10. Mellifluous | 4

120 18 4
                                    

Let me know if you're like or enjoy the story by vote and comment, okay? ;)
 





"Kau belum dijemput, Woori-ya?"

"Eung! Hari ini appa tidak bisa menjemput Woori. Bu Hani bilang Woori harus menunggu di dalam sampai samcheon datang" ujar anak perempuan yang berusia tiga tahun tersebut menjelaskan panjang lebar.

"Kalau begitu, mau tidak ssaem bacakan buku cerita untuk Woori?" Anak perempuan tersebut terlihat mengantuk, jadi Rumi menawarkan padanya agar ia bisa tertidur.

"Mau mau" angguknya cepat sembari mengambil buku favorit dari dalam tasnya. "Woori mau ssaem bacakan cerita ini" pintanya sambil menyodorkan sebuah buku bertuliskan Princess Mulan.

"Oke!"

Woori menyimak Rumi mendengarkan bacaan. Tak perlu waktu lama Woori terlelap di pangkuannya. Rumi mengelus-elus rambut Woori yang berkuncir dua. Dari luar jendela tampak seorang lelaki memperhatikan mereka berdua sedari tadi. Senyum sumringah tersungging di wajahnya.

"Woori-ya? Ups!"

"Dia tertidur" ucap Rumi pada rekan kerjanya.

"Pamannya sudah menjemput. Kau juga akan bekerja bukan?"

"Tidak apa-apa. Biar aku yang mengantar Woori ke pamannya. Sekalian aku juga mau keluar." Rumi menggendong Woori dan menyandang tasnya menuju pintu keluar. Ia tampak terkejut melihat lelaki yang menunggu Woori diluar sana.

"Wonwoo-ya? Kau pamannya Woori?" tanya Rumi ragu.

Wonwoo mengangguk. "Iya, dia anak sepupuku. Bisa berikan Woori padaku?" Rumi lalu memindahkan Woori dari gendongannya ke Wonwoo.

"Terimakasih sudah menemani Woori sampai aku datang" ucap Wonwoo.

"Tidak apa-apa. Sudah menjadi tugasku."

Wonwoo melirik jam dinding. "Masih ada waktu. Sebagai bentuk terimakasihku, bagaimana kalau aku traktir makan malam?"

"Ehm..." Rumi terlihat ragu. Batinnya menginginkan, tapi apakah tidak apa-apa? Ia takut nantinya ketahuan.

Seakan mengerti, Wonwoo melanjutkan "Tidak apa-apa. Aku akan menghubungi manager Na. Kau tidak usah khawatir."

"Baiklah."

Setelah mengantar Woori ke rumah orangtuanya, Wonwoo memarkirkan mobilnya disebuah apartemen mewah di Gangnam. Rumi terlihat kebingungan namun tetap mengikuti Wonwoo. Barangkali Wonwoo meninggalkan sesuatu disini.

"Ayo masuk!" Wonwoo menyuruh Rumi yang tengah melongo dan tambah kebingungan.

"B-bukannya kita akan makan malam, Wonwoo-ya?" tanya Rumi pada Wonwoo yang tengah memencet tombol tahan pada lift.

"Iya. Aku akan memasakkan makan malam untukmu" jelasnya.

"Nde?"

Tangan Wonwoo mulai bekerja. Menu makan malam sederhana kali ini ialah sphagetti oglio olio. Rumi awalnya menawarkan bantuan pada Wonwoo, akan tetapi Wonwoo menolak dan menyuruhnya menunggu saja di balkon apartemennya. Akhirnya ia duduk disini sembari memperhatikan pemandangan kerlap kerlip lampu kota dan langit yang mulai menjingga.

"Bagaimana rasanya?" tanya Wonwoo penasaran.

"Enak!" jawab Rumi yang menikmati masakan Wonwoo. Ini sangat baik dibandingkan masakan Wonwoo lima tahun lalu saat perlombaan fakultas itu.

"Lebih baik dari lima tahun yang lalu bukan?" tanya Wonwoo kembali. Rumi tersedak mendengar pertanyaan Wonwoo. Bagaimana mereka begitu se-frekuensi memikirkan hal yang sama? Rumi membalas dengan anggukan kecil.

Wonwoo tersenyum tipis dan melanjutkan "Aku tak tahu kau bekerja disana."

"Ya. Tak banyak yang tahu" singkat Rumi.

"Apakah kau menyukai anak kecil?"

