Chapter 5 : Untuk Pertama Kali

11 2 0
                                    

"Di Youtube juga gitu, sebanyak apapun subscribernya kalo nggak didaftarkan ke monetisasi ya percuma. Nggak akan keluar uangnya," ujar Pak Dodi yang di akhiri dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.

Sekarang Nara paham, ternyata menjadi Youtuber memang tidak semudah yang ia bayangkan dari dulu. Sudah sejak lama Nara memiliki ide untuk menjadi seorang Youtuber, namun ia belum berani untuk memulai.

Hampir setengah jam berlalu dengan obrolan-obrolan tak terduga antara Nara dan Pak Dodi. Mulai dari Youtube, Wattpad sampai rencana projek acara baru yang kemungkinan besar akan menampilkan Nara sebagai pembawa acaranya. Walau baru sebatas rencana, tetap saja Nara sudah sangat gembira mendengarnya.

"Nah, tuh mereka pada dateng," kata Pak Dodi saat mendapati beberapa orang mendekat ke arahnya.

Ternyata, semua pemain yang ada bukanlah orang yang asing lagi bagi Nara. Mulai dari teman mengaji di TPQ dulu, kakak kelas semasa SMP, sampai tetangga sahabatnya di bangku Madrasah dulu. Selain karena beberapa alasan tersebut, Nara dan mereka masih satu keluarahan, wajar saja kalau Nara mengenali semua pemain di film yang akan mereka garap mulai hari ini.

"Pada ke mana aja, sih? Ditungguin juga," kesal Pak Dodi pada Beni.

"Ya elah ... nunggu yang lain aku mah," jawab Beni.

"Andri mana?" tanya Pak Dodi.

"Dia baru bangun, bentar lagi juga dia ke sini," sahut Dika.

Apa? Baru bangun? Ini jam berapa? Nara mengecek jam di ponselnya, dan sudah pukul delapan pagi ternyata. Ia sengaja tak mengenakan jam tangan guna mendukung perannya sebagai gadis yang sederhana, Pak Dodi meminta ia untuk mengenakan hijab dengan style yang harus nampak sederhana. Syukurlah, itu berarti ia tak perlu bersusah payah dalam menyiapkan perannya. Karena apa? Karena kesederhanaan sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Pak Dodi kembali menghampiri Nara yang tadi sempat ia tinggal beberapa langkah dan kembali duduk di samping gadis tersebut.

"Tuh, padahal tadi malem udah berunding. Eh, malah ada yang baru bangun," gerutu Pak Dodi sambil sesekali menatap Nara.
Nara yang tidak tahu harus berkomentar apa pun hanya tersenyum kikuk, karena ia tak tahu menahu tentang apa yang tadi malam mereka rundingkan.

Baik Nara maupun Pak Dodi, mereka sama-sama kembali menunggu sampai Andri benar-benar siap. Jangan lupakan juga beberapa pemain lain yang sudah ikut stand by. Sepertinya Andri perlu diberi pembelajaran mengenai betapa berharganya waktu itu, agar ia bisa belajar tepat waktu.

Sepuluh menit berlalu, apa yang dinanti pun tiba. Bukan lagi rasa senang yang mereka rasakan, namun girang pun bisa saja mewakilinya.

"Mimpi apa kamu semalaman ampe pagi dateng kamu nggak tau?" cibir Pak Dodi namun masih dalam konteks bercanda.

"Yow ... santai aja napa?" pekik Andri.

"Pahamin aja, prinsip hidup dia kan kayak lagu mbaknya aku," sahut Beni menambahkan.

"Nggak salah denger nih kamu punya mbak?" tanya Farhan.

"Ya jelas enggaklah. Itu loh Mbak Via Vallen yang nyanyi 'karena ku selow, sungguh selow, santai, santai ...." jawab Beni yang langsung mendapat tepukan bahu dari Farhan. "Kagak lucu tau," ucap Farhan datar.

Bersama mereka menuju lokasi yang ternyata agak jauh dari jalanan, sekitar seratus meter dari jalan raya dan terletak di tengah-tengah kebun. Di tempat tersebut hanya ada dua rumah dengan model minimalis ala kota metropolitan.
Sedikit yang Nara ketahui tentang rumah itu, Pak Didi menjelaskan bahwa sang pemilik sudah mempunyai rumah kedua di Jakarta dan hanya pulang ke Purbalingga di hari-hari besar saja, itu pun tidak pasti.

"Nah, sekarang saya mau bagikan peran kalian ya," ujar Pak Dodi. "Nanti ... Dika, Beni sama Nara jadi anak saya, kalian kakak adik ceritanya."

Hampir setengah jam proses briefing berjalan, karena ada beberapa hal yang dibahas. Salah satunya pembagian peran. Dalam film tersebut, nantinya Nara akan mempunyai dua orang kakak laki-laki yaitu Dika dan Beni. Beni adalah teman yang Nara temui semasa belajar di TPQ, selama ini ia hanya sebatas mengenal tanpa saling menyapa. Sedangkan Dika, Nara tidak terlalu mengenalinya. Ia hanya tahu nama dan wajahnya sekilas saat belajar kelompok di rumah Syifa, sahabat karib saat di bangku Madrasah. Ada pula beberapa tokoh lain yang turut mendukung jalannya cerita.

Menjalani peran sebagai gadis sederhana, rupanya masih ada kesulitan bagi seorang Nara. Bukan karena watak tokoh yang bertentangan dengan kepribadiannya, namun ada kamera yang membuatnya nervous. Sesekali ia mencoba menghela napas sebelum kata action terlontar dari mulut sang sutradara yang tak lain adalah Pak Dodi dan salah satu rekannya.

"Nara, cobalah untuk tenang. Lakukan seolah kamu sedang di rumah, santai saja. Oke?" ajar Pak Dodi pelan nan ramah.

"Nah, bener tuh. Jangan malu-malu," tambah Rido rekan Pak Dodi yang ternyata adalah suami dari Bu Isna, guru Madrasah Nara.

Nara hanya mengangguk seraya meyakinkan diri dalam batinnya. Tak lupa, ia juga berdoa agar semua dipermudah. Bagaimanapun ia harus beradaptasi dengan situasi yang ada, satu hal yang sangat ia priotitaskan adalah profesionalitas.

Diluar dugaan Nara, seorang gadis usia 20 tahunan tiba-tiba datang ke lokasi syuting. Bella, gadis yang terkenal akan kecantikannya itu datang lengkap dengan make up  yang membalut wajahnya. Jelas saja hal itu membuat Nara minder dan drop kepercayaan diri.

"Dik, sekarang giliran kamu." Pak Dodi memanggil Dika dan menjelaskan peran yang harus ia mainkan. Rupanya, Dika mendapat peran yang agak sedikit berbeda dari yang lain. Ia harus memerankan tokoh yang agak 'kurang' dalam hal mental, memang tidak terlalu parah, hanya cara berpikir dan berjalan yang sedikit lebih lambat dari teman sebayanya.

Saat Dika tengah berjuang menjiwai perannya seperti apa yang Nara lakukan tadi, tanpa sadar ada sepasang mata yang dengan polos memperhatikan dirinya, terutama matanya.

Aku juga punya mata panda, Alhamdulillah nggak sampai kayak panda.

Nara pun menyentuh kelopak bawah matanya yang hanya sedikit bengkak karena insomnia yang mengharuskan ia tidur larut malam. Nara merasa heran dengan lingkar hitam di kelopak mata Dika. Ia justru bertanya pada dirinya sendiri tentang jam tidur Dika. Ada-ada saja.

Pelan tapi pasti, syuting pun berakhir. Semua crew sudah meninggalkan lokasi, termasuk Nara. Mereka berkumpul di sebuah pos ronda untuk sekedar berbincang ringan.

Tak sabar rasanya menanti proses editing berakhir dan menyaksikan film perdananya tayang di Youtube. Ia penasaran dengan penampakan wajahnya di kamera, bukan berarti ia tak pernah berswafoto. Namun, antara foto dan video tentu memiliki perdedaan. Dan untuk hal itu, Nara hanya tinggal menunggu waktu saja.

🎬🎬🎬

Hai para pembaca yang budiman ... thanks buat yang udah baca cerita ini, sekedar memberi tahu kalau ceritanya belum berakhir ya ... jadi tetap ikuti setiap chapter yang aku publish ya 😊

---See you next time---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Self Loathing [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang