1. Hari Pertama Tersihir oleh Cinta

17 0 0
                                    


Udara pagi terasa dingin cukup menusuk kulit yang hanya memakai selembar pakaian seragam tipis. Embun pagi bisa terlihat diujung daun dan rumput dipinggir jalan, membuatnya terlihat menyegarkan. Dengan kabut tipis yang menghalangi jarak pandang orang orang yang terbangun di pagi hari.

Walaupun bukan musim dingin, kota yang dikelilingi oleh bukit dan pegunungan ini selalu memiliki suhu rendah dengan angin yang bertiup lembut. Dengan banyaknya pohon pohon dan sedikitnya kendaraan, membuat kota ini menjadi sangat damai dan tentram.

Diatas bukit terdapat sebuah rumah sederhana yang di depannya berdiri seorang pemuda berseragam yang tengah memejamkan matanya dan menikmati sejuknya udara di pagi hari.

Menarik nafas panjang dan kembali menghembuskannya secara perlahan, dia membuka matanya ke arah mentari pagi yang baru muncul dibalik gunung tinggi dari seberang tempatnya berdiri saat ini.

"Huuufffttt. . . (suara hembusan nafas) Jadi, apakah kau sudah siap?" gumamnya lemas. Sesaat ia memandangi cahaya mentari yang menghangatkan wajahnya.

"Siap tidak siap pun jawabannya akan tetap sama. . ." Dengan setetes semangat, ia membuka pagar pekarangan rumah lalu menutupnya kembali dengan pengaman tamban.

"Tidak ada pilihan lain, aku harus memulainya kembali dari sini." Dengan langkah kecilnya, ia pergi meninggalkan rumah dengan tas sekolah di punggung.

-----****-----

Ia berjalan melewati deretan pohon tabebuya yang tengah mekar dan berguguran di tepi sungai. Dengan aliran sedang dan air yang jernih, terlihat menyenangkan bagi ikan-ikan kecil yang bergerak ringan dengan suka cita diantara bebatuan dan kelopak bunga yang jatuh terbawa arus.

Dia berhenti sejenak menatap bunga yang bermekaran sejauh mata memandang dan berguguran kebawah membentuk permadani indah untuk di lewati. Seolah memikirkan sesuatu, dia tiba tiba mengangkat kepalanya ke atas dahan pohon yang cukup tinggi dan mengulurkan tangannya ke atas seolah ingin menggapai sesuatu...

"Sudah waktunya ya.." dia bergumam seolah tengah berbicara pada dirinya sendiri mengamati bunga berbentuk terompet dibalik tangannya

"Kali ini kau pasti bisa" ucapnya tegas, dia mengepalkan tangannya seolah bertekad dan kembali melangkah dengan lebih mantap

Seperti film lama yang berjalan pelan, punggung kurus sang remaja yang perlahan menjauh terlihat kuat bersama bunga tabebuya yang berguguran tertiup angin.

Setiap kelopak terbang dan jatuh ke tempat yang berbeda sesuai arah angin yang membawanya pergi.

Seperti hidup, bunga tabebuya yang berguguran memberikan filosofi tersendiri untuk sang remaja. Tabebuya akan memberikan keindahan terbaiknya ketika mekar, dan berguguran ketika saatnya tiba.

Seperti halnya manusia, harus melakukan yang terbaik di masa hidupnya untuk orang orang disekitarnya dan pada hakikatnya hidup itu hanya sementara. Seperti keindahan sang bunga yang hanya bisa dinikmati untuk sesaat

Diatas jalan menanjak ada taman kecil dengan bangku besi untuk tempat duduk, beristirahat sejenak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. Jari jempolnya bergerak pelan menggeser layar sentuh ponsel untuk membaca setiap pesan dengan serius.

Meski begitu, untuk beberapa pesan yang tidak penting, dia hanya akan mendiamkannya sebelum dibalas kemudian dan membalas beberapa pesan yang membutuhkan jawaban cepat. Setelah memeriksa pesan masuk dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Menyandarkan tangannya ke belakang untuk menopang berat tubuhnya, dia mengarahkan kepalanya melihat langit biru yang jernih di pagi hari dengan burung burung kecil yang terbang mencari makan. Menikmati angin yang membelai wajahnya dengan lembut, dia memejamkan matanya tanpa sadar dan jatuh dalam lamunan

Flying HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang