Gadis itu sibuk membolak balikan buku tebal yang ada di atas meja, mata monolidnya begitu fokus menatap deretan tulisan yang ada di dalamnya. Ia tak peduli dengan suasana kelas yang sangat bising karena ulah para sekelompok siswa di barisan paling belakang. Ia bukan siswa teladan, rajin dan populer, bukan juga siswa malas dan pembuat onar. Ia hanya siswa biasa, siswa standar yang tak pernah cari gara-gara dan orang yang tak ingin begitu dikenal. Yang terpenting dalam hidupnya adalah menjalani hari-hari sekolah dengan nyaman, tenang serta mendapatkan nilai yang cukup, setidaknya ia tak perlu mengikuti program perbaikan nilai nantinya.
Diliriknya jam dinding yang tepat berada di atas papan tulis, 10 menit lagi bel akan berbunyi. Namun sampai saat ini ia belum mendapati rekan semejanya, kursi di sampingnya masih belum berpenghuni.
"Auriga Pradipa Adhyastha...namanya asing banget" Gumamnya pelan ketika melihat kartu peserta ujian semester genap yang tertempel di ujung meja belum berpenghuni itu.
"Ara, temen semeja lo belom dateng juga ?" Tanya seorang siswa bernama Icha yang duduk di belakangnya.
"Belom Ca, lo kenal dia gak ? Namanya Auriga Pradipa Adhyastha." Jawab siswa yang dipanggil Ara itu.
"Eh kok asing banget sih"
"Masa lo gak kenal ? lo kan lambe turah Angkatan kita, dari kelas X-A sampe X-H hampir lo kenal semua"
"Seriusan gue gak kenal, malah baru denger namanya"
Tiba-tiba datang seorang siswa yang langsung mengisi tempat di samping Ara. Napasnya terengah-engah dan terlihat keringat yang menghiasi keningnya. Rambut dan seragamnya terlihat sangat berantakan, bahkan dasinya masih berada di dalam genggaman tangannya.
"Aga!" Pekik Icha cukup keras tepat di telinga siswa yang baru saja datang itu.
"Apasi anjir baru dateng udeh teriak-teriak aje, sakit kuping gue nih" Jawab siswa yang dipanggil Aga itu dengan wajah kesal sembari menutup telinga sebelah kirinya.
"Nama lengkap lo Auriga Pradipa Adhyastha ? itu beneran nama lo ?" Tanya Icha dengan penuh selidik, sedangkan Ara hanya menjadi penonton percakapan mereka berdua.
Ah Ara kenal dengan siswa yang kini duduk di sampingnya. Ternyata itu nama lengkapnya, Ara kenal dengan wajah siswa itu, siswa yang terkenal karena selalu membuat onar di kelas X-G yang tak pernah absen keluar-masuk ruang BK. Dulu ia pernah berada di satu kelompok yang sama saat orientasi masuk di SMA ini. Ara hanya tahu wajah dan nama panggilannya tapi tidak dengan nama lengkapnya, walaupun dulu mereka pernah berada dalam kelompok yang sama tapi mereka berdua tak pernah saling sapa karena masa orientasi yang terlalu singkat, hanya 3 hari. Aga juga sering terkena hukuman oleh anggota OSIS karena selalu datang terlambat dan tak pernah lengkap dalam membawa barang-barang yang diharuskan untuk dibawa.
"Iye emang nape ? cakep ya nama gue ?" Jawab Aga sambil cengengesan.
"Iya nama lo cakep banget beda sama kelakuan orangnya yang macem dakjal hahaha" Ledek Icha dengan wajah sumringah dan tertawa renyah.
"Sialan lo" Balas Aga sebal dan kini fokus memasang dasi seragamnya.
Icha melirik Ara dan berbisik, "Jangan ngarepin apa-apa dari manusia ini Ra, suram pokoknya". Icha terkikik geli dan kembali duduk di tempatnya.
Setiap ujian semester, penataan tempat duduk siswa akan di atur. Seperti hari ini dan sampai seminggu ke depan. Kelas X-C di gabung dengan X-G, Ara yang memiliki nama lengkap Auzora Casia Nandita berada di kelas X-C dengan nomor urut 4 akan semeja dengan siswa kelas X-G yang juga memiliki nomor urut 4 yaitu Auriga Pradipa Adhyastha.
Suasana ujian berlangsung dengan tenang, hanya terdengar suara lembaran kertas yang di bolak-balik oleh para siswa. Ada berbagai macam ekspresi, pusing karena tak bisa menjawab, senang karena berhasil menjawab dan kesal karena tak bisa mencontek sebab pengawas pada hari itu terus mondar-mandir mengelilingi kelas.
Ara mendesah lega karena berhasil menjawab semua pertanyaan dengan baik, ia tak menuntut untuk mendapat nilai sempurna dan tak ingin mendapat nilai rendah. Baginya nilai 7/8 sudahlah cukup, ia bukan orang yang penuh ambisi. Ia melihat jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul 08.40, yang artinya 20 menit lagi ujian Bahasa Indonesia di jam pertama ini akan segera berakhir. Setelah itu istirahat, kemudian di lanjut dengan ujian Pendidikan Agama di jam ke 2.
Ara merapikan lembar jawaban dan lembar soal di atas mejanya, lalu melirik Aga yang sejak tadi terus menyandarkan kepalanya di atas meja menggunakan kedua tangannya sebagai bantalan. Ara penasaran, apakah Aga benar-benar sudah menyelesaikan semuanya. Ia melirik lembar jawaban milik Aga dan matanya dibuat melotot sempurna. Lembar jawaban milik Aga masih kosong, hanya berisikan nama, kelas, hari dan tanggal. Belum ada satupun jawaban yang ia isi. Ara melihat jam, waktu yang tersisa tinggal 15 menit lagi dan Aga sama sekali belum mengisi lembar jawabannya. Ia berusaha tak peduli tapi ia tak suka melihat lembar jawaban kosong itu. Batinnya bergejolak, ia mendesah frustasi.
Akhirnya ia menggeser kursinya sedikit mendekat ke arah Aga, siku lengan kirinya menyenggol lengan Aga pelan. Tak ada pergerakan dari Aga, ia kembali menyenggolnya sedikit keras di banding sebelumnya. Aga pun bangun dan menatap Ara heran, namun Ara tak menatapnya balik. Ia hanya menatap lurus ke depan, menatap pengawas yang saat ini tengah serius membaca koran. Ara bersyukur karena pengawas itu tidak mondar mandir lagi seperti tadi. Kemudian Ara menggeser lembar jawaban miliknya ke arah Aga, sedangkan Aga terlihat heran dengan apa yang di lakukan Ara. Aga memandang lembar jawaban milik Ara sesaat dan kembali menatap Ara, sepertinya ia mulai paham dengan apa yang Ara maksudkan saat ini. Ia tersenyum kecil dan langsung menyalin jawaban milik Ara di lembar jawaban kosong miliknya.
Semuanya tak berakhir pada hari itu, selama satu minggu Ara terus melakukan hal yang sama. Ia berbagi jawaban miliknya dengan Aga. Tanpa ada kata, tanpa ada kalimat, tanpa ada pembicaraan di antara keduanya. Ara juga tak paham dengan alasannya sendiri kenapa mau berbagi dengan Aga, entah kenapa tangannya seperti tergerak sendiri untuk menggeser lembar jawaban miliknya kepada Aga.
Seandainya ia tak melakukan hal itu, pasti di masa depan hidupnya akan jauh lebih bahagia, bukan hidup terombang-ambing tanpa kepastian dengan sebuah perasaan abstrak untuknya. Semoga ada hati yang benar-benar berlabuh untukmu, bukan hanya singgah sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMELUK BINTANG
RomanceAuriga Pradipa Adhyastha. Pergi, hilang, tenggelam. Kemudian tiba-tiba kembali, datang, muncul. Terlalu misterius, bertindak sesuka hati. Seperti bintang yang ingkar pada langit, pergi meninggalkan malam dingin menyisakan langit gelap tanpa cahaya...