Banyak pertimbangan yang Abby pikirkan sekarang. Ia ingin menghindari Nathan tapi pertanyaannya sampai kapan? Ia mulai berpikir bahwa ia butuh penjelasan dan menghindar bukanlah jawaban. Tapi di sisi lain Abby ketakutan, takut jawaban Nathan makin membuat segalanya menyakitkan, taku dirinya akan terpuruk lagi, tapi Abby lebih takut jika semua yang ia kira selama ini adalah kesalahan. Abby takkan siap untuk itu. Tidak akan pernah.
Sudah lewat sepuluh menit tapi Abby belum memberi jawaban ataupun menghubungi receptionist untuk memberikan izin masuk pada Nathan. Terlalu cepat. Semuanya terlalu cepat untuk Abby rasakan, terlebih saat ini.
Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, berharap itu sedikit membantu meredakan rasa lelahnya sekarang. Ia akhirnya memberanikan diri memberikan jawaban. Membiarkan Nathan masuk. Tidak tau apa yang membuat dirinya begitu berani seperti saat ini. Ia takut rasa rindunya meruntuhkan segala pertahanan. Abby mencoba mencari-cari alasan dan jawaban untuk nanti ia gunakan sebagai senjata melawan Nathan. Namun ia tau bahwa takkan mudah untuk menang. Lalu suara bel apartemennya bunyi menandakan ada tamu di depan. Tiba-tiba Abby menjadi bingung sekarang. Untuk apa. Bingung mengapa dirinya perlu membiarkan Nathan datang kembali ke hidupnya. Abby sadar bahwa keputusannya saat ini bisa jadi penyelasan terbesar lainnya yang ia lakukan. Tapi untuk sekali saja, Abby merasa dirinya harus berani untuk menghadapinya. Maka dengan satu tarikan nafas panjang, ia membuka pintunya untuk membiarkan orang itu masuk.
"Abby.."
Suara itu, hampir membuat Abby menangis karena ia baru sadar bahwa rindunya amat besar. Melihat muka Nathan dari jarak sedekat ini semakin membuatnya sulit bertahan. Abby bisa dengan mudah memeluknya sekarang, mengatakan rindu dan meminta Nathan kembali ke hidupnya. Tapi sampat saat ini, Abby masih cukup waras untuk sekedar tersenyum dan mempersilakannya masuk ke dalam.
"Thank you ya, Nat. Udah bantu ke rumah sakit." Kali ini suara Abby sudah tidak terbata-bata lagi, dan ia sangat bersyukur untuk itu. Terlihat baik-baik saja di depan Nathan adalah salah satu usahanya saat ini untuk entah membuktikan apa.
"Kamu udah baikan? Udah makan belum? Aku bawa sup buat kamu makan nanti."
"Thank you." Abby mulai lelah. Untuk apa Nathan membelikannya makanan. Ada motif apa. Pikiran Abby sibuk membuat berbagai macam kemungkinan yang sekarang sedang berputar di kepalanya. Hanya satu kalimat itu saja Abby sudah mulai kelelahan untuk mempertahankan pertahanan.
"By, kamu udah baikan?"
"Udah, Nat. Aku mau istirahat."
"By,"
"What?"
"I'm sorry."
Ia tidak ingin menangis, tapi sulit sekali. Mendengar kata maaf langsung dari Nathan, apa itu yang dirinya inginkan? Abby tidak tau, yang jelas saat ini ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan Nathan.
"Kenapa? Kenapa harus gitu, Nat?"
"I don't know how to explain it, but, believe me, I have a reason behind it."
"So what is it?" Abby tidak ingin terdengar memaksa tetapi suaranya menolak untuk setuju. Sekuat tenaga ia menahan dirinya untuk tidak meledak dan menangis di hadapan Nathan. "You know what, Nat? I had enough." Suaranya kali ini terdengar parau dan sudah menyerah pada keadaan. Abby saat ini hanya ingin pergi menghindari Nathan, pergi sejauh mungkin sampai tidak bisa ditemukan. Keadaan seperti ini—dirinya dan Nathan yang berdekatan, apartemennya yang sunyi karena mereka memang sama-sama tidak suka banyak bicara membawa banyak kenangan yang selalu dirinya rindukan.
"Do you think you are the only one who's hurting? Kamu pikir aku ngelakuin itu dengan sengaja dan tanpa alasan? Do you think I will hurt you like that?" No. Abby terlalu mengenal Nathan untuk tau dia tidak mungkin melakukan hal itu dengan sengaja untuk menyakitinya. Mungkin memang Abby yang terlalu naif. Nathan yang dikenal baik olehnya mungkin hanya sampai tiga tahun dari ia menjalin hubungan. Otaknya tidak ingin dipaksakan berpikir, terlebih saat-saat seperti ini—ketika badannya masih belum fit dengan sempurna dan rasa jarum infusan masih terasa ngilu di tubuhnya, ditambah dengan penjelasan dari Nathan yang semakin membuat runyam malamnya.
