Sontak aku berdiri mendengar ancaman ayah mertuaku. Dadaku bergegemuruh, darahku berdesir. Aku berjalan ke halaman belakang, meninggalakan Maya di meja makan.
"Maaf, yah. Tolong jangan bicara seperti itu pada saya! Saya tidak mentelantarkan Nayla. Saya tidak pernah berniat memulangkannya."
"Pulangkan saja pada kami, tidak Apa-apa, dari pada dia menderita. Aku tidak rela melihat putri kesayangnku menangis!" suara ayah terdengar bergetar.
"Tidak, Yah! Saya tidak akan menceraikan Nayla! Saya masih mincintainya!"
"Berikan saja cintamu pada istri mudamu itu!"
"Yah! Dengar dulu, halooo, yah!"
Ayah mertuaku mematikan telphonnya tanpa memberi salam. Akh, orangtua macam apa itu? Bukannya membantu agar anaknya berlapang dada menerima keadaan, malah memperkeruh suasana. Kesal sekali aku di buatnya.
Baru saja aku ingin berbalik, Maya merangkulku dari belakang. Emosiku yang sempat naik, kini kembali reda. Walau baru dua hari menjadi istriku, tapi Maya sangat memahamiku.
"Sudah, Mas. Jangan marah-marah. Nanti lekas tua, loh!" candanya berbisik ke telingaku.
"Aku tidak marah, cuma kesal saja diancam seperti itu?"
"Memangnya ayah mbak Nay, ngancam apa?"
"Dia bilang kalau sudah bosan pada putrinya, pulangkan saja! Omongan macam apa itu?"
Maya melepas pelukannya dan bergeser kedepanku, kini dia memelukku dari depan, "Sssttt," bisiknya, sembari meletakkan jemari telunjuknnya menempel di bibirku.
"Jangan emosi, Mas. Aku tidak mau kamu kenapa-napa karena masalah sepele seperti ini. Ingat, sekarang istrimu ada dua. Jadi jangan habiskan tenagamu untuk mereka semua, sisakan untukku walau sedikit. Jika Mbak Nay dan keluarganya membuatmu pusing, kan, ada aku, berbagilah denganku. Aku akan membantu meringankan beban hidupmu. Kamu yang sabar, ya, Mas." jemarinya menguak lembut helaian rambutku, menenangkan kembali hatiku yang gusar. Perlahan, dia menarikku ke kamar, senyumnya terlihat nakal. Sebuah nyanyian telaga surga dunia, kembali kami selami bersama.
Maya sedikit berbeda dari Nayla, dia lebih agresif, dan itu membuatku selalu bergairah. Kalian jangan salah paham! Aku tidak membandingkan Maya dengan Nayla yang sekarang, tapi aku membandingkan Maya dengan Nayla yang dulu, saat kami masih menjadi pengantin baru. Jika aku tidak memulainya duluan, Nay hanya diam dan menunggu sambil tersipu malu, padahal aku ingin dia lebih agresif. Dan, untungnya sekarang aku mendapatkan istri seperti yang kuinginkan. Jadi aku tidak akan menuntut hal itu lagi dari Nay, karena sudah kudapatkan dari Maya. Aku mengerti Nay memang bukan tipe wanita agresif.
"Sayang, sudah, sore. Aku pulang dulu ya. Aku harus ke rumah sakit melihat keadaan Nay, kakak kumu."
"Aku ikut ya, Mas? Aku ingin bicara pada mbak Nay, aku ingin minta maaf padanya. Aku rela mencium kakinya asal dia mau menerimaku sebagai adiknya."
Nah, kalian dengarkan? Jadi aku tidak salah memilih adik untuk Nayla bukan? Jika dia ingin mengambilku dari Nayla, mana mungkin dia mau menciun kakinya. Sejak pertama melihatnya, aku yakin Maya dan Nayla akan menjadi kakak adik yang saling menguatkan. Mereka bisa berbagi tugas saling melengkapi. Nayla mengurus anak-anak dan keperluan rumah tangga, sedangkan Maya menemaniku mengurus bisnis. Oh, indahnya rumahtangga kami. Aku akan berusaha mewujudkan mimpiku itu, mimpi memiliki keluarga yang sakinah mawardah warohmah.
Aku membelai wajah ayu di depanku, lesung pipinya selalu mampu menggetarkan jiwaku. "Sayang, kamu nggak perlu mencium kaki Nayla. Cukup jangan membantahnya, aku sudah akan sangat berterima kasih. Sekarang aku tahu, kamu tidak hanya cantik di luar, tapi juga cantik di dalam. Aku merasa menjadi laki-laki yang paling beruntung memiliki kamu."
"Gombal!" bantahnya, mencubit hidungku, pelan.
"Gombalin kamu itu pahala!" ucapku membalas mencubit hidungnya sembari merangkulnya, ingin sekali kugigit pipinya yang memerah. Belum pernah aku merasa sebahagia ini. Hampir delapan tahun pernikahanku dengan Nayla, baru kali ini aku benar-benar merasa hidup bergairah.
Maya menggenggam erat jemariku, seolah enggan melepasnya. Sejujurnya, aku pun tidak ingin pergi, aku masih ingin di sini bersamanya, menikmati bulan madu kami yang tertunda. Untung Maya tidak banyak protes walau jatah bulan madunya terganggu. Coba kalau dia protes, bisa kubayangkan betapa pusingnya kepalaku. Itulah salah satu yang membuatku makin cinta pada Maya. Dia tidak pernah mau membuatku susah.
Maya mengantarku sampai ke depan pintu, tangannya masih terus merangkul pinggangku. Sebenarnya aku tidak tega pada Maya harus meninggalkannya di sini karena urusan rumahtanggaku dengan Nay. Tapi aku juga tidak enak pada Nay yang masih terbaring di rumah sakit. Membawa Maya ikut membesuk, pasti itu bukan pilihan. Aku rasa ini bukan saat yang tepat mendekatkan keduanya.
Setelah mengecup keningnya, aku melacu mobilku menuju rumah sakit. Di jalan, aku membeli setangkai bunga mawar kesukaan Nay. Biasanya, jika kami sedang bertengkar, saat pulang kantor, aku akan membawakannya setangkai mawar merah. Dengan sedikit pujian, biasanya, dia akan luluh kembali dan mau berbaikan.
Aku membuka pintu tempat Nay di rawat. Tapi kosong. Tidak ada siapapun disana. Bergegas aku menemui suster yang sedang berjaga. Dari keterangan mereka aku tahu, Nay sudah pulang satu jam yang lalu. Setelah mengucap terima kasih, aku segera kembali ke parkiran. Ponselku terus menghubungi nomer telphon Nay, tapi tidak di angkat.
Sore ini, jalanan padat merayap. Aku menekan klakson, berharap kendaraan yang berada di depan berjalan lebih cepat. Aku ingin segera tiba di rumah, agar Nay tidak berpikir aku mengabaikannya, padahal jalanan macet ini yang menahanku.
Bik Suri, pembantu yang bekerja di rumah, membukakan pintu gerbang. Perasaanku tidak enak, sebab tidak melihat mobil mertuaku di halaman. Atau jangan-jangan mereka tidak pulang ke rumah ini?
"Bik, bu Nay, belum pulang?" tanyaku saat turun dari mobil.
"Brlum, pak! Memangnya Pak Arman, tidak ikut jagain ibu di rumah sakit?"
Mataku membulat mendengar pertanyaannya. Sok tahu banget sih, lagi pula apa haknya ikut campur urusanku? Belum sempat aku berkata apa pun, dia tampak ketakutan dan bergegas kembali ke dalam.
Tanpa buang waktu lebih lama lagi, aku melacu mobil menuju rumah mertuaku. Aku harus membawa pulang Nay dan Bian. Aku tidak peduli sekeras apa ayah berbicara padaku nanti, aku akan bertahan dan membawa keluargaku kembali ke rumah.
"Assalammualaikum," ucapku memasuki rumah.
"Ngapain kamu datang ke sini?" ayah menghadangku saat memasuki rumah.
"Yah, saya ingin membawa pulang istri dan anak saya?"
"Tidak perlu, kalau hanya untuk kau sakiti hatinya. Urus saja surat perceraian kalian, pulangkan Nayla pada kami. Kami akan menerimanya dengan senang hati. Kami masih sanggup menanggung hidupnya dan juga Bian."
"Tidak, yah. Apa pun yang terjadi saya tidak akan menceraikan Nayla. Saya masih mencintainya. Saya berjanji, yah. Walau pun saya menikah lagi, tapi saya tidak akan menyia-nyiakan Nayla."
"Bulsit! Buktinya, dia terbaring di rumah sakit, kau tidak peduli padanya!"
"Itu karena ayah melarang saya menjaganya!"
"Kalau begitu, sekarang aku juga melarangmu menemuinya, pergi, dari sini!"
"Papa, ..." teriak Bian berlari mengejarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tergoda Setelah Kaya
RomanceNayla tidak pernah menduga, Arman suaminya tega berselingkuh Di belakangnya, setelah apa yang sudah mereka lalui bersama. Pahitnya kehudupan di awal pernikahan, mampu mereka lewati bersama. Senyum dan pelukan, selalu hangat menghiasi hari-hari merek...