Pov Nayla
Hari itu aku resmi menyandang status janda anak satu. Jujur, sampai detik-detik terakhir sebelum hakim mengetuk palu, aku masih berharap mas Arman berubah pikiran. Tapi sepertinya dia benar-benar sedang mabuk kepayang pada Maya. Aku menarik napas dalam melihatnya menanda tangani surat perceraian itu tanpa beban, sedangkan aku berurai air mata.
Resmi sudah kami berpisah, aku harus bertanggung jawab pada hidupku sendiri, mengambil keputusan sendiri dan melangkah menatap masa depanku sendiri.
Masih lekat dalam ingatanku, saat menjalani poligami. Mas Arman menyuruhku mengurus Bian, dan Agny-bayinya yang lahir dari rahim Maya. Aku juga harus mengurus keperluan rumah tangga Maya, membayarkan listrik, air dan segala tagihan rumah. Kata mas Arman, agar semua terlihat transfaran dan tidak ada kecemburuan diantara kami. Aku tidak hanya belanja bulanan untuk keperluan rumah tanggaku, tapi juga untuk rumah Maya. Setiap pagi hingga sore, Agny dititipkan padaku sampai Maya dan mas Arman pulang dari kantor. Aku tak ubahnya bagai pengasuh anak mereka yang digaji setiap bulan.
Mas Arman lupa, akulah yang memulai usaha restoran itu dengan julan berkeliling menggunakan sepeda. Semua keuntungan kutabung untuk menyewa warung dipinggir jalan. Siapa sangka hanya tiga bulan, warung itu ramai pengunjung. Hingga akhirnya mas Arman berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Kami bahu membahu membesarkan warung, hingga akhirnya kami mendapat suntikan dana untuk membuka sebuah restoran.
Awal-awal bercerai, aku kembali ke rumah orang tuaku sambil mencari pekerjaan. Rumah yang sudah empat tahun kutempati, terpaksa dijual untuk pembagian harta gono-gini. Pasca bercerai aku mencoba kembali membuka usaha restoran seperti dulu, hanya saja, sekarang tanpa mas Arman. Aku harus memutuskan sendiri langkah-langkah yang akan kutempuh. Semua uang hasil pembagian harta gono-gini milikku, kuhabiskan untuk membuka restoran baru. Tapi sayang, baru berjalan enam bulan restoran itu bangkrut. Aku tidak sanggup membayar karyawan dan juga sewa gedung.
Rezeki memang sudah di gariskan oleh Tuhan dari arah yang tidak pernah disangka-sangka. Sepertinya rezekiku bukan dari restoran tapi dari usaha lain. Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku aku akan berada di posisi ini. Aku sangat bersyukur, bulan depan aku akan membawa papa, mama, dan Bian berangkat umroh dan mengunjungi beberapa tempat wisata di Turki. Andaikan mas Arman masih ada di tengah-tengah kami, mungkin kebahagiaan ini akan terasa sempurna. Walau kenangan pahit itu tak bisa lenyap dari kepalaku.
Masih lekat dalam ingatanku saat menceritakan pada mama tentang mas Arman yang kawin lagi, aku pingsan di teras belang. Aku tak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Aku tidak berani membayangkan hari-hari yang harus kulewati bersama maduku. Setelah sadar dari pingsan, papa membwaku pulang ke rumahnya. Menurut papa, mas Arman sedang bersama istri mudanya.
Sore itu, mas Arman datang menyusul ke rumah papa. Aku mengejar Bian yang berlari ke luar kamar mendengar suara papanya.
“Bian!” teriakku. Langkahku terhenti melihat mas Arman juga setengah berlari mengejar Bian. Mata kami saling bertaut. Aku berpaling, air mataku kembali tumpah tak terbendung. Aku tidak mengerti, sejak bercerita pada mama, hatiku semakin sakit. Rasanya sulit sekali menerima kenyataan ini.
“Nay, ayo kita pulang!” ajak mas Arman menarik tanganku.
Aku menatapnya sendu, sebagai istri, aku tidak ingin membantahnya. Sesaat aku melirik papa yang menatapku dan mas Arman bergantian.
“Pa, Nay, pamit pulang, ya!” ucapku menunduk, mengharap keikhlasan hatinya.
“Nay, papa tidak akan menghalangi kamu jika ingin kembali bersama suamimu. Tapi jangan pernah ragu untuk pulang ke rumah ini kapan pun kamu mau,” aku mengangguk, kutoleh mama yang mematung di depan pintu kamar. Aku mencium punggung tangan mereka bergantian, Bian mengikutiku mencium kedua tangan eyangnya. Tapi saat mas Arman juga menjulurkan tangannya, mereka menolak. Keduanya terlihat masih kesal.
“Kemana saja kamu seharian, Mas?” tanyaku setibanya kami di rumah. “Apa kamu pergi menemui istri mudamu itu?”
