03. LPJS (1)

85 32 11
                                    

Ruang Pierre Tendean

"Kalian ini, baru juga masuk di hari pertama sekolah sudah bikin masalah saja," kata si petugas kedisiplinan. Pria paruh baya itu terus-terusan mengomeli barisan murid baru yang baru saja ia bawa masuk ke ruang sekretariat utama OSIS SMA Nusantara.

Lalu ia menyerahkan selembar kertas kepada seseorang yang berdiri paling depan, "Silakan tulis nama dan kelas masing-masing. Tugas bapak setelah ini selesai, nanti akan ada panitia kalian yang akan ke sini."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, pria paruh baya itu segera keluar dari ruangan tersebut untuk melanjutkan tugasnya yang lain.

"Apa?" tanya Dhea ketus. Ia menatap malas ke arah lembaran kertas yang diberikan oleh Agil.

Mendapat respon seperti itu, Agil menjentikkan kedua jari di kening Dhea yang membuat sang empu meringis kesakitan.

"Nih, tulis nama sama kelas. Lo gak dengerin apa yang dibilang sama Pak Budi tadi?" tanya Agil heran. Kok ada makhluk seperti sepupunya itu. Ia merasa kasihan kepada teman-teman barunya nanti, ketika mereka harus saling berteman.

Dulu saat masih SMP, tidak ada yang betah untuk berteman lama dengan Dhea. Karena, selain jahil dan suka ngide, Dhea itu orang yang kelewat jujur. Dia akan selalu berkata secara blak-blakan tentang apa yang ada dipikirannya. Ya, walaupun kadang kelewat batas, karena cara penyampaiannya yang salah. Tapi lebih baik jujur daripada harus berbohong, kan?

Suatu hubungan yang tidak didasari dengan kejujuran tidak akan berjalan dengan mulus. Entah itu persahabatan atau pun yang lain. Karena bisa saja mereka menggunakan dua topeng, di depan saling memuji tapi di belakang saling menggunjing.

Bukan tipe persahabatan yang diimpi-impikan oleh Dhea. Alhasil, dia selalu bersama dengan Agil dan kawan-kawan. Mereka selalu pergi bersama-sama, entah itu ke kantin atau nongkrong saat ada jamkos. Kadang Dhea juga ikut ke club futsal, tempat dimana Agil menyalurkan bakatnya.

"Ck. Balik badan lo!" pinta Dhea sembari berdecak sebal. Baru saja ingin bertanya, badan Agil segera dibalik menghadap depan karena Dhea membutuhkan punggungnya untuk dijadikan sebagai meja daruratnya.

"Pelan-pelan kek nulisnya, gak usah ditusuk juga kali punggung gue," cibir Agil yang dibalas dengan Dhea merotasikan kedua matanya malas.

Lalu dari arah pintu sana muncul seorang panitia yang dimaksud oleh Pak Budi sebelum pria paruh baya itu keluar. Panitia tersebut menatap malas ke deret barisan di depannya. Kemudian ia melangkah masuk dan berdiri di depan barisan tersebut.

"Sudah sampai mana lembar kertasnya?" tanya panitia itu ke Agil, karena cowok itu berdiri tak jauh tepat di depannya.

Agil menoleh ke belakang. Mencari benda yang ditanyakan oleh seseorang di depannya. Seseorang yang baris paling belakang menyalurkan selembaran kertas tersebut ke depan hingga sampai ke Agil yang kemudian diserahkan kepada panitia tersebut.

"Sebelum kalian keluar dari gedung ini, kalian harus membersihkan seluruh ruangan yang ada di gedung ini dengan kurun waktu tiga puluh menit. Dimulai dari sekarang!"

Perintah itu pun membuat barisan di depannya kebingungan, karena mereka belum paham letak ruangan yang ada di Gedung Archipel ini. Kalau bukan karena mereka telat, sepertinya mereka tidak akan pernah menjejakkan kaki ke gedung ini.

Alis panitia itu terangkat satu. "Kenapa masih di sini? Kalian buang-buang waktu, tau gak!"

"Kami gak tau letak ruangan yang ada di gedung ini kak." Agil membuka suara mewakili teman-teman yang lain. Karena ia merasa clueless dengan perintah yang diberikan oleh panitia itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Social OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang