Kemilau sang surya dalam menutup hari sudah mulai merengsek masuk melalui celah dan kaca jendela sebuah bangunan tua bercat oranye. Dengan santai seorang gadis melirik arloji merah muda yang dengan setia melingkar di pergelangan tangannya, sesaat setelah itu ia kembali fokus kepada seseorang yang tengah serius menjelaskan materi di depan sana.
"Sudah sore, baiknya kita akhiri saja kelas hari ini," ujar Pak Adit seraya menatap arlojinya lalu mengemasi alat tulis bersamaan dengan murid-muridnya.
"Baik, kalau begitu selamat sore, hati-hati di jalan dan semoga materi hari ini bermanfaat untuk kita semua."
"Iya, Pak ...."
Setelah Pak Adit meninggalkan kelas, beberapa siswa nampak berdiri dan mulai melangkahkan kaki untuk melakukan hal yang sama dengan sang guru.
"Nara!" panggil salah seorang guru kepada gadis berjaket abu-abu yang tengah menutup resleting tasnya.
Nara menoleh, "Iya, Bu. Ada apa?"
Bu Dini pun menyerahkan selembar kertas bertuliskan daftar nama semua siswa kelas sebelas lengkap beserta tanggal dan bulan, daftar absensi siswa tepatnya. "Mulai pertemuan selanjutnya, kamu absen kedatangan teman-teman kamu, ya. Bisa?"
"Bisa, Bu."
"Terima kasih, ya. Kamu boleh pulang."
Nara mendekati Bu Dini dan menjabat tangannya seraya tersenyum, tak lama ia bergegas untuk pulang.
Langkah Nara terhenti di ambang pintu kelas, ia menoleh kanan dan kiri menatap koridor yang telah sepi orang berlalu lalang. Sejenak ia menghela napas dan memungut sepasang sepatu miliknya untuk ia kenakan. Tunggu, Nara melepas sepatunya? Iya, sekolah tempat Nara belajar berbeda dengan sekolah yang ada di benak kalian. SMA negeri? Swasta? Dua lantai? Tiga lantai? Empat lantai? Bukan. Hanya satu lantai dan bukan sekolah negeri.
Nara berjalan menyusuri koridor seorang diri dan tanpa sengaja seseorang menabraknya dari arah belakang yang membuat Nara hampir kehilangan keseimbangan.
"M-maaf," ucap seorang siswa yang nampaknya adalah kakak kelas gadis tersebut. Dengan tatapan yang jauh dari kata romantis alias biasa saja, Nara mengangguk dan diam di tempat.
"Sebelum gue pergi, gue harus pastiin kalo lo baik-baik aja," ucap siswa tersebut dengan senyum yang terlihat memuakkan untuk Nara.
"Aku baik-baik saja, permisi," tegas Nara yang kemudian cepat-cepat menjauh dari sosok laki-laki memuakkan yang baru pertama kali ia temui.
Sampai di parkiran, Nara lekas menghampiri motornya dan segera mengoperasikannya agar ia cepat sampai rumah. Dengan kecepatan sedang Nara berkendara menyusuri jalanan sore hari yang mulai gelap, kemilau lampu kendaraan pun mulai menghiasi jalanan.
****
Dua puluh menit berlalu, gadis bernama lengkap Nara Alsava itupun sampai ke rumahnya. Samar-samar indra pendengarannya menangkap suara tawa renyah yang kemungkinan besar tak jauh dari rumahnya. Benar saja, suara itu adalah tawa dari teman sekaligus tetangga yang letak rumahnya hanya beberapa langkah di seberang jalan di depan rumah gadis tersebut. Sekilas gadis itu tersenyum, ia tak menyangka teman yang dulu sering menemaninya bermain masak-masakan ternyata sudah menikah dan memiliki sosok dengan predikat suami.
Nara kembali melanjutkan langkahnya dan memasuki rumah dengan senyum ramah yang langsung ia berikan kepada sang bunda.
"Maaf Bun kalau telat, tadi ada tambahan materi," tutur Nara.
"Iya, nggak papa. Sekarang kamu makan gih sana," titah bunda.
"Nanti aja, Bun. Ehm ... Nara mau mandi dulu, udah mau malem juga, kan?"
Nara pun bergegas melangkah ke kamarnya untuk menyimpan tas sekaligus mengambil handuk kesayangannya. Mungkin mandi sebelum makan malam akan menjadi bagian dari penutup harinya untuk hari ini.
Selesai mandi dan makan malam, Nara memilih untuk berdiam diri di kamarnya. Ia sedang tidak ingin duduk di ruang keluarga hanya untuk menonton televisi, lagipun acara favoritnya sedang libur tayang untuk dua hari ke depan. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk belajar, mencari materi di internet untuk ia rangkum di buku catatannya.
Menempuh pendidikan di paket c memang memiliki beberapa perbedaan dengan sekolah negeri atau swasta lain di luar sana, ada beberapa fasilitas yang memang kurang memadai. Buku paket misalnya, di sekolah hanya tersedia beberapa buah saja, jadi sangat tidak memungkinkan jika setiap siswa bisa membawa pulang meski hanya untuk merangkum materinya. Pertemuannya pun terbatas tiga kali dalam satu minggu, terkadang ada kalanya libur secara mendadak karena guru pengajar sedang banyak urusan di luar.
Sejenak pena yang ada di genggaman jari-jemari gadis tersebut berhenti menari kala terdengar suara kedatangan seseorang dari ruang tamu. Nara mencoba mengenali kiranya siapa yang datang dari suaranya, namun wajah panik mulai terlihat sesaat setelahnya.
Pelan Nara mengemasi meja belajar yang penuh dengan alat tulisnya yang sedikit berserakan dan bergegas merebahkan diri di tempat tidur serta menutup diri dengan rapat menggunakan selimut. Dengan perasaannya yang tak menentu terselip doa agar dirinya tidak pernah keluar dari jalan yang sudah seharusnya ia lalui. Bagaimanapun logika adalah yang utama.
Di tengah persembunyiannya, terdengar ponselnya berdering tanpa memberi dukungan terhadap kepanikan Nara. Sebenarnya bukan panik yang ia rasakan, hanya perasaan tidak menentu yang dibarengi dengan sedikit kecemasan. Dan ternyata ia melupakan ponsel tersebut di meja belajar, jelas saja hal itu memaksa Nara untuk keluar dari persembunyian untuk mengambil benda pipih yang hanya berjarang beberapa langkah dari kasur euro size-nya.
Rupanya ia terlalu lambat merespon panggilan itu, saat ia sampai di depan meja belajar ternyata durasi panggilan sudah selesai. Tapi tunggu, ia tak mendapati nama penelepon tadi, hanya tertera nomor tanpa nama. Siapa dia?
Sebuah pesan dengan nomor yang sama masuk yang memberitahukan bahwa ia adalah Rio, sepupunya yang baru saja mengganti nomor telepon.Ck! Ada-ada saja. Nara memaki dalam hatinya.
Ceklek
"Nara, Bunda kira kamu sudah tidur," ucap bunda sesaat setelah bunyi gagang pintu itu terdengar.
"Be-belum, Bun. Ini baru mau," terang Nara sedikit gelagapan.
"Tidak biasanya kamu tidur cepat, kamu nggak sakit, kan?"
"Bunda, Bunda tenang aja. Nara baik-baik aja, kok."
"Nggak mau nemuin---"
"Iya iya, tapi sebentar aja ya, Bun. N-Nara capek banget," potong Nara menyela ucapan bunda.
Dengan langkah gontai, Nara berjalan membuntuti bunda menuju ruang tamu untuk menemui tamu yang datang ke rumahnya. Ia sudah tidak tahu lagi perasaan apa yang kiranya tengah melanda hati dan pikirannya saat ini.
🎬🎬🎬
Seperti biasa, author ucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah membaca story ini^^
Vote dan komentar jika berkenan. Kalau ada hal yang sekiranya perlu diperbaiki, boleh ditulis di kolom komentar, kok 😊--- See you next time ---
KAMU SEDANG MEMBACA
Self Loathing [On Going]
Novela JuvenilSaat kita merasa tidak pantas untuk memiliki, maka memendam akan berlaku sebagai jalan akhir. Saat kita merasa tidak layak untuk dimiliki karena keterbatasan, maka hanya doa yang sekiranya akan menguatkan jiwa dan raga. Nara Alsava, gadis sederhana...