“Papa melarangku di dekatmu, aku tidak ingin ribut dengannya. Makanya aku pergi. Saat aku kembali ke rumah sakit, kamar sudah kosong!”
“Jawab saja pertanyaanku, Mas!” mataku membulat menatapnya, dia tampak gugup. “Kamu pergi menemui dia?”
“Nay, dia juga istriku. Aku hanya mengunjunginya sebentar.”
“Sebebtar katamu, Mas? Di saat aku terbaring tak berdaya, sempat-sempatnya kamu memikirkan dia?” Aku setengah berlari ke kamar membanting pintu dengan kencang, lalu menguncinya dari dalam. Kuhempaskan tubuh ke Kasur. Hatiku kembali terluka bagai di sayat-sayat. Air mataku tumpah membanjiri bantal.
“Nay, buka pintunya! Bukankah saat di Bandung kemarin kita sudah berbaikan?” teriak mas Arman menggedor pintu, memaksaku membukanya. “Apa mama dan papamu yang membuat kamu berubah lagi seperti ini?”
Mendengar kata-kata itu, emosiku semakin meninggi. Ya Tuhan, dia benar-benar keterlaluan, tega-teganya dia menuduh orangtuaku sebagai penghasut. Aku tidak tahan lagi berdiam diri mendengar tuduhannya.
“Tega kamu, mas, menuduh orangtuakau penghasut! Mereka hanya ingin membela anaknya yang sedang di sakiti!” teriakku tidak teriama.
“Aku nggak nyakitin kamu, Nay! Justru aku ingin meringankan beban kamu sebagai istri. Kamu dan Maya bisa saling berbagi tugas untuk saling meringankan. Itulah salah satu hikmah dibalik poligami.”
Aku menangis mendengar kata-katanya, mas Arman sedikit pun tidak mau memahami perasaanku. Dia terus menuduhku tidak paham agama. Sampai akhirnya aku merasa apa yang diucapkannya itu benar, aku lah yang salah, karena pemahamanku yang sangat minim soal agama, sehingga tidak bisa menerima Maya sebagai adikku. Aku berusaha berdamai dengan hatiku, mencoba menjalani pernikahan babak baru yang ditawarkan mas Arman.
Selanjutnya rumah tangga kami kembali normal seperti semula. Mas Arman membagi waktunya dengan Adil, tiga hari di rumahku dan tiga hari di rumah Maya.
“Mas, sarapan dulu,” ajakku menuangkan nasinya. Satu minggu sudah berlalu sejak mas Arman menikah lagi, aku terus berjuang bertahan di sampingnya. Walau kerap kali air mataku menetes tanpa sebab.
“Terima kasi, Nay.” Dia duduk di kursi di sampingku.
Kami bertiga sarapan bersama, Bian duduk di sebelahku. Ia tampak lahap menghabiskan sarapnnya. Jika mas Arman sedang di rumah, maka dia lah yang mengantar Bian ke sekolah, sekalian lewat menuju kantornya.
Aku senang melihat mas Arman yang semakin semangat bekerja, mungkin dia sadar harus bekerja lebih keras karena sekarang memiliki dua dapur, pikirku. Sudah seminggu ini, dia selalu berangkat pagi, dan menawarkan diri mengantar Bian sekolah. Dulu, akulah yang bertugas mengantar jemput Bian.
Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke delapan. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya, membelikan kue ulang tahun dan sebuah kado. Pukul Sepuluh pagi, aku bergegas menjemput Bian pulang sekolah, setelah itu aku membawanya ke restoran pusat, tempat mas Arman berkantor.
Sesampainya di restoran, dadaku berdesir. Balon latex berwarna-warni menghiasai setiap sudut restoran, hiasan balon foil bertuliskan ‘HBD to you’ tertata rapi di pintu masuk kantor. Pintu kaca masuk, tertulis ‘close’. Dadaku berdesir melihat kejutan itu, jika pesta ini untuk ulang tahun pernikahan kami, kenapa mas Arman tidak menyuruhku datang? Buru-buru aku membuka ponsel, mungkin ada pesan singkat dari mas Arman yang terlewat. Nihil, tidak ada pesan apa-apa di sana.
Kugenggam tangan Bian kuat melangkah masuk ke restoran, perasaanku tidak enak. Aku mendorong pintu kaca yang ternyata tidak dikunci, sehingga aku bisa masuk ke dalam. Mataku terbelak saat membuka pintu penghubung antara restoran dan Kantor. Inikah yang dia sebut adil?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tergoda Setelah Kaya
RomanceNayla tidak pernah menduga, Arman suaminya tega berselingkuh Di belakangnya, setelah apa yang sudah mereka lalui bersama. Pahitnya kehudupan di awal pernikahan, mampu mereka lewati bersama. Senyum dan pelukan, selalu hangat menghiasi hari-hari merek...