar ayah yang membuat mata Hilman berbinar.

Hilman adalah anak satu-satunya. Wajar saja, bila ayah dan ibunya selalu memanjakannya, bahkan menginginkan Hilman untuk segera menikah. Orangtua Hilman selalu mengenalkan Hilman kepada salah satu anak teman orangtua Hilman. Namun, selalu Hilman tolak, dengan alasan masih ingin memantaskan diri. Memantaskan diri? Sementara kesempurnaan hanya akan terjadi bila telah menikah? Mungkin itu hanya sebuah alasan yang Hilman torehkan untuk menolak secara halus. Sebab, Hilman 'tak selalu merasa tidak enakan kepada siapapun.

"Astaghfirullah, ayah. Jangan berkata seperti itu, ah. Hilman nggak suka. Perkataan itu kan doa. Insya Allah Hilman akan menikah. Tetapi, menunggu waktu yang tepat saja." tegas Hilman sambil mengelus pundak ayahnya.

"Waktu yang tepat? Kapan, nak? Setiap ayah tanya, jawabanmu selalu seperti itu," tandas ayah lagi pada Hilman.

Hilman melepas rangkulannya dari pundak ayah.

"Menunggu sampai ada wanita yang Hilman cintai datang, ayah. Sudah, ah. Kalau ngobrol terus, nanti nggak jadi ke masjid." Bela Hilman dan mengajak ayahnya ke masjid.

Ayah hanya membalas dengan senyuman. Mereka pun bergegas berangkat menuju masjid bersamaan. Azan subuh telah habis berkumandang. Jadi, mereka mempercepat langkah kakinya.

Sabda Cinta Sang UlamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang