Kameya 4

6 0 0
                                    

Ketika rindu menyerbu pilu

Hati membeku tiada harap

Bumi kemaren yang masih kelu

Berdamailah dengan sang pengharap

***

"Meya, hari ini Oma ada urusan ke Bandung. Meya ikut apa tidak?"

Glek

Sakit. Nasi yang masuk ke dalam tenggorokan Meya menyakiti saluran itu. Kenapa Oma harus pergi? Apakah benar bumi ingin membuatnya sendiri?

"Meya?"

Ingin rasanya. Ingin sekali rasanya bagi Meya untuk menghentikan waktu dan membuat bumi berhenti berputar. Agar ia tetap bisa menatap Oma, dan tidak dihampiri kesendirian.

Tangan lembut itu, sentuhannya mengembalikan dunia Meya namun tidak dengan buminya. Tatapan hangat itu, mendamaikan detaknya yang bergemuruh. Senyuman simpul itu, mengelukan matanya, hingga membuatnya betah menatap sekian lama.

"Oma berangkat aja. Meya disini"

"Kamu yakin?"

Meya tersenyum, lalu mengangguk sembari menatap Oma. Tidak apa. Semuanya pasti baik-baik saja. Tidak ada yang berubah. Oma hanya ke Bandung, dua hari lagi Oma juga akan kembali. Semuanya akan baik-baik saja. Yah tentu, Meya pastikan itu.

*** 

Gadis itu berjalan memasuki rumah setelah melepas Oma ke Bandung. Entah kenapa langit berubah mendung, angin bertiup kencang. Jam baru menunjukkan pukul 10 pagi, tapi kenapa bumi sudah ingin bermain dengannya?.

Sepi. Baru lima menit berlalu keberangkatan Oma, tapi rumah ini sudah sepi bak gua di tengah hutan belantara. Gelap, tiada cahaya.

Meya melangkah memasuki kamarnya, tangan mungil itu meraih sebuah buku catatan berwarna putih. Buku yang selalu menemaninya dikala seperti ini. Buku yang selalu mendengarkan segala keluh kesahnya. Tanpa menolak sedikitpun rentetan pengaduan yang dituturkan Meya. Benda mati yang tak kan pernah meninggalkannya.

"Meyaa... Bunda pulang nak"

"Bundaaa"

Meya menyambut pelukan itu dengan senang hati. Aroma tubuh beliau, senyum manis yang mendamaikan, usapan lembut yang membuat tenang, serta suara ayu yang menenteramkan.

"Bunda kangen sekali sama putri kecil ini. Gimana harinya disini nak? Kamu gak nakal kan sama Oma?"

"Putri Bunda pasti gak nakal dong."

"Putri Ayah juga dong Bun"

"Ayaahh.."

Bug

Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Semut tidak ada, cicak tidak ada. Apalagi kehadiran Ayah dan Bunda. Disini hanya ada pintu tertutup serta perabotan yang diam tak bergerak. Pilu.

Aroma bekas hujan menyapa penciuman Meya saat gadis itu membuka pintu. Tidak ada alasan untuknya membasahi wajah itu dengan air mata. Semuanya sudah berlalu, sudah berlaku menjadi kenang. Biar itu hanya menjadi pemikat masa lalu, tanpa harus menyatu dengan masa depan.

Bumi...

Jika kali ini kau ingin bermain lagi denganku,

Maka ambilah masa itu.

Aku tidak akan membencimu melakukannya.

Bumi...

Jika benar kau ingin mempermainkanku,

KameyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang