"Dia kembali ke Jakarta, By. Nathan ada di Jakarta semenjak seminggu kemarin"
Perkataan Dira membuatnya terdiam sebentar dari sibuknya jam pagi kantor dan membuat kepalanya memutar memori-memori usang yang sekuat tenaga dirinya kubur dalam-dalam agar tak ada lagi celah yang membuatnya menangis semalaman hingga bolos kantor dengan alasan datang bulan.
Dengan sekajap, Abby masih bisa dengan jelas mengingat apa yang terjadi lima tahun lalu di acara angkatan SMA-nya. Sudah selama itu tapi Abby masih suka terjebak didalamnya dan sulit untuk keluar dan membebaskan dirinya untuk melupakan segala hal yang menyakitkan. Dan selama itu pula ia berusaha keras membuang nama Nathan jauh-jauh dari ingatannya, namun semua orangpun tau, tidak akan semudah itu tapi satu haripun Abby tidak pernah berhenti berusaha dan setiap hari itu pula ia semakin terjebak dan bingung untuk menata hatinya.
Kabar bahwa Nathan kembali ke Jakarta bukan hal paling mengejutkan bagi dirinya karena Nathan sendiri yang duluan memberi kabar bahwa kepulangan dirinya ke Jakarta dan meminta bertemu dengan Abby. Kabar itu tentu tidak pernah ia respon tapi tentu tidak pernah gagal menganggu pikirannya hingga hari ini. Mendengarnya langsung dari Dira seolah ia menerima tamparan dari semesta yang berkata bahwa ini adalah sungguhan. Sekuat tenaga Abby menjaga raut wajahnya untuk bisa setenang mungkin menjawab perkataan sahabatnya agar tidak ada berita tentang dirinya yang ketauan gagal move on.
"Oh, dia lagi pulang atau liburan kali, ya?" jawaban paling aman yang bisa Abby katakan saat ini. Mencoba terlihat sibuk dan tidak peduli dengan fokus pada layar laptopnya sukses membuat Dira berpikir temannya benar-benar sudah lupa dengan masa kelamnya itu.
"Lo beneran nggak tau, ya? He is back for good, By."
Kenapa. Pertanyaan itu yang ingin Abby teriakan di depan muka Nathan bila memungkinkan. Lima tahun. Dirinya mulai sulit membayangkan bagaimana jalan hidupnya kedepan mulai sekarang.
"Good for him, kayaknya udah kangen Indo atau mungkin nggak betah di New York?" masih sekuat tenaga menjaga ekspresi datarnya, Abby seperti ketahuan mencuri karena kaget mengetahui Nathan kembali untuk menetap. Bukan kepedean atau tanpa alasan Abby merasa dunianya akan segera terguncang, kemarin bukanlah kali pertama Nathan meghubunginya. Dan Abby tau bila ia tidak berusaha untuk menghindar, kemungkinan besar dirinya malah akan terjebak, lagi, entah yang keberapa kali, lalu menyerah dengan keadaan dan mengikuti kata hatinya yang hanya bisa membuatnya menyesal di kemudian hari.
"Lo beneran se-gak-peduli itu, By? Gue bukannya apa-apa nih ya, tapi kalo lo beneran udah lupa sama Nathan, gue ikut bahagia, By. You deserve it. You deserve to be happy. Dari dulu."
Perkataan Dira lima detik yang lalu membuat Abby membuka lagi ruang-ruang di hatinya yang ia tutup rapat selama ini. Hari-hari bersama Nathan yang membuatnya kelewat senang, sudut-sudut perkotaan Jakarta yang hangat dan tidak pernah kelabu, sofa abu-abu apartemennya yang sampai saat ini masih menyisakan kenangan Nathan, dan segalanya yang membuat dirinya hancur dan menolak percaya pada kebaikan. Keberadaan Nathan sangat berpengaruh pada hidupnya sejak dulu, Nathan yang selalu mengingatkan untuk jangan lupa makan siang, jangan pernah lupa mengkonsumsi vitamin, dan memaksanya untuk rutin memberi kabar karena takut Abby pingsan lagi karena lupa makan siang. Hal-hal kecil yang selalu Nathan lakukan membuat Abby membentuk ruang dan membiasakan dirinya dan Nathan selalu menjadi satu kesatuan. Hubungan mereka memang tidak selalu lurus dan penuh tawa, tapi Abby tau betul bahwa kehadiran Nathan dihidupnya adalah hal yang paling ia syukuri.
"I am happy, Dir, and by the way, kita mau makan apa siang ini?," tidak mudah untuk mengubah topik pembicaraan dengan Dira, tapi Abby tau cara terbaik untuk melakukan itu—iya, ajak Dira bicara soal makanan, apapun itu.
"Lo mau ke tempat baru yang Aldo omongin waktu itu nggak? Lumayan jauh sih, tapi kemarin gue baca reviewnya udah banyak banget loh!"
"Boleh, tapi yakin nih berangkat sekarang masih dapet tempat? Males banget gue kalo udah jauh-jauh tapi akhirnya di Nasi Goreng depan kantor."
"Bawel deh lu, yuk." Tubuh Dira tiba-tiba sudah berada di depan meja Abby dengan muka melasnya menyuruh dirinya untuk bergerak lebih cepat.
Tidak ada alasan untuk tidak makan siang keluar kantor, Abby mempunyai keyakinan bahwa jam makan siang artinya ia bisa kabur sebentar dari kesibukan dan hal-hal yang memusingkan. Walau semua orang tau Jakarta bukan tempat yang pas untuk keluar siang-siang dan bermacet-macetan tapi Abby rela menukarnya dengan menghirup udara bebas tanpa tumpukan file di mejanya.
Dan Jakarta masih sama seperti biasanya, panas, macet, polusi dimana-mana, orang-orang saling bersikutan entah disebabkan oleh apa, bunyi nyaring klakson selalu terdengar dimana-mana. Melelahkan. Tapi Abby dan semua orang tentu hanya bisa menerima kenyataan itu untuk bertahan hidup. Dimulai dari perjalananya mencari pekerjaan di Jakarta 7 tahun lalu bermodalkan ijazah dan pengalaman seadanya, Abby nekat meninggalkan Bandung dan keluarga untuk mulai hidup menjadi orang dewasa.
Keluarga Abby bukanlah keluarga yang kaya raya, tapi bukan juga keluarga yang serba kekurangan. Dari kecil Abby dan adiknya belum pernah merasakan kelaparan atau nunggak bayar SPP sekolah. Ayahnya bekerja di salah satu bank ternama dan memiliki jabatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, lalu ibunya punya usaha catering yang cukup terkenal dan menjadi langganan banyak orang. Hidup Abby memang terlihat tidak memiliki kekurangan, mempunyai keluarga lengkap yang sangat mendukung cita-citanya, wajah yang jauh dari kata biasa-biasa aja, mempunyai teman-teman yang siap membelanya kapan saja. Abby tau bahwa dirinya sangat beruntung untuk memiliki semua itu. Ia tau bahwa dirinya jauh dari kata tidak beruntung, maka dari itu ia sebisa mungkin untuk tidak mengeluh dalam keadaan apapun.
Perkataan Abby satu jam yang lalu seolah membuktikan kebenarannya, tempat makan baru itu sudah dipenuhi orang-orang. Abby tidak tau pasti kalau masih ada tempat untuknya dan Dira atau tidak. Dengan kondisi perut kosong sejak pagi tadi ia rasanya sudah tidak memiliki tenaga untuk marah-marah dan mengomeli Dira. Ditambah temannya itulah yang rela menyetir sampai sini, jadi di titik ini Abby hanya pasrah dan menyerahkannya pada Tuhan.
"By, tadi gue udah tanya terus waiting list, gimana?"
"Masih lama nggak?" jawab Abby sekenanya. Ia menunggu di mobil sedari tadi karena tidak ingin menambah jumlah keramaian di sana.
"Satu jam sih, By. Lo mau cari tempat lain apa kita nunggu aja?". Dua-duanya bukanlah hal yang Abby inginkan saat ini. Ia hanya ingin makan dengan sesegera mungkin. Bukan apa-apa, ia hanya takut maag kronisnya itu kambuh dan menyusahkan semua orang. Ditambah tempat ini hanyalah satu-satunya restoran di daerah yang mereka lalui. Mungkin satu jam ia masih bisa menahannya, mungkin.
Dira segera kembali setelah berhasil memesan tempat untuk dirinya dan Abby. Menunggu di luar bukanlah pilihan yang bijak, sambil tetap menghidupkan mobilnya demi tidak merasakan gerahnya Jakarta, dirinya dan Abby larut dalam kesibukan masing-masing. Abby yang mencoba memjamkan matanya untuk menghemat energi sampai satu jam kedepan dan Dira yang sibuk memainkan smartphone-nya sambal sesekali melihat keadaan di depan.
Semuanya baik-baik saja sampai tiga puluh menit kedepan, sampai Dira mencoba membangunkan sahabat dipinggirnya dengan tidak santai. Abby yang kaget luar biasa hanya bisa memelototi Dira dengan muka paling kesalnya di dunia. Ia hampir saja berhasil tertidur setelah berusaha fokus untuk bisa terlelap sebentar.
"Apaan sih, Dir. Gue ngantuk, belum sejam kan?"
"Itu Nathan kan, By?"
"Hah?"
Dalam sekejap saja, matanya berhasil menangkap sosok Nathan yang selalu menjadi orang tertinggi di sekitarnya. Itu benar Nathan. Nathan. Orang itu benar-benar ada di depan matanya, berdiri dengan gagah sambil mengobrol dengan orang di sebelahnya.
Nathan.
"Beneran di Indo ya dia, sapa yuk, By? Lo harus tunjukin diri lo yang bisa baik-baik aja tanpa dia, By. Yuk, mumpung ada gue. Jadi kalo dia macem-macem bisa langsung gue kasih pelajaran."
Entah kenapa. Entah apa yang merasuki tubuh Abby sampai mengiyakan ajakan Dira untuk menemui Nathan yang sekarang sedang menatapnya dengan pandangan kaget dan senang?
"Abby.."
Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Imperfections of Memory
ChickLitAbby dan Nathan lima tahun lalu adalah satu kesatuan yang kehadirannya selalu dinantikan banyak orang. Tapi tidak hari ini, esok dan entah sampai kapan Abby berjuang untuk tetap bertahan. Kehadiran Nathan adalah hal yang paling Abby hindari sekaligu...