Nara diam tak berkutik, ia hanya termenung mendapati pertanyaan Rendy. Tidak biasanya Rendy bertanya seserius itu.
"Boleh," jawab Nara sedikit ragu.
"Kamu udah sarapan belum?" tanya Rendy.
Dalam hati Nara tertawa, bagaimana bisa ia berprasangka terlalu jauh terhadap Rendy yang jelas-jelas sangat suka bercanda.
"Sudah, bahkan double. Pertama, aku sarapan paket lengkap menu bunda. Kedua, martabak keju tadi malam."
"Kira-kira kalo ditambahin semangkok bakso masih muat nggak, ya?" canda Rendy.
Merasa gemas, Nara pun mencubit punggung kiri Rendy dengan tangan kirinya, karena kebetulan salah satu belanjaannya ia gantungkan di bagian depan motor Rendy.
Rendy mengarahkan motornya menuju warung bakso yang sudah menjadi langganannya sejak lama, rencananya sekalian memperkenalkannya pada Nara.
Ada sedikit rasa sesal dalam hati Nara, andai saja ia menolak pulang bersama Rendy, mungkin saja ia sudah sampai rumah. Dia juga baru ingat kalau ponselnya tertinggal di atas meja belajar, bagaimana jika bunda risau?Nara menepuk bahu kiri Rendy. "Paman, gimana kalo bunda udah nunggu terus khawatir Nara nggak pulang-pulang?"
Rendy memelankan sedikit laju motornya dan nampak berpikir. Hanya sesaat, dan kembali ia bersuara. "Kayaknya enggak, deh. Palingan juga dikiranya antre."****
Selesai sarapan jilid 3, Nara memohon kepada Rendy untuk lekas diantar pulang. Namun, tiba-tiba saja Rendy bertemu teman lamanya di parkiran depan warung bakso tempat mereka sarapan tadi. Semakin jenuh Nara menunggu, apalagi Rendy seakan lupa bahwa ia membawa keponakan.
"Paman ... ayolah, aku mau pulang," rengek Nara.
"Iya iya, bentar. Ehm ... gue pulang dulu, ya." Rendy berpamitan kepada Farhan, teman lama yang ia tak sengaja ia temui di parkiran warung bakso.
"Santai aja, ntar gue kontak lo," balas Farhan.
Rendy pun bergegas menuju rumah sang kakak ipar untuk mengantar keponakannya, sebenarnya ada rasa tidak enak hati karena telah membuat Nara pulang terlambat.
****
Sesampainya di rumah, Nara lekas memberi penjelasan mengenai alasan mengapa ia pulang terlambat, tak lupa pula ia meminta maaf.
"Iya nggak papa," jawab bunda. "Oh iya, tadi ada Pak Dodi kesini nyariin kamu, Na."
Pak Dodi adalah salah satu karyawan staf tata usaha di SMP tempat Nara belajar dulu."Pak Dodi?" tanya Nara.
"Iya, katanya ada hal yang mau dia bicarakan sama kamu. Kalau sempat, kamu boleh datang ke rumahnya."
Nara mengangguk, ia pun menyerahkan belanjaan yang sedari tadi menggantung di kiri kanan tangannya pada bunda. Ia segera menuju kamarnya untuk bersiap-siap menuju rumah Pak Dodi guna menjawab pertanyaannya sendiri, ia ingin segera mengetahui alasan kenapa Pak Dodi mencarinya, juga dengan hal apa yang kiranya akan Pak Dodi bicarakan.
Samar terdengar obrolan kecil dari arah dapur, hal itu mennjadi penanda bagi Nara bahwa bunda dan pamannya ada di sana. Seraya menyisir rambutnya, Nara berpamitan kepada dua orang yang sedang asyik bercengkrama tersebut.
"Mau aku anterin nggak?" tawar Rendy.
"Nggak usah, aku jalan kaki aja. Assalamualaikum," pamit Nara.
Di bawah terik matahari yang mulai naik dan hampir sejajar dengan siapa yang berdiri di bawahnya, Nara berjalan menyusuri jalanan kompleks menuju rumah Pak Dodi. Saat-saat seperti ini, sering kali ia mendapati banyak remaja seumurannya tengah berseliweran di jalanan. Tentunya dengan make up yang membuat mereka nampak sempurna, penampilan yang modis, juga mereka yang seakan tak pernah sendiri.
Tak jarang ia bertanya pada dirinya sendiri, tentang alasan mengapa jarang sekali ada orang yang menghargainya sebagai teman. Tapi, ia juga berkaca pada realita. Ia lebih suka dengan kehidupan sederhana, menjadi anak rumahan yang sesungguhnya. Bisa dikatakan Nara sudah terlanjur nyaman dengan kehidupannya sekarang, kehidupan dengan gaya hidup sederhana yang sudah sejak dulu ia jaga.
Nara menghela napas sesaat sebelum ia mengetuk pintu depan rumah Pak Dodi. "Assalamualaikum," sahutnya.
Beberapa saat Nara menunggu, berharap ada jawaban atas salam yang ia berikan.
Agak lama, namun tak kunjung terdengar jawaban, hingga ia pun kembali mengulang salamnya."Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam ...."
Beberapa detik berselang, sang pemilik rumah pun datang menghampiri dengan senyum ramah yang ditujukan langsung kepada gadis tersebut.
"Mari masuk," pinta Pak Dodi yang kemudian mempersilahkan Nara untuk duduk di sofa.
"Saya kira Bapak nggak ada di rumah," ucap Nara.
"Oh ya? Tadi saya lagi masak sama nyuci piring, jadi nggak kedengeran. Maaf ya."
"Oh, iya Pak nggak papa. Ehm ... Bapak nyari saya? Ada apa, ya?" tanya Nara to the point.
Pak Dodi yang tadinya masih berdiri pun turut duduk dengan posisi berhadapan dengan Nara.
"Begini, saya ada tawaran buat kamu untuk ikut dalam projek film terbaru saya. Gimana, kamu mau nggak?"
Nara pun dibuat terperangah oleh jawaban Pak Dodi, ia hampir tidak percaya. Nara mencoba meminta Pak Dodi untuk mengulangi perkataannya untuk meyakinkan bahwa ia tak salah dengar.
"Saya mau Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya," balas Nara antusias. "Tapi, apa Bapak tidak salah pilih pemain? Saya ini nggak cantik seperti teman-teman yang lain."
Pak Dodi menghela napas. "Kok Nara ngomongnya gitu? Nggaklah ... kamu cantik, kok."
Cukup lama mereka berbincang mengenai film yang akan mereka garap bersama, bahkan Nara pun mulai dapat mengimbangi pembicaraan Pak Dodi yang kerap diiringi gurauan. Nara juga tidak segan untuk bercerita tentang body shaming yang pernah ia alami semasa duduk di bangku menengah pertama.
"Ya sudah, mending kamu buktikan aja sama mereka yang membully kamu kalau kamu nggak seperti apa yang ada di pikiran mereka," saran Pak Dodi.
Nara mengangguk. "Iya, Pak."
Sekitar satu jam berselang, Nara pun pamit undur diri karena mengingat hari sudah siang dan hampir menuju sore.
"Semangat ya, minggu depan kita udah mulai syuting."
"Baik Pak, akan saya usahakan sebisa saya."
"Ya ampun, saya lupa buat nawarin kamu minum," ujar Pak Dodi seraya menepuk dahinya.
"Nggak papa, udah minum di rumah juga tadi. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
Hari ini, Nara benar-benar menikmati harinya. Sesekali ia tersenyum saat membayangkan bagaimana reaksi ayah dan bundanya jika nanti ia memberitahukan kabar bahagianya itu. Ia juga masih sempat memikirkan Rendy yang mungkin saja tidak akan percaya dengan begitu saja. Tak sabar rasanya membagikan kabar bahagia ini kepada keluarga di rumah.
Sebuah pikiran buruk melintas dalam benak Nara. Mengingat ia masih termasuk pemain baru yang akan bersanding dengan beberapa pemain lama, tingkat kepercayaan diri yang sempat di-charge oleh Pak Dodi drop seketika. Ia khawatir akan dijauhi pemain lain yang sudah bisa dikatakan senior dan tentunya memiliki paras yang lebih di atas dirinya.
🎬🎬🎬
Cerita masih berlanjut, ya ....
Seperti biasa, tinggalkan jejak jika berkenan 😉
Thank you 💚--- See you next time ---
KAMU SEDANG MEMBACA
Self Loathing [On Going]
Ficção AdolescenteSaat kita merasa tidak pantas untuk memiliki, maka memendam akan berlaku sebagai jalan akhir. Saat kita merasa tidak layak untuk dimiliki karena keterbatasan, maka hanya doa yang sekiranya akan menguatkan jiwa dan raga. Nara Alsava, gadis sederhana...