《》
Angkasa Biru Ganesha.
Seorang pribadi kosong yang enggak merasa puas untuk terus mengisi diri. Pun begitu buta dengan kekosongan dirinya, tanpa tahu apa yang hilang dan apa yang harus ia isi untuk merasa penuh.
Merasa hidup.
Berbekal LPJ tahun lalu dan sedikit diskusi. Semalam suntuk, Asa mulai menyusun timeline yang perlu dikerjakan divisi humas naungannya. Mengedepankan tanggungjawab yang baru saja diemban. Meskipun ia terpilih secara dadakan ditambah dirinya terhitung dalam angkatan baru. Cowok itu ingin membuktikan kalau ia mampu menjadi koordinator divisi.Sekaligus sebagai ajang pemantapan kepada dirinya sendiri, bahwa keputusannya kali ini enggak akan berbuah kekecewaan. Ia ingin menghargai dan mengapresiasi usahanya.
Tanpa memberi waktu matanya untuk terpejam, Asa segera bersiap menjemput Nathea. Karena cewek itu harus mengikuti seleksi kepanitiaan, yang kebetulan berlokasi sama dengan tujuannya pagi ini.
"Mendingan kita minggir sebentar. Aku nggak tega liat raut kamu kusut kurang tidur gitu."
"Nggak usah, Nat."
"Minggir, Sa. Lagipula masih cukup kok waktunya." Sua Nathea sedikit jengah.
Mengalah, Asa mengarahkan kendaraan roda empat itu menuju kawasan Fakultas Kedokteran. Ia pikir akan lebih aman parkir di sana daripada berhenti di pinggir jalan.
"Nih, kamu tidur dulu aja. Lima belas menit lagi aku bangunin."
"Si sapi beneran lo tinggal di mobil gue?" Asa tertawa ringan melihat bantal berbentuk kepala sapi yang dilemparkan Nathea.
"Karena aku sering banget jagain mobil kamu, makanya ku tinggal. Cepet tidur."
Asa segera mengatur posisi nyaman untuk dirinya. Dirasa mengistirahatkan tubuh dan pikiran saat ini memang perlu sebelum terkuras kembali.
"Aku harusnya bisa pergi sendiri. Kamu nggak usah repot jemput."
Nathea lupa atau bagaimana? Untuk apa ia merasa bersalah padahal tujuan mereka sama. Hanya kepentingannya saja yang berbeda, kan.
"Tujuan lo sama gue sama kali, Nat. Udah deh jangan berisik. Lima belas menit gue sia-sia, nih."
Mengindahkan perkataan Asa, Nathea memilih sibuk dengan ponselnya. Ia memantau percakapan di grup divisi pilihannya. Kalau-kalau ada informasi mendadak.
"Nat..."
"Tidur, Sa."
"Lo ngapain, sih? Belum jadi panitia aja udah sibuk banget gayanya. Sarapan, yuk. Gue laper semaleman bikin timeline."
"Siapa suruh begadang sendirian tanpa makan dulu. Kamu itu kerja tim, Sa. Kamu mau sarapan apa? Biar aku beliin."
Niat Asa kan hanya ingin mengajak Nathea mencari sarapan. Memberi asupan untuk perut mereka yang mulai keroncongan. Kenapa justru omelan yang didapat, sih.
"Kepikiran makan juga enggak, Nat. Gue ikut aja. Habis sarapan, kita jalan ke EDS." Ujar Asa jutek.
"Galaknyaa...
Sa, kamu nggak kepikirian cari pacar gitu? Jadi ada yang selalu ingetin kamu, temenin kamu juga."
Asa terlonjak kaget. Nathea kenapa pagi-pagi sudah melantur begini. Memintanya cari pacar pula. Sejak kapan cewek itu mengurusi hal remeh.
"Ngaco omongan lo. Hal kayak gitu bukan yang gue butuh sekarang, Nat. Ada lo udah cukup untuk sekedar peduli dan ingetin gue."
"Tapi nggak seterusnya aku ada, Sa."
"Gue nggak mau bahas."
Kepala Asa seakan mau meledak. Lapar yang tadinya menjadi hal dominan kini hilang entah kemana. Ada apa sebenarnya sama cewek di sebelahnya ini.
Asa mengakui ada masa dimana ia dan Nathea akan pergi berkutat dengan jalan pilihan masing-masing. Sejauh ini, Asa juga nggak pernah mengekang apa pun untuk mengikat cewek itu dengan dirinya.
Ia sadar betul, kepedulian dan kekhawatiran saja enggak bisa jadi landasan kokoh untuk mengekang Nathea.Ia hanya seorang teman yang dianggap paling mengerti Nathea. Begitu pun sebaliknya. Jika diminta membayangkan saat ini juga. Tolong. Asa enggak siap, enggak tahu kehidupan seperti apa yang akan dirinya jalani tanpa Nathea.
"Terus kita jadi makan nggak, ya? Aku mulai laper ternyata habis dimarahin sama kamu."
"Yaudah, ayo. Nanti gue numpang pegangan ya, Nat. Takut oleng kalo masih ngantuk."
Nathea merasakan tangan besar yang menggenggamnya. Nathea selalu suka tangan itu. Hangat, selalu ada kapan pun Nathea membutuhkannya. Walau si pemiliknya menyebalkan.
Tanpa tangan itu juga si pemilik, Nathea nggak pernah tau akan jadi seperti apa ia sekarang.
--
Egois.
Sifat yang akan selalu ada dalam diri masing-masing orang. Sadar atau enggak, sangat terlihat atau malah sangat tersembunyi. Tergantung bagaimana si pribadi mengendalikan.
Arkharega Wira Aryasatya, memiliki ceritanya sendiri tentang si egois. Keegoisan seakan selaras dengan ambisi. Menjadi satu-satunya cara untuk Satya tetap merasa diakui, merasa bisa diandalkan. Yang kemudian membawanya kepada hidup yang lebih baik. Baik menurut dirinya, entah pandangan orang lain."Gue udah ngajuin lo bantuin komdis tahun ini."
"Lagi? Nggak kasian lo sama angkatan bawah. Ibarat kerja, nggak ada jenjang karirnya buat mereka."
"Buset. Satya nih yang ngomong sama gue? Kesambet apa lo bisa nolak komdis?"
Satya meneguk es teh dihadapannya hingga setengah tandas, "Bukan soal nolak atau enggaknya, Dra. Tapi angkatan bawah lebih perlu belajar."
"Nah! Itu salah satu maksud gue kenapa minta lo bantuin komdis. Cari tuh yang bakal gantiin lo ngurus komdis. Jangan nengokin BEM sama UFO aja, lo."
Padahal setiap tahun Satya berniat untuk mengurangi kegiatannya di kampus. Komdis menjadi salah satunya, menyusul BEM dan UFO. Memang merelakan apa yang sudah menjadi rutinitas itu sulit. Tapi mengingat ini adalah tahun terakhirnya, ia pun harus tahu hal apa yang menjadi prioritas. Skripsi dan wisuda sudah pasti jawabannya.
"Terakhir ya lo, awas tahun depan ngelunjak. Gue mau lulus bukan abadi kayak lo di kampus."
"Sialan. Kalo gitu nanti gue kasih jadwal kapan kita rabes perdana. Lo absen rabes aja, senior bebas."
"Nggak gitu juga cara mainnya, anjir. Gue minta data koor sampai anak komdis selesai lo seleksi."
"Gampang. Nanti lo tinggal terima beres, rapi itu data."
**
YOU ARE READING
Cerita Muda
FanfictionCita-cita sederhana masa muda berdampingan dengan luka yang dimiliki masing-masing, berpijak di tempat yang sama untuk tetap merasa hidup.