Demi Totalitas

5 1 0
                                    

Hilman dan ayahnya berjalan berdampingan menuju ke masjid. Sepanjang perjalanan, mereka saling mengobrol meski hanya pembahasan sepele, demi menjaga keharmonisan antara anak dan ayah. Jarak dari rumah ke masjid tidaklah jauh. Kurang lebih hanya sekitar 200 meter.

Sholat subuh telah selesai dilaksanakan. Hilman dan ayahnya mengobrol sebentar dengan orang-orang yang masih berada di dalam masjid. Bukan berati mereka menggibah, hanya ingin mempererat tali silaturahmi dengan saling menayakan kabar.

"Nak Hilman, kamu kapan menikah?" Pak Soleh menepuk pundak Hilman.

Hilman terkejut dengan kejadian kecil ini. Bukan karena dia terkejut atas tepukan tangan Pak Soleh di pundaknya tadi, bukan. Sebab, Hilman terkejut lagi-lagi dia ditanyai perihal menikah. Menikah? Ya, kata-kata itu menjadi tabu di hati Hilman belakangan ini. Bukan karena apa-apa atau dia tidak ingin menikah. Sebab, seseorang calon untuk dia nikahi pun belum ada.

"Oh, i- iya, pak. I- Ini, pak. Nanti Hilman menikah jika sudah ada calonnya." Jawab Hilman terbata sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak sedang gatal sama sekali.

"Sabar, nak. Allah pasti mempertemukanmu dengan seseorang yang pantas. Kamu berdoa saja, ya. Allah tidak akan memberi ujian kepada hambanya di luar batas kemampuan, kok." Jelas Ustad rahmat sambil mengelus pundak Hilman.

Hilman hanya menjawab tuturan dari ustad Rahmat yang sudah menua dengan anggukan. Mengangguk untuk memberi isyarat setuju.

"Oh iya, nak. Besok malam ada pengajian di masjid kampung sebelah. Nah, kebetulan saya ditugaskan untuk mencari pemateri. Jadi, bagaimana kalau kamu saja yang menjadi pemateri di sana? Kamu mau, kan?" papar ustad Rahmat kepada Hilman.

"Boleh, pak. Lalu, saya harus memberikan materi perihal apa?" jawab Hilman.

"Panitia kajian meminta untuk membahas materi 'Indahnya mahligai rumah tangga', nak," ungkap ustad rahmat.

Jleb!

Kata-kata ustad rahmat benar-benar membuat hati Hilman terpontang-panting, tercabik-cabik hingga lebur. Bagaimana tidak, Hilman harus memberikan materi kajian mengenai pernikahan, sementara dirinya saja belum merasakan bagaimana seluk beluk pernikahan. Bukankah akan menjadi bid'ah jika memberikan pernyataan tanpa pembuktian atas pengalaman pernikahan itu sendiri? Ya, tentu hati Hilman meronta untuk memutuskannya.

"Haruskah saya, pak? Atau haruskah tentang pernikahan?" tanya Hilman pada ustad Rahmat dengan mata berbinar.

"Iya, nak. Kamu bisa, kan?" jawab ustad Rahmat.

Hilman terdiam sejenak untuk memutuskannya. Dia menunduk sambil melipat-lipat ujung sarung yang dia kenakan. Terlihat kekanak-kanakan memang. Tapi bukan menjadi mustahil bilamana orang yang sedang bimbang melakukan hal semacam itu.

"Baik, pak. Saya akan menerima tawaran untuk mengisi materi pada kajian tersebut," jawab Hilman yang berselisih dengan hati dan pikiran.

Hilman, ayahnya, dan para jamaah sholat subuh yang tadi berbincang-bincang kecil memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Di perjalanan, hati Hilman sangatlah bimbang. Dia telah memutuskan untuk menerima tawaran mengisi materi kajian, namun Hilman 'tak tahu harus bicara apa nantinya. Sebab, Hilman adalah orang yang sangat berhati-hati dalam memutuskan ataupun melaksanakan sesuatu. Dia harus mencari kebenaran terlebih dahulu, sebelum menyampaikan pernyataan itu kepada orang lain. Dia sangat menjaga kesempurnaan agamanya. Bentar! Kesempurnaan agama? Bukankah sebelum menikah agama kita belum semmpurna?

Maksudnya, Hilman sangat berhati-hati dan menjaga kesucian agama islam. Itulah yang Hilman terapkan selama ini.

Srek!

"Astaghfirullah," desis Hilman.

Baru saja Hilman menabrak bongkahan batu kecil yang tergeletak di jalanan.

"Nak, kamu kenapa? Nglamun, ya?" tanya ayahnya.

"Em ... eh, enggak, yah. Hilman tidak tau kalo ada batu." Sanggahnya sambil mengusap-usap kakinya yang sakit oleh bongkahan batu yang ditabraknya.

"Nah, itu tandanya kamu ngelamun, nak. Apa sih yang sedang kamu pikirkan? Cerita sini ke ayah," tukas ayah yang yakin bahwa Hilman sedang melamun.

"Enggak, yah. Nggak papa, kok," sanggahnya lagi.

"Hem, nggak papa kok kayaknya nggak fokus gitu. Oh, ayah tahu, nih. Pasti kamu lagi mikirin perempuan, 'kan?" ledek ayah kepada anaknya yang tengah tersipu ini.

"Eh, ayah kok gitu. Istighfar, yah. Hilman tidak sedang memikirkan perempuan, kok." Jawab Hilman menepuk pundak sang ayah.

"Hehe, kamu nak yang istighfar. Ingat umurmu, nak. Sudah saatnya kamu memiliki pujaan hati," jelas ayah yang semakin membuat Hilman tersipu malu, juga menguatkan hati tentang segala pertanyaan mengenai pernikahan.

Hilman tidak menjawab lagi. Dia dan ayahnya langsung melanjutkan perjalanan pulang. Setiap langkah yang Hilman lakukan, selalu bebarengan dengan otak yang sedang dia putar. Entah dia akan melakukan hal apa selanjutnya. Pikirannya benar-benar kacau sekali. Entahlah, Hilman sendiri merasa aneh dan bingung, bisa-bisanya dia terbelenggu dalam masalah yang rumit, yaitu pernikahan. Eh, menuju pernikahan yang 'tak kunjung bertemu jodoh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sabda Cinta Sang UlamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang