Ding dong...
Anna mencoba menstabilkan napasnya, kini ia berdiri di depan pintu nomer 142 itu dengan selembar kertas di tangannya yang ia yakini adalah takdir Tuhan untuk menyatukannya dengan pria yang ia dambakan. Cukup lama pintu tidak segera dibuka sang pemiliknya, semakin membuat kaki Anna gemetaran.
Anna mendengar langkah di dekat pintu tersebut, Anna yakin itu adalah Brans, astaga Anna sangat berdebar seperti remaja yang kasmaran. Anna bahkan sudah memasang senyum terbaiknya, namun kenyataan menamparnya begitu keras, senyuman manis itu berubah menjadi muka datar penuh tanda tanya, alih-alih Brans yang dilihatnya justru seorang perempuan manis dengan rambut coklat sebahu.
"Maaf, siapa ya?" tanya gadis berambut sebahu itu dengan wajah manisnya.
Anna geram sekali, tanpa sadar ia bahkan sedikit meremas ujung kertas milik Brans. Dimana Brans? Siapa perempuan ini? Apa dia adiknya Brans? Tapi Brans tidak punya adik, dia anak tunggal, apa-apaan ini?! Bukannya menjawab pertanyaan, Anna justru bergelut dengan benaknya sendiri. Setelah sadar, Anna segera merespon dengan tanggap.
"Ah, aku ingin mengembalikan ini pada Brans, tadi kulihat kertas ini terjatuh dan Brans sepertinya tidak sadar. Apa dia ada di dalam?"
Perempuan itu mengangkat alisnya sedikit heran dengan Anna yang tanpa basa-basi menanyakan eksistensi Brans. Anna bersumpah jika perempuan ini menghalanginya maka ia akan benar-benar habis di tangannya.
"Kau mengenal Brans? Dia sedang mandi, kau bisa menitipkannya padaku." Ujar perempuan itu ramah. Namun dimata Anna, perempuan ini sengaja menghalanginya bertemu Brans, memangnya siapa dia berani menghalanginya, gadis itu bahkan tidak menyuruh Anna untuk sekedar masuk, sialan.
"Sayang, ada apa?"
Seperti tersambar petir tepat detik itu juga, Brans muncul dan memanggil perempuan ini dengan sebutan 'sayang', Anna tidak salah dengar bukan, kini ia hanya bisa mematung sembari memandang ke arah Brans dengan tatapan sulit diartikan.
"Katanya dia melihatmu menjatuhkan kertas,"
"Oh ya?" Brans memandang Anna yang masih mematung memandangi dirinya. "Eng, nona kau tidak apa-apa? Kau tampak pucat."
Anna segera sadar dan segera memberikan kertas tersebut kepada Brans, "K-kau tidak mengenaliku ya?"
"Maaf, apa kita pernah bertemu?"
Brans ternyata aktor yang hebat, bahkan sekarang ia pura-pura tidak mengenal Anna dan jujur saja itu membuat Anna sakit hati. Oh, apa karena kehadiran gadis ini sehingga Brans harus berpura-pura? Benarkah? Kalau begitu apakah Anna lebih baik menyingkirkannya saja?
"Oh tunggu, aku mengenalmu, kau Anna bukan? Anna yang dulu sekelas denganku?"
Lihatlah, Brans memang tak pernah melupakan Anna, ia adalah gadis yang selalu menempati hati dan pikirannya. Anna tersenyum sumringah, tentu saja Brans memang ditakdirkan untuknya seorang.
"Dia temanmu sayang? Haha, kenapa kau bisa lupa?"
Diam kau jalang! Ingin sekali Anna merobek mulut merah merona gadis ini.
"Iya, dia dulu sangat pendiam, tidak kusangka kau berubah sedemikian rupa Anna, aku sampai tidak mengenalimu."
"Yaa, waktu terus berjalan Brans," seolah ada panah berbentuk hati yang menembus dada Anna, ia dibuat melayang oleh sosok di hadapannya ini. Dia sangat manis dan selalu baik.
"Sepertinya aku harus memperkenalkan diriku pada temanmu hng? Perkenalkan, namaku Ashley, aku calon istri Brans."
Hei! Kenapa gadis ini berisik sekali? Tidak bisakah ia diam? Apa? Calon istri Brans? Si jalang ini?
"Ahaha iya, kami akan menikah satu minggu lagi." Sambung Brans dengan senyum tersipunya.
Hancur sudah, Anna merasakan lututnya mulai lemas tidak sanggup lagi menopang, apa ini settingan belaka? Yang benar saja, semesta baru mengijinkannya bicara dengan pria yang dicintainya, belum ada lima menit ia dan Brans berbincang lalu kabar sialan itu datang dari mulut mereka? Anna sangat marah, hatinya mencelos seketika. "Waw, selamat yaa, aku turut bahagia." Dan pada akhirnya hanya sebuah kebohongan yang berhasil ia lontarkan. Anna memutuskan untuk pergi saat itu juga, berpamitan dengan dalih ada urusan, iya benar ia ada urusan, yakni bergelut dengan perasaan dan pikirannya yang kacau.
Ana memukul berulang kali setir mobilnya, meluapkan amarah dan menjerit sesukanya, ia sangat marah, matanya sembab hanya dalam beberapa menit membuat aliran hitam efek dari eyelinernya. Kenapa Tuhan tak pernah adil padanya? Ia sudah menunggu begitu lama hanya untuk mendengar kalau pria yang dikasihinya akan menjadi milik orang lain? Lalu bagaimana dengan Anna? Ia sudah berjuang mati-matian bangkit dari masa lalu kelamnya, mencoba terlahir kembali menjadi sosok Anna yang sekarang, namun semua itu tak ada gunanya, Anna hanya ingin seorang Brans, ia akan sangat bersyukur jika Brans seorang yang mengaguminya, mencintainya dan selalu menjadi miliknya. Brans tidak boleh menjadi milik orang lain, harus dia, harus Anna, bahkan jika Anna tidak bisa memilikinya orang lain pun juga tidak.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Psycho ✔
Historia CortaJika aku tidak bisa memilikimu, maka orang lain pun tidak. ㅡWARNINGㅡ Cerita ini mengandung kekerasan, kesadisan, dan adegan berdarah lainnya.