"Okay, what was your reason? I have the right to know, kan?" maka detik ini Abby tidak lagi terdengar sedih dan kebingungan. Ia ingin tau apa sebenanrnya alasan Nathan lima tahun lalu.
"Kamu inget lima tahun lalu saat aku bilang nggak bisa nemenin kamu di reuni angkatan?"
"Ck, how could I forget that day?"
"By, let me explain first, okay? Yes, I was with her. Aku pergi sama dia buat makan malam. But, By.. how can I say no when my parents told me to? You know I can't do that, right? So I said okay, but that was it. I said to her I already have girlfriend and she understand. We agree to be friends and that's all. But you heard it from your friends and you refused to listen to my explanation. I was very confused and frustrated, By. And one day you just disappeared. And I still have no chance to explain it to you by myself. You know it's only one week away until I go to US. I don't have a chance to tell you the truth. And if you think I'm fine, no, I'm not fine at all, By." Penjelasan Nathan saat ini memenuhi pikiran Abby dengan sekejap, butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya Abby mengerti perkataan Nathan. Ia mulai ingat bahwa permasalahan hubungannya dengan Nathan adalah orang tua Nathan yang masih selalu berusaha menjodohkan Nathan dengan kenalan mereka. Kejadian itu bukan pertama kalinya, tapi Nathan tidak pernah mengiyakan ajakan ibunya untuk menemui anak dari kenalannya.
Satu hal yang Abby lupa, saat itu ibu Nathan jatuh sakit. Penyakit jantung yang sudah diidapnya cukup lama tiba-tiba kambuh. Abby tau Nathan tidak mungkin ingin mengecewakan ibunya pada saat-saat seperti itu. Tapi kenapa.
"And you refused to tell me? Why?"
"Buat apa? Itu cuma kejadian malam itu aja. I don't want to change a thing between us."
"Exactly. Dari dulu kamu yang selalu nentuin hubungan kita. Don't you tired? Jalanin ini dan itu sendiri tanpa mau melibatkan orang lain. Alesan yang kamu pake juga basi, Nat. Kamu nggak bisa selamanya buat keputusan sendiri." Abby sudah sangat amat lelah, ditambah perdebatan dengan Nathan saat ini hanya menambah beban pikirannya saja karena harus mengingat kembali memorinya dulu bersama Nathan.
Mungkin memang dirinya melakukan kesalahan saat memutuskan untuk menghilang tanpa memberi tau siapapun kecuali orang tua dan sahabatnya. Tidak memberikan Nathan kesempatan untuk menjelaskan dan menelan bulat-bulat informasi dari temannya malam itu. Atau mungkin Abby menyesal.
"By, sadar nggak kenapa aku yang seolah ngelakuin semuanya buat hubungan kita? Karena kamu nggak pernah mau terlibat, By. Kamu selalu setuju apa kata aku, selalu berusaha mengerti kemauan aku tanpa perduliin diri kamu sendiri. Mungkin dalam beberapa kesempatan aku mulai capek dan nentuin semuanya sendiri tanpa tanya-tanya kamu lagi. Kaya tawaran Mama waktu itu, kamu pikir aku nggak menimbang semuanya dulu? Aku udah nebak jawaban kamu pasti iya, iya kan By? Kamu rela aja biarin aku dinner sama perempuan lain dan sama sekali nggak ada masalah untuk itu. Tapi aku nggak bisa kaya gitu, By."
"Kenapa jadi kemana-mana sih, Nat? Kamu tau aku bukannya nggak peduli, aku cuma nggak pengen buat semuanya ribet, aku tau kamu sayang sama aku, dan sebaliknya, jadi yaudah kan?"
Tarikan nafas Nathan terdengar lebih keras dari biasanya, menyadari itu Abby sadar bahwa Nathan saat ini sudah berubah menjadi marah. Kebiasaan Abby yang selalu mengatakan iya pada Nathan itu benar, membebaskan Nathan untuk pergi jalan dengan teman-teman perempuannya juga Abby tidak masalah, Abby tidak pernah sekalipun melarang Nathan untuk pergi kemanapun. Kenapa itu jadi masalah sekarang?
"Kita nggak bisa gini terus, I need some air right now. Good night." Nathan meninggalkan Abby yang saat ini mulai menangis sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Imperfections of Memory
ChickLitAbby dan Nathan lima tahun lalu adalah satu kesatuan yang kehadirannya selalu dinantikan banyak orang. Tapi tidak hari ini, esok dan entah sampai kapan Abby berjuang untuk tetap bertahan. Kehadiran Nathan adalah hal yang paling Abby hindari sekaligu...