Take Care

17 0 0
                                    

"Aku mencurahkan kata-kata berduri tanpa perasaan.
Kamu tau? Tak ada saat aku tak mencintaimu."

°
°
°

7 tahun yang lalu.

Sejak pertama kali Bintang melihatnya saat masa orientasi siswa. Pandangan Bintang tak bisa teralihkan. Menurut Bintang dia berbeda.

Bintang menghela napas, apakah salah jika Bintang bisa sekolah di SMA Merah Putih karena ia mendapat beasiswa?. Ia bukan anak bodoh, emang salah kalau ia mempunyai tekad untuk menjadi peringkat satu? Kenapa beberapa orang menjadikan itu suatu masalah?

Bintang berjalan di koridor sambil membawa tumpukan buku tugas milik teman kelasnya untuk ia kumpulkan di meja guru.

Bintang samar-samar mendengar suara tawa dari beberapa siswi. Bintang melirik sekilas. Ia terkejut sekaligus senang. Iya, ia senang karena mendengar tawa dari cewek itu.

"Eh awas" Teriak cewek itu, Senja. Sampai membuat Bintang tak sadar bahwa ada bola basket yang melayang ke arahnya.

Dukk..

Ia terkejut dan masih mencerna apa yang terjadi. Suara hantaman itu begitu keras tapi ia tidak merasakan apa-apa, ia justru terdorong ke depan dan hampir terhuyung namun untung saja ia masih bis menjaga keseimbangan tubuhnya sehingga tidak jatuh, hanya saja buku yang ia bawa terjun ke lantai dan berserakan.

"Aduh" Rintih seseorang. "Eh lo gak papa kan? Lain kali hati-hati." Ucapnya. Dia tersenyum? Pikiran Bintang menjadi kosong, ia tidak tau harus mengatakan apa. Ia terlalu gugup.

Ia tidak membalas ucapan Senja, ia memilih untuk memungut buku yang ia bawa. Diluar dugaannya, Senja ikut jongkok dan membantunya. Setelah selesai Bintang lantas berdiri dan menarik kasar buku yang ada di genggaman Senja.

Alih-alih bertanya bagaimana keadaan Senja, ia justru melontarkan kata-kata bernada ketus "Thanks, tapi gue gak butuh bantuan lo." Setelah itu Bintang kembali melangkah tanpa menatap Senja. "Gue bodoh." Rutuknya. "Maaf" Lirih Bintang.

Masih teringat jelas peristiwa waktu itu di dalam ingatan Bintang. Bintang menghela napas sambil menatap ke luar jendela. Kejadian tadi siang membuatnya gusar. Lagi-lagi ia tak bisa berkutik, bahkan sudah 7 tahun berlalu. Tapi, ia masih tak bisa mengendalikan kegugupannya saat bertemu dengan Senja. Dan sebaliknya, ia justru menampilkan ekspresi seakan ia tak suka dengan Senja.

"Maaf, saya sudah menyukai seseorang. "

"Ah, kalimat itu buat gue jadi gila. Sial!" Umpatnya. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

////

Pandanganku kosong, semua yang terjadi seperti mimpi. Bahkan aku belum bisa mempercayai semua ini. Aku juga tidak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Pak Maurel. Aku yang hanya staf biasa dan menurutku aku juga tidak cantik, tapi kenapa Pak Maurel bisa suka kepadaku? Bahkan menyatakan perasaannya secara terang-terangan.

Ah, rasanya aku ingin teriak. Aku mengusap ujung mataku yang berair. Semesta seakan sedang mengajaknya bermain. Gimana nanti kalau bertatap muka?

"Aiisshh" Desahku frustasi.

"Senja, kenapa?" Tanya Naya. Aku menengok untuk menatap Naya. Tempat duduknya bersebelahan denganku, hanya terdapat sekat sedikit.

"Hah? Gue gak papa kok." Jawabku. Aku berusaha untuk mengurai senyum agar Naya tidak curiga.

"Gimana tadi habis dari ruangan Pak Bos?"

"Eh, ya gitu lah." Jawabku singkat.

Naya menganggukan kepala "Mmm tapi lo gak kena semprot kan?"

"Gak kok, udah sana lo fokus kerja."

"Eh tapi kalau ada apa-apa cerita ke gue. Jangan dipendam sendiri. Nanti lo makin kurus, terus sakit gimana?"

"Iya Naya cerewet." Aku terkekeh. Beruntung sekali aku mendapat teman seperti Naya. Dia yang selalu peduli dengan keadaanku, meskipun terkadang aku cuek kepadanya.




Happy Independence Day 75th Indonesia. ❣️❣️❣️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang