Lian tampak mengerti dengan keheranan Alya, "almarhum sangat baik kepada saya dan nenek saya. Ia pernah membantu saya membawa nenek saya kerumah sakit. Saat itu penyakit nenek saya kambuh dan saya meminta tolong kepada almarhum untuk mengantarkan nenek saya kerumah sakit dengan kendaraan yang ia bawa. Dengan besar hati dia mengantar kan kami padahal dia sendiri sedang terburu-buru untuk pulang, karena anak gadisnya menangis karena sangat merindukannya pulang," ujar Lian menjelaskan.
***
Mendengar semua penjelasan Lian, mamancing genangan air mata yang sedari awal tidak akan Alya keluarkan lagi, karena terikat janji dengan bundanya.
Lian menatap manik mata Alya, yang sudah dibanjiri air mata, "ada amanah dari ayah kamu, untuk saya," sambung Lian setelah menjelaskan bagaimana ia mengenal ayah Alya.
"Apa?" Tanya Alya singkat.
"Menjadi sahabat kamu dan menjaga kamu," jawab Lian.
Alya tidak menyangka, bahkan sebelum kepergian. ayahnya menyiapkan orang untuk menjadi sahabatnya.
"Lalu? Apa kamu yakin untuk menjaga amanah itu?" Tanya Alya. Tentu pertanyaan itu yang muncul dan akan ia tanyakan. Alya tidak mau jika Lian melakukannya hanya karena ayah Alya pernah membantu ia serta neneknya.
"Saya yakin, kamu jangan berpikir saya melakukan ini karena kasian, saya tulus," ungkap Lian.
Alya tersenyum mendengarnya, tidak menyangka bahwa ia akan memiliki teman. Ia juga tidak mungkin menolak, ini amanah papanya, tentu papanya tau siapa teman yang baik untuknya.
"Baiklah, panggil aku Alya, dan kamu tolong jangan pakai bahasa formal," ujar Alya sedikit terkekeh, seraya menghapus air matanya.
Lian pun ikut terkekeh, "Mau aku anterin pulang?"
"Mmm seperti tidak usah, aku membawa sepeda," ucap Alya menolak tawaran Lian.
Lian langsung saja berjalan mendahului Alya dan menuju ke arah sepeda yang ia letakkan di belakang pohon, "Ayolah," seru Lian.
Alya tersenyum dan segera menyusul Lian untuk mengambil sepedanya.
***
Alya telah sampai di rumahnya, ia segera masuk dan juga mengajak Lian. Yaa, Lian tetap mengantarkannya pulang walaupun Alya sudah menolaknya. Alasannya sederhana, 'Aku diutuskan untuk menjaga kamu'.
"Assalamualaikum, bun," salam Alya.
Diana yang sedang memasak di dapur pun terpaksa berhenti sebentar, untuk melihat ke depan.
"Waalaikumussalam, Ini siapa, nak?" Tanya Diana kepada Alya saat melihat pria di sebelah anaknya. Wajar saja, karena Diana tau bahwa anaknya tidak memiliki teman apalagi pacar.
"Kita masuk dulu ya, bun, di dalam Alya jelasin," ujar Alya seraya mengajak Lian untuk masuk.
Dengan raut bingung, Diana menyetujuinya saja.
Sesampainya di dalam Alya menjelaskan apa yang telah Lian jelaskan tadi kepadanya.
"Terimakasih, ya, nak," ucap Diana tersenyum. Ia sangat senang, sekarang anaknya memiliki teman.
Lian mengangguk dan tersenyum. "Ya ampun, bunda tadi lagi masak," ucap Diana seraya berdiri untuk kembali ke dapur.
Sedangkan Lian dan Alya hanya menggeleng saja melihat bundanya.
"Kapan-kapan main ke rumahku ku, ya," ajak Lian.
"Siyap!" Ujar Alya dengan semangat.
Ntah kenapa, saat bersama Lian ia bisa menjadi dirinya sendiri. Padahal baru saja ia mengenal Lian tapi ia tidak bersikap cuek sama sekali seperti yang selalu ia lakukan kepada orang lain.
"Al! Lian! Makan dulu yuk, sini," teriak Diana dari arah dapur.
Alya dan Lian segera berdiri dan berjalan ke arah dapur. "Sini makan dulu," ajak Diana saat Alya dan Lian telah tiba di dapur.
Alya dan Lian mengangguk dan langsung duduk.
Mereka menikmati makan siang dengan canda tawa, padahal baru saja mereka kenal tapi sudah serasa lama saking akrabnya. Tidak ada rasa canggung sama sekali.
Setelah makan, Alya dan Lian menuju keluar untuk duduk di depan rumah Alya.
"Al, jangan pernah merasa sendiri lagi," ujar Lian tersenyum tulus.
Alya mengangguk, "Tidak akan, karena sudah ada kamu sebagai teman ku," ucap Alya.
Lian mengangguk, "Aku pulang dulu ya, Al, soalnya nenek di rumah sendirian," jelas Lian. Yang dianggukkan oleh Alya. Lian berjalan ke dalam rumah Alya untuk pamit sama Diana.
"Bun, Lian pamit pulang, ya," pamit Lian seraya menyalami tangan Diana. Yah, Lian memanggil Diana sebutan bunda, karena ia tidak memiliki orang tua lagi, ia hanya tinggal berdua dengan neneknya.
Diana mengangguk dan berkata, "Sering-sering ke sini ya, nak."
Rasa senang yang dirasakan Diana sangat besar, selama ini ia merasa bersalah karena keadaannya anaknya tidak memiliki teman. Diana selalu saja menyalahkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya Seyhira
Teen FictionGadis remaja yang seharusnya bergelut dengan masa remajanya, bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Dia dihindari oleh semua orang hanya karena keadaan bundanya yang tidak sempurna. Hingga dipertemukan dengan Ki...