"Begitulah. Aku senang dengan anak-anak." Jawaban Rumi membuat Wonwoo tersenyum puas diseberang meja.

hening sesaat

"Kalau boleh tahu, kenapa kau bekerja disana? Sepengetahuanku, bayaran melf cukup menyejahterakan" tanya Wonwoo hati-hati.

"Ingin bekerja saja seperti orang normal pada umumnya" jawab Rumi sarkas. Sebenarnya tak ingin itu terlontar dari mulutnya. Akan tetapi, ia tak bisa membohongi dirinya sedikit terluka dengan pernyataan Wonwoo.

"Ah, maaf jika aku menyinggung perasaanmu" Wonwoo yang peka segera meminta maaf atas perbuatannya.

"Tidak. Kurasa itu wajar menjadi pertanyaan bagimu" -Rumi tersenyum agar menghindari kecanggungan- " lagian aku juga sudah bercerita padamu. Kau saja yang tak ingat karena tertidur" ejek Rumi.

"Hmm sepertinya hanya bagian itu saja yang aku lupakan. Lainnya tidak" ujar Wonwoo percaya diri.

"Begitukah? Aku tidak yakin." Rumi ingin mencoba mengetes sejauh mana Wonwoo mengingat dongeng tentang dirinya.

"Aku ingat bagaimana kau tinggal di asrama, mencoba berkenalan dengan teman-teman kuliahmu, mengenai dirimu yang kesulitan mendapat pekerjaan memutuskan untuk bekerja sebagai seorang melf dan ... impian masa depanmu."

Rumi menghentikan pergerakan sendok dan garpunya. Tak ingin berlarut terbawa perasaannya, ia menepis dengan berkata "Ingatanmu bagus, Wonwoo-ya."

"Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya kita bertemu diluar bar." Wonwoo mengalihkan pembicaraan.

"Benar" angguk Rumi mengiyakan. "Kau tinggal sendirian?" lanjut Rumi.

"Iya. Kalau aku tak sendirian, mana mungkin aku mengajakmu kemari."

"Siapa tahu kau memiliki banyak tempat tinggal."

"Hahaha. Untuk apa seorang pria lajang memiliki banyak tempat tinggal? Lebih baik aku menginvestasikannya menjadi lembar saham" ujar Wonwoo seperti mempertegas statusnya.

"Baiklah tuan tidur yang kaya. Aku doakan semoga kau cepat menemukan pendamping hidup agar tak menjadi perjaka tua."

"Kurasa aku tidak akan menjadi perjaka tua karena aku sudah menemukan orang yang tepat" ujar Wonwoo percaya diri.

"Oh, baguslah kalau begitu" Rumi tak ambil pusing dengan jawaban Wonwoo dan memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. Lebih tepatnya ia cemburu.

"Kau tak penasaran kenapa?" Wonwoo melipat kedua tangannya didada.

"Ya siapa juga yang tidak mau menjadi istri dari seorang Jeon Wonwoo yang tampan, ramah, baik, kaya dan pengusaha game sukses-" Oh tidak! Barusan itu terdengar seperti pengakuan dan keceplosan.

Wonwoo menaikkan satu alisnya dan tubuhnya bergerak mendekat ke meja makan. Sepertinya pernyataan Rumi barusan menarik perhatiannya.

"Kau... menyelidikiku?" tanya Wonwoo.

"T-tidak. Aku hanya melihat sekilas profilmu di berkas manager Na" jawab Rumi berbohong.

"Begitukah? Yah bocor dong informasi pribadiku" ujarnya merasa tak adil.

"Hanya itu yang ku tahu. Kau tak perlu khawatir. Aku juga bakalan tutup mulut" tukas Rumi merasa tak enak.

"Astaga sudah jam segini! Aku harus pergi Wonwoo-ya. Terimakasih untuk makan malamnya." Rumi bangkit dari kursinya dan mengambil tas.

Saat ia ingin membuka pintu, tangan Wonwoo mencegat dirinya. Rumi pun menoleh.

"Bisakah kau tidak pergi dan tetap disini?" pinta Wonwoo memelas.

Rumi berdiri tegap dan melepaskan genggaman Wonwoo dari tangannya, kemudian tersenyum.

"Jeon Wonwoo. Aku seorang melf dan ini pekerjaanku" tutur Rumi.

"Tolong jangan memintaku seperti itu, okay? Kita tidak lebih dari hubungan pelayan dan pelanggan" tegas Rumi memperjelas situasi. Ia pun pamit dan meninggalkan Wonwoo yang gusar.

~tbc

WonwooPhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang