Part 1

3.7K 96 5
                                    

Aku tidak pernah ingin balas dendam pada mas Arman, tapi aku selalu berharap, dia sadar, akulah yang paling mengerti dia, akulah satu-satunya wanita yang mau menemaninya dikala susah. Sekarang dia buktikan sendiri. Hanya aku yang mau menemaninya di gubuk derita.

Semua bermula sejak dua tahun silam. Saat kehamilanku masih berusia hitungan minggu, aku melihat ada yang berubah dengan Mas Arman. Sudah beberapa kali dia tidak pulang ke rumah, alasannya karena ke luar kota untuk urusan bisnis. Sejak dia salah sebut namaku, entah mengapa aku selalu meragukan alasannya tidak pulang. Istri mana yang tidak curiga pada suaminya tatkala suami salah sebut namanya. Masih lekat dalam ingatanku, malam itu, saat makan malam, dia memanggilku dengan sebutan 'May'.

Saat aku mencoba mengklarifikasi,
Ia tampak gugup, namun ia berusaha tetap tenang. "Eh, maksudku ...'Nay' ... hari ini aku lelah sekali, sampai sampai lidah terpeleset nyebut nama istri sendiri. Ya sudah, kamu terusin makannya, aku ke kamar duluan, ya." ujarnya sambil beranjak tanpa menunggu jawabanku.

Aku tidak ingin memperpanjang masalah itu, karena Mas Arman juga sudah pergi ke kamar, meninggalkanku sendiri di meja makan. Apa aku salah jika curiga ada wanita lain di hatinya? May? Jujur, aku sangat penasaran dengan nama itu.

Malam itu, aku duduk sendiri di sofa depan tivi. Bian sudah tidur di kamarnya, sedangkan Mas Arman belum pulang dari kantor. Mataku bolak-balik melirik ponsel di meja. Berharap ada panggilan masuk darinya. Di luar hujan masih turun dengan deras. Satu sisi aku mengkhawatirkan keselamatannya kalau-kalau dia kenapa-napa di jalan. Sisi lain, aku cemburu. Aku curiga dia bersama wanita lain.

Ya Tuhan. Ampunkan aku jika suuzon pada suamiku. Tolong jaga dia di luar sana. Tapi jika kecurigaanku benar adanya, kumohon tunjukkan padaku. Sesunguhnya Engaku Yang Maha Mengetahui.

Seuntai doa terucap dalam hati, tatkala petir mengelegar di luar sana. Aku beranjak menuju kaca jendela, mengintip dari sela-sela gorden, berharap sebuah keajaiban datang dengan munculnya mobil Mas Arman. Tapi semua hanya tinggal harapan. Lima menit aku berdiri di depan jendela, mobil Mas Arman tak kunjung tiba.

Aku kembali duduk di sofa dan meraih ponsel. Kali ini, aku benar-benar mengkhawatikannya. Aku segera mencari namanya di layar kaca lalu menekan tombol panggil. Tapi tulalit, ponsel Mas Arman tidak bisa dihubungi.

Aku berinisiatif menghubungi Reno, manager yang dulu kuangkat untuk menggantikanku membantu pekerjaan Mas Arman. Aku berharap dia tahu di mana Mas Arman berada.

"Halo, Reno. Maaf malam begini menghubungi kamu."

"Tidak apa-apa, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"

"Mas Arman belum pulang, aku coba menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Apa kamu tahu, Mas Arman lagi dimana?"

Hening.

"Halo, Reno? Kamu masih di sana?"

"Oh, iya, Bu! Maaf, jaringannya sedikit terganggu."

"Apa di sana juga hujan?"

"Iya. Di sini hujan deras. Maaf, Bu. Sepertinya Pak Arman ke Bandung. Katanya ada pertemuan dengan investor."

"Memangnya Mas Arman ada rencana buka cabang di sana?"

"Sepertinya begitu, bu!"

"Ow, ya sudah. Terima kasih ya, Ren. Maaf sudah ganggu waktu istirahat kamu. Assalammualaikum," ujarku sembari mengakhiri percakapan.

Sesaat aku termangu menatap langit-langit rumah. Aku kembali menghubungi ponsel Mas Arman. Kali ini panggilanku tersambung.

"Assalammualaikum, Mas Arman, kamu dimana?"

"Waalaikum salam. Aku lagi di Bandung, Nay. Ada investor yang tertarik menanamkan modal di restoran kita. Sinyal di sini jelek, sudah dulu, ya."

Belum sempat aku menyahut, telphon terputus. Saat aku mencoba menghubungi kembali, telphon Mas Arman sudah tidak aktif. Mungkin benar, sinyal sedang jelek. Sebab di sini pun hujan cukup deras. Aku sedikit tenang karena sudah mengetahui Mas Arman baik-baik saja di luar sana.

Aku berjalan menuju kamar, walau belum mengantuk, aku akan mencoba berbaring dan memejamkan mata. Untungnya kehamilanku kali ini tidak terlalu payah. Aku masih bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya pagi hari saja perutku sedikit mual karena mencium bau masakan.

****

"Ma, papa mana?" tanya Bian saat sarapan di meja makan.

"Papa sedang ke luar kota, Sayang, cari duit buat kita."

"Pulangnya kapan, Ma?"

"Mungkin nanti sore. Ayo, lekas habiskan sarapannya, biar nggak terlambat masuk sekolah."

"Baik, Ma."

Aku tersenyum dan mengusap kepalanya, saat melihat ia mempercepat mengunyah makanan di mulutnya.

Usai sarapan, aku segera mengambil kunci mobil dan mengantar Bian ke sekolah yang tidak terlalu jauh dari komplek. Setelah mengantar Bian aku tidak langsung pulang. Aku ingin ke restoran milik kami. Sudah lama aku tidak main ke sana. Karena jalanan cukup lancar, tiga puluh menit kemudian, aku tiba di restoran. Beberapa karyawan yang berpapasan denganku menunduk memberi hormat. Aku melempar senyum kecil membalas hormat mereka dan bergegas menuju ruangan Mas Arman-suamiku.

Tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu. Ruangan itu sepi. Aku duduk di kursi hitam di belakang meja. Mataku menatap sekeliling. Lukisan bunga kesayanganku, masih tergantung di tempatnya. Sofa merah kombinasi hitam, masih berada di posisi sama seperti dulu, saat aku masih ikut mengurus bisnis restoran ini.

Aku membuka laci meja, tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin melihat isinya saja. Di dalam, aku menemukan sebuah kotak kecil terbalut kado. Aku meraihnya. Jemariku memutar mutar kado itu. Mungkinkah ini kado untukku? Mengingat minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke tujuh. Mungkin Mas Arman sudah menyiapkan kado untukku. Aku tersenyum dan mengembalikan kado itu ke tempatnya. Sejenak aku berpikir membelikannya parfum sebagai kado pernikahan kami.

Kulirik jam di dinding, jarumnya menunjuk pukul sepuluh. Bergegas aku neninggalkan restoran untuk menjemput Bian. Jalanan masih lancar seperti tadi, sehingga aku sampai di sekolah tepat waktu.

Sepulang sekolah, Bian minta diajak ke rumah Eyangnya-orangtuaku. Aku segera melacu mobil meninggalkan sekolahan. Jarak tempuh rumah orangtuaku cukup jauh, satu jam perjalanan baru kami tiba di tujuan.

"E, ada Bian. Cucu eyang uti datang. Sini, masuk!" mama tergopoh-gopoh mendekati kami.

Aku menciun punggung tangannya. Begitupun Bian. Kemudian kami masuk ke dalam rumah. Papa sedang sibuk mengurus burung peliharaannya di belakang rumah. Bian segera bermain dengannya.

"Arman tidak ikut, Nay?" tanya mama, sembari meletakkan tas Bian di sofa.

"Mas Arman sedang ke Bandung, Ma. Ada urusan bisnis katanya."

"Apa kalian ingin buka cabang restoran di sana?"

"Sepertinya begitu, Ma," jawabku ragu, sebab aku tidak tahu kepastiaanya. Mas Arman belum pernah bercerita tentang rencananya buka cabang di Bandung.

"Kok, sepertinya?"

Sesaat aku menatap wajah mama, aku berusaha menahan diri untuk tidak menceritakan kecurigaanku pada Mas Arman. Lagi pula, itu masih prasangka.

"Soalnya masih belum dapat tempat Ma. Kalau dapat lokasi yang cocok, mungkin jadi buka cabang di sana,"

"Ow, gitu. Mama doakan semoga Nak Arman dapat lokasi yang cocok di sana."

"Aamiin. Nay titip Bian sebentar ya, Ma. Nay mau cari kado pernikahan buat Mas Arman."

"Iya, tidak apa-apa. Lagi pula besok libur, kan? Biar Bian nginap di sini saja. Kalau kamu mau ke Bandung nyusul Arman, pergi saja. Siapa tahu, kamu bisa membantu Nak Arman mencari lokasi untuk cabang restoran kalian yang baru."

Tergoda Setelah Kaya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang